Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

TESTIMONI ADHIE M MASSARDI

"Kelompok Agung Sudah Memutilasi Demokrasi"

Selasa, 31 Maret 2015, 13:47 WIB
"Kelompok Agung Sudah Memutilasi Demokrasi"
Adhie M Massardi
SENIN petang (30/3) itu, ketika puluhan orang bertampang garang dan beringas pimpinan saudara Yorrys Raweyai mendobrak pintu dan merangsek ke ruang Fraksi Partai Golkar, di lantai 12 Gedung Nusantara I DPR, saya masih berada di dalamnya, didampingi Bambang Soesatyo, berbincang-bincang dengan beberapa wartawan.
 
Hanya selang beberapa detik, Ade Komaruddin, Ketua FPG, mengajak saya masuk ke ruangannya. "Anda tamu kami. Keselamatan Anda tanggungjawab kami," ujar tokoh muda Golkar yang di zaman Gus Dur merupakan salah satu lawan politik saya di forum-forum debat publik.
 
Demi menghormati tuan rumah, saya mengikuti saran itu. Di ruang ketua FPG hanya ada saya, Ade Komaruddin, Bambang Soesatyo, petugas keamanan dan dua sekretaris fraksi serta seorang mantan pengurus Golkar Lampung yang mengaku kehadirannya di Munas Golkar Ancol dimanupulasi dengan iming-iming uang ratusan juta rupiah.
 
Sambil sesekali melihat tingkah-laku kelompok Agung Laksono yang sudah menduduki ruang rapat fraksi melalui layar monitor CCTV, di ruang ketua FPG itu kami membicarakan persoalan bangsa yang kian kompleks.
 
Anomali di negeri ini sudah melanda semua lini: politik, hukum, ekonomi, tata-sosial dan tata-nilai. Semua ini terjadi akibat ketiadaan kepemimpinan. Negeri ini memang telah kehilangan kepemimpinan. Kita hanya memiliki sekumpulan orang di lapisan elite, yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.
 
Saya berada di pusaran perseteruan politisi Partai Golkar petang itu karena diundang FPG untuk diskusi politik bersama sejumlah anggota FPG dan wartawan. Saya bersedia hadir dalam forum internal parpol karena sesungguhnya parpol itu milik publik. Sebab parpol (terutama peserta pemilu) sudah menggunakan ranah publik, dan mengikatkan diri dalam memperjuangkan kepentingan publik.
 
Dengan mempertimbangkan parpol itu sebagai milik publik, maka apa yang terjadi di Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mungkin juga di parpol lain kelak, sesungguhnya merupakan persoalan kita semua, persoalan bangsa Indonesia. Bukan lagi sekedar persoalan internal parpol.
 
Makanya, dalam diskusi petang itu, dijelaskan bahwa dengan penuh kesadaran berkebangsaan, saya bersama tokoh-tokoh gerakan sipil seperti Yudi Latif, Bursyah Zarnubi, Haris Moti (Petisi 28), Hatta Taliwang, Margarito Kamis, Salamudin Daeng, Marwan Batubara, dll menginisiasi "gerakan masyarakat sipil anti-pecah belah parpol".
 
Menurut kami, apa pun masalahnya, pergolakan politik dalam organisasi akan selalu bisa diselesaikan dengan dialog. Alam demokrasi menyediakan sarana yang sangat luas untuk dialog. Dialog akan menjadi buntu apabila muncul pihak ketiga yang ingin melemahkan kekuatan organisasi.
 
Inilah yang terjadi sekarang di Partai Golkar dan PPP. Dan pihak ketiga dalam hal ini sangat jelas. Pemerintah melalui tangan Menkum dan HAM Yasonna H Laoly, yang tanpa menggunakan akal sehat, melegitimasi kelompok Agung Laksono di Golkar dan kelompok Romahurmuziy di PPP.
 
Masuknya penguasa (Menkum dan HAM) secara sangat tidak sehat sebagai pihak ketiga dalam konflik parpol, membuat pintu-pintu dialog itu tertutup. Inilah yang kemudian mendorong kelompok Agung Laksono menggunakan cara-cara premanisme dalam menyelesaikan masalah. Saya menduga tak lama lagi juga akan timbul aksi-aksi premanisme dalam tubuh PPP.
 
Padahal cara-cara kekerasaan semacam itu, apalagi ini dilakukan di kawasan gedung parlemen, yang merupakan "pusat kehidupan demokrasi", bisa disebut sebagai perbuatan mencabik-cabik dan memutilasi demokrasi. Makanya, masyarakat sipil wajib mengutuk perbuatan yang mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistem.
 
Karena struktur parpol menjangkau seluruh kawasan Nusantara, maka apabila pereteruan di tubuh parpol tidak segera diselesaikan, akan mengguncang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Untuk itu, kami berpendapat DPR perlu segera menggunakan "hak angket" guna menyelidiki dan mengungkap apa tujuan Menkum dan HAM tanpa menggunakan akal sehat masuk secara dini dalam perseteruan parpol (Partai Golkar dan PPP). Selain prosesnya bisa lebih cepat dibandingkan "interpelasi", hak angket juga bisa mengungkap siapa dalang di balik semua ini.
 
Di tengah zaman yang anomali di semua lini seperti sekarang, kita butuh parpol yang kuat dan solid. Dan tidak pernah akan menjadi kuat parpol yang "menginduk-semang" kepada pihak ketiga, bukan kepada rakyat.
 
Lihat saja PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sekarang. Parpol yang digagas para kiai NU (Gus Dur, dkk) untuk menyalurkan aspirasi politik ahlus sunnah wal jama'ah (kaum Nahdliyin) itu, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar yang atas bantuan "pihak ketiga" (penguasa) berhasil melepaskan diri dari "doktrin politik kebangsaan KH Abdurrahman Wahid", hanya menjadi parpol yang mengikuti apa kata "induk semangnya". Tidak pernah bisa bicara untuk dan atas nama rakyat (Nahdliyin).
 
Tentu saja kita tidak ingin kelak parpol di Indonesia hanya bekerja mendulang suara rakyat dalam pemilu untuk mencari legitimasi, setelah itu mengabdi kepada pihak ketiga, induk semang yang membuat mereka berkuasa di parpol tersebut. [***]
 
ADHIE M MASSARDI
Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat
Jurubicara Presiden ke-IV KH Abdurrahman Wahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA