PGI: Hukuman Mati Bertentangan dengan Hakikat Kehidupan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Jumat, 06 Maret 2015, 00:23 WIB
PGI: Hukuman Mati Bertentangan dengan Hakikat Kehidupan
ilustrasi
rmol news logo Di tengah kontroversi hukuman mati di dalam maupun luar negeri, pemerintah Indonesia tetap kukuh untuk menjalankan eksekusi terhadap para terpidana mati. Persiapan di Nusa Kambangan pun sudah memasuki tahap akhir.

Tanpa bermaksud untuk ikut meramaikan polemik yang berlangsung, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terpanggil untuk menyatakan pandangan dan sikap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada warga gereja dan warga masyarakat.

Dijelaskan Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, Jeirry Sumampow, S.Th, pandangan dan sikap ini juga merupakan wujud nyata kehadiran dan pergumulan gereja terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan bangsa.

Pandangan dan sikap PGI tersebut sudah disampaikan kepada Presiden RI dalam bentuk surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Dr. Henriette T. Lebang, dan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th.

Pertama, gereja-gereja di Indonesia hadir sebagai respons terhadap panggilan Tuhan, yang mengaruniakan kehidupan kepada manusia. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan.

Karena itu, PGI memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap manusia.

"Kami percaya bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabut kehidupan," terang PGI dalam rilis yang dikirimkan Kamis malam (5/3).

Kedua, PGI memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam hal ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

"Itu pulalah yang kami yakini dicerminkan dengan penggantian kata 'penjara' menjadi 'lembaga pemasyarakatan'. Karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke dalam kehidupan yang bermartabat," lanjut PGI.

Jika hukuman mati dilakukan maka peluang untuk memperbaiki diri menjadi tertutup sama sekali. Dalam perspektif seperti itu, maka praktik hukuman mati merupakan bentuk frustrasi negara atas kegagalannya menciptakan tata kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Ketiga, perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia, yang sebelumnya mempraktikkan hukuman mati, kini menghapus pemberlakuan hukuman mati. Terlihat kecenderungan yang semakin besar dari berbagai negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan dan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati.

Hal ini didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut.

Keempat, dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati sering mengalami kekeliruan, namun tidak pernah bisa dikoreksi kembali sebab orangnya sudah meninggal.

"Kami mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrach namun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut. Dalam hal demikian, sangat beresiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata dikemudian hari keliru," ujar PGI.

Kelima, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya Konvensi Hak Sipil dan Politik, maka negara ini semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab dalam perspektif hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, .... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan lagi terjadinya praktek hukuman mati dalam negara ini. Sayangnya, substansi Pasal 28 I ayat (1) ini belum ditindaklanjuti dalam bentuk penataan regulasi yang terkait dengan itu.

PGI menyatakan, hukuman mati menodai rasa kemanusiaan dan keadilan dan karena itu bertentangan dengan hakikat kehidupan yang diberikan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara Kehidupan.

"Hukuman mati tak lagi memberikan ruang bagi orang untuk melakukan perbaikan diri atau pertobatan. Karena itu, maka kami menolak adanya pemberlakuan hukuman mati sebagai bentuk hukuman terhadap kejahatan," jelas PGI. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA