Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kabinet Kerjanya Berpolitik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 28 Januari 2015, 11:37 WIB
Kabinet Kerjanya Berpolitik
TERNYATA Presiden Joko Widodo memiliki keahlian berpolitik dengan teknik tinggi. Mulai dari lolos menjadi walikota, gubernur DKI Jakarta hingga berhasil menjadi presiden RI ke 7, Jokowi bukanlah seorang pengurus teras partai politik. Meskipun hanya sebagai petugas partai politik dan bukan menduduki jabatan pengurus teras di partai politik, tetapi karena kebijakan yang dikeluarkan untuk kepentingan rakyat banyak. Popularitas Jokowi melebihi popularitas kader politik manapun.

Akibatnya kita semua tahu, saat Pemilihan Presiden RI 2014, Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo Subianto. Padahal hingga awal tahun 2014 Prabowo memiliki peluang paling besar untuk memenangkan pertarungan itu. Lebih dari itu, Prabowo adalah salah satu pendukung utama Jokowi untuk memenangkan kursi nomor 1 di Jakarta.

Meskipun mendapat dukungan dari partai politik yang tergabung dalam KIH, sejak awal Jokowi menyatakan tidak boleh ada transaksi politik apabila memenangkan kursi Presiden RI. Golkar yang sudah berupaya keras melakukan pendekatan ke Jokowi, sampai Aburizal Bakrie bersedia menemui Jokowi di pasar rakyat, akhirnya gagal bergabung dengan KIH karena tidak tercapai kesepakatan politik.

Sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden RI, kegaduhan politik terjadi di lembaga legislatif DPR. Kubu KMP dan KIH bertarung sengit untuk merebutkan kursi pimpinan DPR. Akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Kubu KMP. Hal yang sama juga terjadi saat pemilihan pimpinan MPR.

Kegaduhan politik di DPR terus berlanjut yaitu saat proses pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR. KIH bahkan bermaksud membuat pimpinan DPR tandingan. Dan Presiden Jokowi sempat melarang menteri-menterinya untuk melakukan rapat dengan DPR apabila persoalan internal DPR belum teratasi. Perintah Presiden Jokowi ini berakibat juga pada terhambatnya program pemerintah yang memerlukan persetujuan DPR. Bersyukurlah akhirnya terjadi kesepakatan kedua kubu untuk mengisi kursi alat kelengkapan DPR.

Pada saat yang hampir bersamaan terjadi kegaduhan di dua partai politik pendukung KMP, yaitu PPP dan Golkar. Kedua partai tersebut melahirkan pengurus partai ganda. Dan masing-masing kubu merasa paling sah kepengurusannya. Bahkan kedua kubu di Golkar saling mengajukan perkara ke pengadilan. Hingga saat ini kepengurusan ganda Golkar dan PPP masih belum selesai.

Selama 100 hari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo juga banyak memainkan jurus-jurus politik yang seringkali mengakibatkan kegaduhan politik dan membuat bingung sebagian besar pendukungnya termasuk rakyat banyak.

Kegaduhan politik mulai terjadi saat Jokowi mewajibkan kandidat partai politik yang menjadi menteri tidak boleh menduduki jabatan penting di partainya. Kali ini korbannya adalah Muhaimin Iskandar yang gagal menjadi menteri. Dan banyak pengurus teras partai politik lainnya rela menanggalkan jabatan penting di partai untuk menerima posisi menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi.

Sempat juga terjadi kegaduhan saat pengumuman Kabinet Kerja. Karena banyak pihak yang tidak puas dan menjadi pesimis karena Kabinet Kerja terlalu banyak diisi figur kejutan yang tidak diharapkan rakyat. Tetapi rakyat menghargai hak prerogatif Presiden Jokowi, sehingga kegaduhan segera mereda.

Kegaduhan politik kembali terjadi saat penetapan HM Prasetyo, mantan jaksa senior dan politisi Partai Nasdem, sebagai Jaksa Agung. Banyak pihak melihat, lobi Surya Paloh semakin menguat. Apalagi sebelumnya Surya Paloh diduga menjadi pembisik utama saat Presiden Jokowi menyetujui penandatangan kerjasama antara Pertamina dengan Senangol EP menjadi pemasok sebagian kebutuhan minyak Indonesia. Dengan harapan Indonesia bisa menghemat devisa sampai 25 persen.

Belum tuntas proses konsolidasi politik, baik dengan DPR, KMP maupun internal kepentingan partai politik di KIH sendiri. Tiba-tiba terjadi kecelakaan pesawat Air Asia. Peristiwa tersebut membuka mata dan telinga Jokowi bahwa koordinasi dan mekanisme komunikasi ke publik pemerintahannya lemah. Banyak petinggi negara ini tiba-tiba ingin menjadi pahlawan dan "media darling" karena telah keluar dari tugas pokok yang diamanatkan kepada jabatan mereka. Rakyat yang melihat secara terbuka kejadian ini turut prihatin atas kelemahan pemerintahan tersebut.

Belum selesai melakukan evaluasi atas buruknya koordinasi dan mekanisme komunikasi ke publik menyangkut kasus Air Asia, tiba-tiba Presiden Jokowi mengajukan nama Komjen Budi Gunawan ke DPR sebagai satu-satunya calon Kapolri. Seperti kita ketahui inisiatif Presiden Jokowi telah membuat kegaduhan politik yang langsung menimbulkan ombak besar di masyarakat bahkan lebih besar dari keputusan menaikkan BBM.

Masyarakatpun bertanya-tanya. Apa urgensinya sehingga Jenderal Sutarman, yang baru pensiun bulan Oktober 2015, harus diganti sekarang? Kesalahan mendasar apakah yang dilakukan Sutarman? Pertanyaan selanjutnya, bukankah Budi Gunawan merupakan salah satu anggota polisi yang diduga memiliki rekening gendut? Bukankah KPK sudah memberikan catatan "merah" yang berarti tidak merekomendasikan nama Budi Gunawan saat Jokowi ingin menempatkan dia sebagai salah satu calon menteri? Rakyat mulai kehilangan kepercayaan atas tekad Jokowi membangun pemerintahan bersih dan memberantas korupsi seperti tercantum dalam point kedua Nawa Cita.

Kegaduhan politik semakin meningkat ketika KPK secara resmi menyatakan BG sebagai tersangka. Padahal proses persetujuan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri sedang berlangsung di DPR. Langkah ini dibalas Polri, setelah Kapolri dan Kabareskrim dicopot Jokowi. Polri dengan cepat menangkap Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, atas tuduhan rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam prakara Pemilukada tahun 2010. Tuduhan itu sendiri berasal dari laporan anggota PDIP pada tanggal 19 Januari 2015.

Ramainya politisi PDIP menyerang pimpinan KPK juga dilakukan Pelaksana tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan beberapa pertemuan dengan Ketua KPK Abraham Samad untuk membicarakan peluangnya menjadi Wakil Presiden Joko Widodo, saat pilpres lalu.

Masyarakat yang tadinya bisa menerima keadaan politik yang gaduh, akhirnya mulai marah saat KPK mulai dikutak katik. Berduyun-duyun dukungan ke KPK diberikan masyarakat, media, politisi, praktisi, akademisi, profesional. Baik secara langsung maupun tidak langsung mereka meminta Presiden Jokowi tegas mempertahankan lembaga KPK.

Kemarahan masyarakat semakin bertambah saat Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengeluarkan pernyataan "Rakyat Tidak Jelas" bagi pendukung KPK. Banyak pihak yang menyayangkan kekeliruan pernyataan Menkopolhukam ini. Sehingga gelombang tuntutan agar Presiden Jokowi memecat Menkopolhukam mengalir deras.

Kita tahu bahwa Menkopolhukam beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang kurang pantas dikeluarkan mengingat posisinya yang sangat penting di pemerintahan Jokowi. Misalnya pernyataannya tentang Munas Golkar di Bali yang bisa membahayakan keamanan negara. Kemudian pernyataannya tentang bentrokan TNI dan Polri di Batam karena perebutan BBM ilegal.

Dalam situasi rakyat yang semakin banyak menyerang dan tidak puas atas kinerja pemerintah serta menuntut penggantian Menkopolhukam, dengan cerdik Presiden Jokowi mengangkat 9 orang tim independen untuk memberikan solusi atas pertarungan tajam antara lembaga penegak hukum Polri dan KPK. Apalagi sebagian besar individu di tim independen memiliki kredibilitas baik dalam memerangi korupsi. Ini membuat simpati rakyat kepada Presiden Jokowipun tumbuh kembali meskipun tuntutan penggantian Menkopolhukam belum dipenuhi.

Sebelumnya, saat terus menerus Presiden Jokowi didesak untuk melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, dengan santun dia menyatakan pelantikan ditunda. Keputusan ini sempat membuat marah kader partai politik di KIH. Tapi pada kenyataannya Presiden Jokowi tetap pada keputusannya.

Dari segala peristiwa kegaduhan politik di atas, kelihatannya Presiden Jokowi mendapat pengalaman yang sangat berharga. Intinya, Presiden Jokowi bisa melihat dan merasakan langsung ambisi sebenarnya para pendukungnya. Mulai dari partai politik, pengusaha, akademisi, relawan yang menjadi pendukung Jokowi di akar rumput, semuanya mengharapkan kue kekuasaan dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Hanya cara mengungkapkannya seringkali berlebihan yang bahkan telah membuka topeng yang utuh dari wajah mereka sebenarnya. Yaitu kepentingan mereka harus didahulukan dari pada kepentingan rakyat banyak.

Bahasa Presiden Jokowi yang meyatakan tidak boleh ada "kriminalisasi" memiliki pesan yang sangat dalam terutama kepada Polri dan KPK yaitu yang legal itu tidak berarti secara moral benar. Apabila tujuannya hanya untuk menghalalkan segala cara.

Karena itu kita berharap agar meskipun dinamika politik selama 5 tahun mendatang tetap berlangsung, Presiden Jokowi tetap konsisten memegang kendali pemerintahan, terutama untuk mewujudkan 9 agenda Nawa Citanya. Rakyat pasti selalu menjadi benteng utama pemimpin yang mengedepankan kebenaran moral. Dalam pemilu yang akan datang rakyat juga akan menghakimi kader partai politik atau siapapun yang hanya haus akan kekuasaan dirinya sendiri. Presiden Jokowi, lanjutkan !!! [***]

*Penulis merupakan sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA