MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (4)

Mereposisi Peran Hadis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 31 Agustus 2015, 09:07 WIB
Mereposisi Peran Hadis
nasaruddin umar/net
rmol news logo Peran hadis selama ini umumnya difahami sebagai penjelasan (tabyin) terhadap ayat-ayat global (mujmal), seperti menjelaskan ayat Aqimu al-shalah (Dirikanlah shalat/Q.S. An-Nisa/4:103) dijelaskan oleh hadis: "Sha­latlah sebagaimana engkau melihat aku shalat" (HR Bukhari); memberikan pengkhususan (takhshish) terhadap ayat-ayat umum ('am), seperti ayat: Wa lillahi 'alan nasi hijjul bait (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah/Q.S. Ali 'Imran/3:97), kemudian ditakhshish oleh beberapa hadis yang menetapkan keadaan mukallaf (akil-balig) sebagai persyaratan untuk menunaikan kewa­jiban syar'i, termasuk haji; memberikan ketentu­an khusus (taqyid) terhadap ayat-ayat muthlaq, seperti kata raqabah yang telah dibatasi den­gan kata mu'minah sehingga menjadi "raqabah mu'minah" dalam Q.S. al-Nisa'/4:92); meng­hapus (nasakh) ayat, seperti kalangan ulama sering memberi contoh ayat wasiyat (yushiku­mullah fi auladikum) dihapus oleh hadis waris (la washiyyat li warits), dan berfungsi sebagai sumber hukum terhadap persoalan yang tidak ditemukan hukum dan ketentuannya di dalam Al-Qur’an. Peran hadis sedemikian besar di da­lam perkembangan ilmu fikih.

Fungsi yang terakhir ini banyak menimbulkan kontroversi, karena apakah semua perkataan, perbuatan, dan taqrir (pengakuan) Nabi se­cara otomatis berfungsi sebagai sumber hukum atau harus melalui mekanisme tertentu? Apak­ah dalam kapasitasnya sebagai pribadi seba­bagai seorang suami terhadap isteri-isterinya, sebagai kakek terhadap cucu-cucunya, seba­gai Panglima Perang dizaman itu, sebagai qa­dhi yang secara obyektif dalam kondisi saat itu menerapkan suatu hukum terhadap suatu ka­sus tertentu. Dengan kata lain, apakah semua perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi berfung­si sebagai sumber hukum atau sumebr etika, atau sebagian sumber etika dan sebagiannya sumber hukum. Persoalan ini banyak menim­bulkan perdebatan bagi para ushuliyyin.

Masalah lainnya ialah validitas dan tingkat keshahihan hadis, yang terbukti memang ban­yak hadis yang lemah (dha'if) dari segi kapasi­tas silsilah dan sumber informasi para perawi atau sanad dan materi (matan). Ada yang yang bermasalah karena kelemahan daya hafal, pe­lupa, cacat moral seperti terbukti suka berbo­hong, suka mendramatisir secara emosional terhadap suatu peristiwa, peristiwa kecil dibe­sar-besarkan atau peristiwa besar dientengkan, kafir, atau murtad. Dari segi matan, sering di­jumpai pernyataan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan teori-teori ilmu pengetahuan yang sudah valid.

Artikel ini samasekali tidak bermaksud mem­beri angin kepada kelompok inkarussunnah, yang sering mempersoalkan kedudukan dan eksistensi hadis, tetapi semata-mata concern kita terhadap penerapan (tathbiq) hadis yang kemudian menimbulkan kontroversi. Nilai-nilai hadis sering berhadap-hadapan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Tathbiq hadis-hadis yang berhubungan dengan identitas formal tradi­si dan kebiasaan Nabi, sering sulit dibedakan antara nilai-nilai budaya Arab dengan nilai-nilai ajaran Islam. Seringkali hadis-hadis Nabi diar­tikulasikan terlalu jauh oleh dan untuk kepent­ingan kelompok mazhab tertentu. Identitas bu­daya Arab seringkali dipersepsikan sebagai identitas syari'ah. Dalam menghadapi umat yang rasional dan terbuka seperti saat ini, se­baiknya tathbiq hadis yang bisa menimbulkan kontroversi dikonfirmasikan kepada konsep maqashid syari'ah. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA