BERKAH RAMADHAN (28)

Jangan Tamak!

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 30 Juni 2015, 12:48 WIB
Jangan Tamak!
NASARUDDIN UMAR
SEMUA lembaga moral seperti agama, adat, etika keluarga, dan aturan formal tidak mer­ekomendasikan ketamakan. Siapapun yang melakukan ketamakan akan tercela oleh masyarakat, lembaga adat, apalagi oleh Tuhan. Istilah lain dari tamak ialah rakus, serakah, dan monopoli. Kosa kata tamak tidak pernah berkonotasi positif karena menyebabkan terjadinya dampak negatif di dalam masyarakat, seperti ketimpangan sosial ekonomi yang pada akhirnya akan menyuburkan kriminali­tas. Ada orang yang meraup harta kekayaan se­banyak-banyaknya sementara orang lain dibiarkan menjadi penonton. Tamak termasuk penyakit sosial karena biasanya pribadi yang tamak bukan hanya rakus dan serakah tetapi biasanya juga pelit, kikir, sombong, angkuh, dan memiliki ambisi berlebihan dan perilaku yang melampaui batas.

Di samping menyebabkan orang lain seng­sara, tamak juga umumnya membuat pelaku­nya tersungkur dalam kehinaan yang amat memalukan. Dalam Al-Qur’an ditampilkan se­jumlah raja dikjaya tetapi tamak yang berujung kehinaan karena serakah. Fir’aun, Tsamud, Namrud, ‘Ad, Abrahah, dan sejumlah tokoh lain merasakan kekecewaan di akhir hayatnya kar­ena keserakahan. Tokoh dan pemimpin dunia kontemporer juga tidak sedikit jumlahnya be­rakhir dengan kehinaan karena keserakahan. Tamak artinya kehendak nafsu untuk memiliki seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat tanpa peduli orang lain yang juga membutuh­kannya. Ia ingin memiliki semua potensi itu dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak wajar dan tercela.

Para filosof juga mencela dengan keras si­fat ketamakan. Filosof St. Augustine (354-430) mengidentifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu keserakahan kekuasaan, keserakahan seksual, keserakahan harta benda. Keserakahan perta­ma berpotensi melahirkan anarki dan tirani. Kes­erakahan jenis kedua berpotensi melahirkan ke­jahatan kesusilaan dan melemahkan keturunan. Keserakahan ketiga menjadi cikal bakal lahir dan berkembangnya sistem kapitalisme. Sebe­lum kapitalisme lahir, keserakahan manusia ter­hadap harta benda merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Bahasa agama dan bahasa filsafat sampai abad pertengahan masih memandang kapitalisme itu sebagai dosa dan aib yang harus dijauhi. Belakangan berpisah antara pandangan agama dan filsafat. Filsafat cenderung member­ikan pembenaran terhadap pemilik modal untuk meraup keuntungan lebih besar tanpa memper­hatikan kaedah-kaedah moral. Sebaliknya agama moralitas harus menjadi dasar di dalam berbagai kepemilikan dan produktifitas.

Milik pribadi dalam masyarakat tradisional bukan sekadar sumber pendapatan tetapi lebih memiliki fungsi sosial dan penggunaannya se­lalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan so­sial dan keperluan negara. Karena itu, menurut sejarahwan R.H. Tawney, sampai abad perten­gahan konsep kepemilikan pribadi atas harta tidak begitu popular. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA