Sejak babak penyisihan kedua pasangan ini bermain sangat apik, saling melengkapi baik dalam menyerang maupun bertahan. Kadang kala memang terjadi salah paham di antara keduanya dalam mengantisipasi serangan lawan. Tetapi dengan komunikasi yang baik mereka selalu berhasil memperbaiki permainan di lapangan. Mereka adalah contoh pasangan "DWI TUNGGAL" di olahraga yang berhasil membawa nama harum bangsa.
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan dan ditandatangani oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Bukan oleh Soekarno dan Hatta. Nama Soekarno-Hatta itulah yang kemudian dijadikan istilah Dwi Tunggal pemimpin bangsa Indonesia.
Keduanya memang sangat kompak dan saling mengisi sejak awal pemerintahan terbentuk. Soekarno sangat piawai dalam berpidato yang mampu membangun semangat rakyatnya, sementara Hatta cerdas dalam administratif dan menuangkan konsep-konsep pemikirannya tentang masa depan Indonesia.
Dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan RI, Hatta sempat diasingkan Belanda di Boven Digoel, pedalaman Papua, pada 1934-1935. Sementara Soekarno pernah ditahan di Penjara Banceuy, Bandung pada 1930, dipenjara di Sukamiskin, diasingkan ke Ende, Bengkulu, hingga Muntok.
Kedua Bapak Bangsa Republik Indonesia ini secara terpisah pernah mengguncang dunia melalui pidato mereka. Pledoi Soekarno yang berjudul "Indonesia Menggugat" di pengadilan Bandung dan pledoi Hatta dengan judul "Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka)" di pengadilan Den Haag sangat monumental. Apalagi pernyataan tegas Hatta "Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada dijajah bangsa lain" telah memberikan inspirasi kepada rakyat Indonesia untuk terus berjuang dalam meraih kemerdekaan.
Saat menjalankan roda pemerintahannya, berbagai tantangan, baik dari dalam negeri maupun pihak asing seperti Jepang dan Belanda, mampu mereka atasi. Dalam situasi perdebatan perjanjian Linggarjati di parlemen yang berpotensi pada perpecahan bangsa pada sidang KNIP tahun 1947, secara mengejutkan Hatta mengeluarkan ultimatum kepada parlemen: "Terima persetujuan Linggarjati atau pilih Presiden dan Wakil Presiden lain!â€. Sikap tegas Hatta sebagai pemimpin Dwi Tunggal bangsa Indonesia ini membuat persetujuan Linggarjati akhirnya diterima oleh KNIP.
Namun disayangkan Dwi Tunggal Bung Karno-Bung Hatta akhirnya pecah. Pada tanggal 20 Juli 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI melalui surat yang dikirimnya ke parlemen karena beberapa perbedaan pendapat yang cukup tajam dalam mengelola pemerintahan RI saat itu. Meskipun berkali-kali Bung Karno dan tokoh politik lainnya membujuk Bung Hatta untuk membatalkan keputusannya, namun tidak berhasil. Dwi Tunggal pecah dan hingga saat ini Indonesia belum menemukan pemimpin yang menyatu seperti Bung Karno-Bung Hatta.
Di era kepemimpinan Soeharto, posisi Wakil Presiden selalu ditentukan oleh Soeharto sendiri. Di awal era Reformasi 1998, MPR telah memilih Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tapi di pertengahan jalan, Gus Dur dipaksa meletakkan jabatannya oleh MPR yang kemudian menetapkan Megawati dan Hamzah Haz sebagai pemimpin negara ini hingga tahun 2004.
Tahun 2004 terjadi transformasi dalam proses demokrasi politik Indonesia. Sejak saat itu rakyat Indonesia berhak memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah beserta wakilnya. Sejak ini pulalah sebenarnya setiap partai memperoleh kesempatan untuk mengajukan calon pemimpin dengan ciri dan peran seperti Dwi Tunggal di era Bung Karno-Bung Hatta.
Namun dalam perjalanannya proses kaderisasi kepemimpinan di partai politik sangat lambat dibandingkan proses pemilihan kepala negara dan kepala daerah. Sehingga munculnya kader kepemimpinan yang berkualitas dan mampu menjadi tim yang baik dalam mengelola pemerintah masih belum terjadi. Pasangan SBY-JK, SBY-Boediono dan Jokowi-JK belum berhasil mewarisi kepemimpinan dengan roh Dwi Tunggal dari Bung Karno-Hatta.
Sejak awal reformasi 1998 masyarakat Indonesia memang dihadapi kenyataan untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa roh Dwi Tunggal. Banyak faktor yang menjadi penyebab, antara lain: minimnya kaderisasi pemimpin dari partai politik, kebutuhan dana kampanye, popularitas dan elektibilitas kandidat, pengalaman dalam partai politik, kebijakan populis yang ditawarkan. Dalam kondisi realistis tersebut Ketua Umum PDIP pada tahun 2014 bersedia mencalonkan Jokowi-JK sebagai calon Presiden dari PDIP. Terutama karena popularitas dan elektabilitas Jokowi serta kekuatan JK dalam dukungan dana serta pengalaman di pemerintahan dan politik yang jauh lebih tinggi dari pada Jokowi.
