Ketika penulis menjabat sebagai Dirjen BiÂmas Islam, beberapa kali kami mengundang mereka untuk mendiskusikan metode dan dalÂil-dalil yang digunakan, namun terdapat kesuliÂtan untuk mengubah keyakinan mereka karena lebih kuat mereka berpegang kepada pemimpin kelompoknya ketimbang mengikuti imbauan pemerintah. Kesulitan lain, pemimpin kelompok tarekatnya hanya selalu mengutus orang keperÂcayaannya karena yang bersangkutan biasanÂya tidak terbiasa mengambil keputusan dengan cara dialog atau diskusi, tetapi berdasar pada keyakinan pemimpinnya.
Di antara mereka ada yang menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal berdasarkan isyarat dari gelombang laut, isyarat dari suara-suara buÂrung, isyarat kejadian-kejadian alam, atau hasil pengamatan mereka terhadap sejumlah bintang di langit. Bahkan di antara mereka mendasarkan pendapatnya dengan cara menutup mata merÂeka dengan surban hijaunya, lalu dengan doa-doa tertentu ia sudah bisa menyaksikan cahaya hilal di pelupuk matanya. Jika pimpinan tarekatÂnya sudah meyakini tanggal 1 Ramadhan maka keesokan harinya saling menginformasikan untuk memulai berpuasa. Demikian pula dengan penÂetapan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Metode-metode tersebut diakui merupakan metode yang sudah turun temurun dipergunakan, hanya belaÂkangan baru sempat termediakan.
Metode-metode semacam itu tentu berbeda bahkan tidak pernah dikenal di dalam Ilmu Fikih, khususnya di dalam Ilmu Falak, yang selama ini digunakan kelompok mainstream muslim dalam lintasan sejarah. Dalil-dalilnya pun sulit ditemuÂkan di dalam hadis apalagi di dalam Al-Qur’an. Kelompok tarekat memang sering menemukan sumber-sumber lain selain kedua sumber utama tersebut. Agak ironis memang, sebab selama ini kelompok tarekat biasanya tidak banyak fokus mengurus persoalan khilafiyah (fiqhiyyah) dan mereka lebih fokus kepada hal-hal yang bersifat esoterik-bathiniyah, tiba-tiba sekarang lebih fokus berbicara tentang fikih. ***