Peran hadis selama ini umumnya difahami sebagai penjelasan (tabyin) terhadap ayat-ayat global (mujmal), seperti menjelaskan ayat Aqimu al-shalah (Dirikanlah shalat/Q.S. An-Nisa/4:103) dijelaskan oleh hadis: "ShaÂlatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat" (HR Bukhari); memberikan pengkhususan (takhshish) terhadap ayat-ayat umum ('am), seperti ayat: Wa lillahi 'alan nasi hijjul bait (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah/Q.S. Ali 'Imran/3:97), kemudian ditakhshish oleh beberapa hadis yang menetapkan keadaan mukallaf (akil-balig) sebagai persyaratan untuk menunaikan kewaÂjiban syar'i, termasuk haji; memberikan ketentuÂan khusus (taqyid) terhadap ayat-ayat muthlaq, seperti kata raqabah yang telah dibatasi denÂgan kata mu'minah sehingga menjadi "raqabah mu'minah" dalam Q.S. al-Nisa'/4:92); mengÂhapus (nasakh) ayat, seperti kalangan ulama sering memberi contoh ayat wasiyat (yushikuÂmullah fi auladikum) dihapus oleh hadis waris (la washiyyat li warits), dan berfungsi sebagai sumber hukum terhadap persoalan yang tidak ditemukan hukum dan ketentuannya di dalam Al-Qur’an. Peran hadis sedemikian besar di daÂlam perkembangan ilmu fikih. < SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.