Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gelar khalifatullah Ing Tanah Jawi, Bukti Lokalitas Penerapan Keagamaan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Senin, 27 April 2015, 00:46 WIB
Gelar <i>khalifatullah Ing Tanah Jawi</i>, Bukti Lokalitas Penerapan Keagamaan
keraton yogya
rmol news logo Di Indonesia, keislaman dan kenegaraan dipahami secara bersama. Orang Indonesia yang beragama Islam sekaligus orang beragama Islam di Indonesia.

Ketua PBNU KH Slamet Effendi Yusuf menyatakan keislaman dan keindonesiaan itu tidak bisa dipisahkan. Sebab, semangat keislaman sama dengan semangat kebangsaan.

"Ketika Islam bercita-cita bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk membuat rahmat di muka bumi (rahmatan lil alamin), maka umat islam di Indonesia juga yakin bahwa negerinya juga ter-rahmati oleh Allah SWT. Itulah mainstream Islam Indonesia," katanya Minggu, (26/4).

Karena itu tak heran, Indonesia dianggap contoh negara yang bisa membawa Islam moderat, damai dan membawa rahmat pada seluruh umat di dunia (rahmatan lil alamin). Kondisi kehidupan agama Islam di Indonesia ini bisa menepis anggapan miring tentang Islam yang dinilai sebagai agama radikal seperti di Timur Tengah.

Menurutnya, di Indonesia umat Islam memahami keberadaan dirinya dan tidak melepaskan diri dari lingkungan, khususnya terhadap keberadaan negara tercinta Repuplik Indonesia. Faktor itulah yang membuat Islam Indonesia bisa hidup rukun dan damai di negara yang terdiri dari beragam agama, suku, ras, dan lain sebagainya.

Namun, ia menambahkan, setelah itu muncul kelompok-kelompok yang menafikan doktrin-doktrin keislaman terutama dengan adanya kesultanan di Indonesia. Menurutnya, kelompok itu seolah-olah waton (negara) tidak ada, sehingga seolah-olah sebuah kekuasan berbau Islam itu harus bersifat global.

Padahal umat Islam itu sudah sangat arif dan memahami hal tersebut. Buktinya Raja Jawa menyebut dirinya Sultan Hamengkubuwono atau khalifatullah ing tanah Jawi.

"Tapi dengan begitu tidak diartikan bahwa kekhalifahan itu harus tunduk ke pusat-pusat Islam dunia seperti Baghdad, Arab, dan lain-lain. Jadi sudah sejak awal penerapan keagamaan dalam konteks politik selalu dikaitkan dengan lokalitas," terang Slamet Effendi.

Ia mencontohkan, ketika sekarang Timur Tengah terpecah antara satu sekte dengan yang lain, antara satu negara dengan negara lain, umat Islam di Indonesia bisa hidup dalam kedamaian. "Kita bisa hidup dalam kampung kedamaian (darussalam) karena konteks kebangsaan kita sama dengan konteks keislaman," tutur mantan anggota DPR RI ini.

Dengan penegasan itu, lanjut Slamet Effendi, maka lahirlah Islam toleran moderat dan seimbang. "Islam semacam inilah yang merupakan rahmatan lil alamin sehingga sekarang muncul pemikiran agar model kehidupan seperti ini, bisa disebarluaskan menjadi tipe ideal peradaban dunia," imbuh Slamet Effendi.

Kendati demikian, Slamet juga mengutarakan bahwa harus diwaspadai munculnya kekuatan-kekuatan yang mengacu secara politik kepada model pemahaman Islam yang antar bangsa yang mengusung pemahaman islam itu seolah-olah bersifat internasional.

"Tentunya untuk bisa membuat Islam yang damai dan moderat itu harus bisa menerima konsep secara kultural dengan baik terkait aspek sosial keagamaan juga aspek ekonomi yang bisa mengakat derajat dan ciri keislaman itu sendiri. Itu juga harus dikembangkan dengan cara menepis pemahaman islam yang transnasional," tuturnya yang menyatakan bingung dengan anggapan bahwa pemerintahan Indonesia disebut thougut.

"Itu keblinger. Pemikiran radikal itu muncul karena cara berpikir yang linier dengan melihat Islam secara tidak komprehensif yang menyeluruh, integral, dan kontekstual. Islam seolah-olah konsep yang sudah jadi, padahal masih diperlukan tafsir," tandasnya. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA