MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (6)

Memahami Pluralitas Masyarakat Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 02 September 2015, 09:44 WIB
Memahami Pluralitas Masyarakat Indonesia
nasaruddin umar/net
SUBYEK dan obyek Fikih Kebhinnekaan ialah masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen. Pluralitas bisa diartikan sifat dari sekumpulan kelompok nilai atau sub-kultur yang diikat oleh suatu kekuatan nilai lebih tinggi yang memungkinkan masing-masing kelompok dan subkultur itu menyatu di dalam suatu wa­dah kebersamaan. Sedangkan heterogenitas sifat dari sekumpulan kelompok nilai atau sub-kultur yang berdiri sendiri tanpa diikat oleh satu kesatuan nilai yang lebih tinggi. Indonesia lebih tepat disebut sebagai negara plural daripada negara heterogen, karena Indonesia, meskip­un terdiri atas berbagai suku, etnik, bahasa, dan agama namun tetap merupakan satu ke­satuan budaya dan ideologis sebagaimana ter­cermin di dalam motto "Bhinneka Tunggal Ika", bercerai-berai tetapi tetap satu. Segenap warga bangsa Indonesia bersepakat utnuk menghim­punkan diri di dalam satu wadah kesatuan yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik In­donesia (NKRI).

Pluralisme Indonesia difahami sebagai sebuah konsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberagaman. Keberagaman­nya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai penghuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang menga­lami nasib penderitaan yang sama. Di samping persamaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi obyek­tif maupun kondisi subyektif. Kesatuan kebang­saan ini juga biasa diistilahkan dengan nasion­alisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme terbuka, sebagaimana dijelaskan di dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur hak-hak azasi manusia, seperti hak berserikat, hak beragama, hak berbudaya dan hak budaya itu sendiri, men­gakui hak-hak internasional dan hak-hak kemanu­siaan lainnya. Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme tertutup dalam arti mengandalkan dan meninjolkan unsur kekuatan dalam (inner werkende gaist), lalu kekuatan dalam ini diguna­kan sebagai alat pembentur dengan unsur-un­sur lain yang berasal dari luar dirinya. Misalnya, menolak kehadiran budaya dan aliran asing yang berbeda dengan kekuatan dalam tadi. Dialektika nasionalisme Hegel dapat dijadikan contoh na­sionalisme tertutup, karena menganggap kekua­tan dari luar sebagai ancaman dan memper­lakukannya sebagai "imigran asing" yang harus dimata-matai. Akibatnya ketegangan konseptual selalu mewarnai ruang publik. Rezim politik paruh pertama Orde Baru yang membentuk berbagai perangkap pengaman nasionalisme, seperti Kop-kamtib, Bakin, dan semacamnya.

Penerapan Fikih Kebhinnekaan di dalam masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Alam bawah sadar masyarakat bangsa Indonesia sudah tertanam berlapis-la­pis pengalaman masa lampau, apalagi dengan isu dan wacana formalisme keagamaan, seper­ti fikih Islam. Diperlukan pendekatan sosiologis dan psikologis lebih terprogram untuk mengem­bangkan formalisasi hukum agama, sungguh­pun itu menggunakan istilah Fikih Kebhinne­kaan, yang sepertinya sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat yang berbhinneka. Fikih Kebhinnekaan akan lebih mudah diterima jika minus ideologi "Piagam Jakarta".

Masyarakat pluralisme adalah suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai unsur dengan subkulturnya masing-masing lalu menjalin kese­pakatan menampilkan diri sebagai suatu komu­nitas yang utuh. Berbeda dengan masyarakat heterogen yang unsur-unsurnya tidak memi­liki komitmen ideologis yang kuat. Masyarakat pluralisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajmukan masyarakat, tetapi pluralisme harus difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disim­bolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika (bercerai-berai tetapi tetap satu). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA