Memang mereka menyatakan bahwa kepuÂtusannya itu hanya untuk kalangan tarekatnya sendiri, tetapi persoalannya terkadang mengÂganggu umat Islam mayoritas yang ada di sekIÂtarnya. Bayangkan kalau umat Islam mayoriÂtas lain puasanya baru memasuki puasa ke 27 tiba-tiba sudah menggemakan takbir sebaÂgai pertanda lebaran Idul Fitri keesokan harinÂya, atau takbir mereka dua hari sesudahnya. Dampak sosiologisnya lebih luas karena sudah pasti akan menjadi konsumsi media yang baik (a bad news is a good news).
Jumlah mereka memang tidak banyak tetapi meluas ke berbagai wilayah. Misalnya kelomÂpok Al-Nadhir dan sekte khusus dari NaqsyaÂbandi yang anggotanya tidak seberapa tetapi khalifah dan pengikutnya tersebar di berbaÂgai daerah di Indonesia bahkan di Asia TengÂgara. Mereka sangat loyal terhadap pimpinan tarekatnya. Bahkan mereka lebih loyal kepada pemimpin tarekatnya ketimbang keputusan peÂmerintah bersama MUI. Sudah pernah juga meÂmancing emosi umat Islam sekitarnya tetapi unÂtungnya masih bisa diatasi.
Kementerian Agama sudah berkali-kali menÂgundang atau mendatangi mereka untuk berdisÂkusi soal metodologi yang digunakan, tetapi beÂlum ada jalan keluar. Pemerintah juga tidak ada dasar hukum untuk menindak mereka karena mereka berlindung di bawah prinsip Hak-hak AsaÂsi Manusia (HAM) yang dilindungi oleh UU. BahÂkan mereka beralasan kenapa kami mau dilarang sementara ada kelompok lain lebaran berbeda pemerintah ditolerir.
Labih masalah lagi jika tahun-tahun akan daÂtang aliran tertentu yang puasanya hanya tiga hari, yakni di awal, di pertengahan, dan di akhir Ramadhan. Bagaimana jika suatu saat mereka menjamak taqdim puasanya di awal Ramadhan, maka hari ketiga sudah melantunkan takbir. ApakÂah atas nama HAM kegiatan mereka juga akan ditolerir? ***