Meskipun di saat kampanye Jokowi-JK terlihat saling menutupi, namun mulai dari proses terbentuknya Tim Transisi hingga penyusunan Kabinet Kerja terlihat sekali langkah yang tidak serasi dari kedua pemimpin negara RI periode 2014-2019. Situasi ini ternyata dimanfaatkan oleh para menteri. Dalam kasus sepakbola misalnya terjadi perbedaan tajam antara Jokowi-JK yang telah berakibat pada pembekuan sepak bola Indonesia oleh FIFA dan para pelaku utama di sepak bola kehilangan mata pencaharian sejak bulan April 2015 lalu.
Padahal Jokowi-JK berjanji akan menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan baru selama 5 tahun kepemimpinannya. Dengan tag line "Ayo Kerja" dalam memperingati 70 tahun Kemerdekaan RI, kita patut bertanya kepada Jokowi-JK, di manakah masyarakat, termasuk pelaku ekonomi di sepak bola, bekerja kalau lapangan pekerjaan itu sendiri belum tersedia atau tertutup karena sebuah kebijakan yang konyol?
Tragisnya pada peresmian PLTU Celukan Bawang di Buleleng, Bali beberapa waktu lalu terlihat jelas sekali tidak terlibatnya pekerja Indonesia dalam proyek tersebut melainkan pekerja dari Tingkok. Bahkan hingga penerima tamu dan pembawa acara yang semuanya dikemas dalam suasana serba Tiongkok. Padahal sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri sempat membantah terjadinya penyerbuan tenaga kerja asal Tiongkok ke Indonesia.
Belum serasinya Jokowi-JK sebagai pasangan Dwi Tunggal juga dimanfaatkan oleh beberapa menteri yang melihat celah untuk menjatuhkan kementerian lainnya. Ini terlihat saat Mendagri Tjahjo Kumolo melontarkan seara terbuka adanya menteri yang menghina Presiden. Beruntung dengan sangat bijak Jokowi berhasil menyelesaikan hal ini dengan baik.
Kehadiran Rizal Ramli sebaga Menko Maritim mestinya membawa angin segar dan optimisme bagi rakyat bahwa Kabinet Kerja akan mampu mewujudkan program Nawa Cita yang dijanjikan Jokowi-JK. Sayangnya, Rizal Ramli juga memanfaatkan belum terpadunya Dwi Tunggal Jokowi-JK. Selain mengomentari program kerja kementerian lain, secara terbuka Rizal Ramli menantang Wakil Presiden untuk berdebat di muka publik mengenai beberapa kebijakan pemerintah yang menurutnya tidak masuk akal.
Semestinya Rizal Ramli, Tjahjo Kumolo atau Imam Nahrowi menghormati keputusan sebagian besar rakyat Indonesia yang telah memilih Jokowi-JK sebagai pemimpin. Mereka sama sekali tidak pernah memilih Rizal Ramli, Tjahjo Kumolo maupun Imam Nahrowi. Karena itu sikap Rizal Ramli bisa dianggap menghina sebagian besar keputusan rakyat Indonesia. Karena sebagai anggota Kabinet Kerja Jokowi-JK, baik secara etika maupun profesional ketiga menteri tersebut harus tunduk dan taat pada pemimpinnya yaitu pasangan Jokowi-JK.
Mengatasi kisruhnya bermacam pernyataan terbuka Rizal Ramli di publik yang mengkritik kebijakan atasannya sendiri, kembali Jokowi memperlihatkan kepiawiannya dalam berpolitik. Secara tegas dia menyatakan adalah tugas seorang menteri mencari solusi untuk kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah dan disetujui Presiden dan Wakil Presiden.
Menyangkut kritik Rizal Ramli yang menilai proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt tidak realistis. Jokowi dengan tegas menjawab: "Kalau targetnya mau gampang 5.000 megawatt saja lah. Tapi saya tidak mau!!!".
Belum serasinya pasangan Jokowi-JK sebagai Dwi Tunggal akan terus dimanfaatkan oleh segala pihak yang memiliki kepentingan politis, kepentingan bisnis, maupun kepentingan pribadi. Karena itu ke depannya Jokow-JK harus lebih sering melakukan pertemuan empat mata untuk membahas beberapa persoalan sangat penting untuk ditindaklanjuti. Agar keserasian kedua pasangan pemimpin negara Indonesia tersebut bisa lebih cepat terjadi.
Persembahan gelar juara dunia bulu tangkis 2015 yang diberikan oleh Dwi Tunggal bulu tangkis Indonesia Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan kiranya bisa memberikan inspirasi kepada pasangan Jokowi-JK bahwa keserasian menjadi kunci utama keberhasilan dalam bekerja. Mantan Wakil Presiden AS Al Gore pernah berkata: "If you want to go fast, go alone. If you want to far, go together".
Khusus untuk Indonesia yang sangat diperlukan adalah "If you want to go fast and far, you have to be one". Dalam konteks itulah maka Dwi Tunggal Jokowi-JK menjadi sebuah keharusan yang dibutuhkan negara ini.
Roh Dwi Tunggal Jokowi-JK akan semakin terlihat apabila ada menteri yang saling melakukan kritik satu sama lain seara terbuka di publik. Maka saat itu mereka meniru ketegasan Hatta dengan menyatakan: "Menerima Kebijakan Presiden dan Wakil Presiden atau keluar dari kabinet".
[***]Penulis adalah Sosiolog dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: