Timbulnya perbedaan pendapat di dalam fikih sangat dimungkinkan, terutama disebabkan oleh perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum dan persoalan semantik-kebahasaan dari dalil-dali agama. Secara umum sumber-sumber hukum dan fikih Islam dikenal ada tujuh, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma', Qiyqs, Istihsan, Maslahat Mursalah, dan 'Urf. Uraian secara kritis mengenai sumber-sumnber hukum ini akan dibaÂhas secara terpisah dalam artikel mendatang. Ada ulama lebih mengedepankan ijma' (persepakatan ulama) ketimbang hadis Ahad (yang diriwayatkan oleh orang perorang, tidak dalam jumlah kolekÂtif) dan ada pula sebaliknya. Ada ulama lebih mengedepankan qiyas daripada ijma' demikian pula sebaliknya. Ada ulama lebih mengedepankan tradisi ahli Madina ('amal ahl Madinah) daripada qiyas. Ada juga yang menolak menggunakan ‘amal ahl Madinah, yang lain menolak qiyas, dst.
Faktor lain penyebab timbulnya perbedaan pendapat ialah masalah pemaknaan semantik-kebahasaan. Perbedaan pemaknaan satu kosa kata bisa melahirkan perbedaan pendapat, bahkan bisa melahirkan ketegangan. Dalam lintasan sejarah, perbedaan sepele atau perbedaan yang bersifat non dasar (furu'iyyah) pernah melahirkan beberapa kali perang saudara. Masing-masing pihak mempertahankan secara fanatik pendapatÂnya atau pendapat gurunya sehingga terjadi konflik yang meruncing satu sama lain. Sebagai contoh firman Allah: Walmuthallaqatu yatarabbashna bi anfusihhinna tsalatsata quru’ (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru). (Q.S. al-Baqarah/2:228). Kata quru' di dalam ayat ini dapat diartikan dengan "bersih, suci" dan bisa juga diartikan "kotor (haid)". Jika diartikan "suci" maka masa iddah seorang perempuan lebih panjang daripada jika diartikan "kotor". Imam Syafi' mendukung pendapat pertama dan Imam Abu Hanifah mendukung pendapat kedua.
Perbedaan pendapat dalam fikih sudah meruÂpakan sebuah keniscayaan. Perbedaan itu bisa membawa rahmat, karena menjadi ruang pilihan bagi umat Islam untuk menemukan model fikih ynag sesuai dengan kondisi obyektif lingkungan hidupnya. Umat Islam Indonesia yang mendiami negara maritim dan bercorak agrais tentu relevan jika mereka memilih mazhab Syafi’i yang memiliki keserasian satu sama lain. Sebaliknya bagi dunia Islam lain di kawasan negara-negara kontinental dengan struktur masyarakatnya yang berlapis-lapis, tentu juga sesuai dengan mazhab Maliki yang bercorak budaya kontinental. Tegasnya, perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha adalah sesuatu yang wajar, sejauh tidak menyimpang nilai-nilai ajaran pokok agama. Atas dasar lugika ini maka perumusan Fikih Kebhinnekaan di Indonesia sangat dimungkinkan. ***