Inti ayat ini sangat tegas melarang orang unÂtuk menjalani kehidupan ini dengan demonstratif. Salahsatu ciri kehidupan demonstratif itu ialah riya, suka memamerkan kelebihan diri di tengah orang-orang yang di bawah level diri kita. SekaÂlipun orang itu langganan shalat tetapi shalatnya menjadi percuma jika ia secara terbuka mendeÂmonstrasikan keutamaan yang melekat pada diÂrinya. Sebagai contoh, sudah tahu dalam masa paceklik, masih tega menggunakan pakaian dan perhiasan berlebihan, termasuk kendaraan dan gaya hidup demonstratif lainnya.
Memang ada ayat mengungkapan keutamaan dan fadhilah yang diberikan oleh Allah Swt, antara lain dalam ayat: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (Q.S. al-Dhuha/93:11). Akan tetapi secara umum dikatakan pengungkapan berlebihan terhadap harta yang dimiliki jangan sampai membuatkan takjub dan ujub yang munÂcul di dalam diri kita. Sifat-sifat seperti ini dengan tegas dilarang dalam Al-Qur'an: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahaÂla) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemuÂdian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguaÂsai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Baqarah/2:264).
Sikap demonstratif sekarang hampir menyenÂtuh semua dimensi kehidupan manusia. Tidak terkecuali di dalamnya para ahli agama atau praktisi agama. Selalu saja melekat aspek dunÂiawi di dalam mengukur segala sesuatu. Ilmuan belum tentu arif. Ilmuan yang hanya terpesona dengan keajaiban ilmu pengetahuan lantas tidak memperhatikan filosopi ilmu dan lingkungan soÂsialnya maka berpotensi menjadi orang congkak, pongah, dan sudah barang tentu tidak mengunÂdang respek orang lain sekalipun ia pintar. Orang yang arif, di samping mencintai ilmu pengetahuan ia juga sadar bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tetapi untuk kemanusiaan dan untuk menunjang kapasiÂtas manusia sebagai hamba dan khalifah di bumi. Idealnya seorang ilmuan adalah juga seorang arif dan seorang yang arif juga sekaligus ilmuan.
Dengan demikian, akan terwujud ilmuan dan sekaligus orang arif secara paripurna. Sepintar apapun seorang ilmuan mestinya menghindari penilaian sikap demonstrator di dalam penampiÂlan kita sehari-hari. ***