BERKAH RAMADHAN (12)

Bagaimana Menyikapi Kelompok Sempalan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 16 Juni 2015, 08:42 WIB
Bagaimana Menyikapi Kelompok Sempalan?
nasaruddin umar/net
MASALAH rutin yang sering dihadapi umat Islam setiap menjelang awal bulan, khususnya penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal (lebaran Idul Fitri) ialah adanya kelompok-kelompok minoritas, yang kebanyakan dari mereka ialah jamaah tarekat, yang mulai secara terbuka menentukan sendiri sikap dan metode mereka di dalam menentukan awal bulan, khususnya menentukan awal puasa, lebaran Idul Fitri, dan Idul Adha. Kelompok-kelompok terekat tersebut antara lain kelompok tarekat Al-Nadhir yang ber­pusat di Gowa, Sulawesi Selatan, kelompok sem­palan Naqsyabandi yang ada di Sumatera Barat, kelompok sempalan Naqsyabandi lain yang ada di Jawa Timur, Di antara mereka sudah terbuka melakukan kegiatannya yang berbeda dengan kelompok mayoritas umat Islam, misalnya mer­eka berpuasa atau lebaran dua hari lebih awal atau lebaran dua hari lebih lambat. Kalau perbe­daannya hanya sehari mungkin kita masih men­ganggapnya biasa, tetapi kalau lebih dari sehari itu sudah pasti menimbulkan persoalan. Metode dan dalil apa yang digunakan untuk menentukan awal bulan?

Memang mereka menyatakan bahwa kepu­tusannya itu hanya untuk kalangan tarekatnya sendiri, tetapi persoalannya terkadang meng­ganggu umat Islam mayoritas yang ada di sekI­tarnya. Bayangkan kalau umat Islam mayori­tas lain puasanya baru memasuki puasa ke 27 tiba-tiba sudah menggemakan takbir seba­gai pertanda lebaran Idul Fitri keesokan harin­ya, atau takbir mereka dua hari sesudahnya. Dampak sosiologisnya lebih luas karena sudah pasti akan menjadi konsumsi media yang baik (a bad news is a good news).

Jumlah mereka memang tidak banyak tetapi meluas ke berbagai wilayah. Misalnya kelom­pok Al-Nadhir dan sekte khusus dari Naqsya­bandi yang anggotanya tidak seberapa tetapi khalifah dan pengikutnya tersebar di berba­gai daerah di Indonesia bahkan di Asia Teng­gara. Mereka sangat loyal terhadap pimpinan tarekatnya. Bahkan mereka lebih loyal kepada pemimpin tarekatnya ketimbang keputusan pe­merintah bersama MUI. Sudah pernah juga me­mancing emosi umat Islam sekitarnya tetapi un­tungnya masih bisa diatasi.

Kementerian Agama sudah berkali-kali men­gundang atau mendatangi mereka untuk berdis­kusi soal metodologi yang digunakan, tetapi be­lum ada jalan keluar. Pemerintah juga tidak ada dasar hukum untuk menindak mereka karena mereka berlindung di bawah prinsip Hak-hak Asa­si Manusia (HAM) yang dilindungi oleh UU. Bah­kan mereka beralasan kenapa kami mau dilarang sementara ada kelompok lain lebaran berbeda pemerintah ditolerir.

Labih masalah lagi jika tahun-tahun akan da­tang aliran tertentu yang puasanya hanya tiga hari, yakni di awal, di pertengahan, dan di akhir Ramadhan. Bagaimana jika suatu saat mereka menjamak taqdim puasanya di awal Ramadhan, maka hari ketiga sudah melantunkan takbir. Apak­ah atas nama HAM kegiatan mereka juga akan ditolerir? ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA