WAWANCARA

Marwan Effendy: Banyak Dibatalkan MK, Pembuatan UU Sarat Kepentingan Kelompok Tertentu

Senin, 17 November 2014, 07:34 WIB
Marwan Effendy: Banyak Dibatalkan MK, Pembuatan UU Sarat Kepentingan Kelompok Tertentu
Marwan Effendy
rmol news logo Pakar Hukum Pidana Marwan Effendy merasa risau dengan pembuatan undang-undang. Sebab, sarat dengan kepentingan politik.

Nggak ada yang lepas dari ke­pentingan. Setiap lahir Un­dang-Undang, pasti ada muatan ke­pentingan kelompok tertentu. Makanya banyak dibatalkan Mah­kamah Konstitusi (MK),­’’­te­­­gas Marwan Effendy ke­pa­da Rak­yat Merdeka, usai se­minar dan diskusi panel bertema Ber­sihkan Hukum Dari Kepen­tingan Poli­tik” di Ballroom Hotel Grand Sa­hid Raya Jakarta, Kamis, (13/11).

Contohnya saja, lanjut bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) itu, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).  Di situ banyak sekali kepentingan poli­tiknya.

Berikut kutipan selengkapnya;


Sejauhmana penegak hukum itu berpolitik?
Sebenarnya saya nggak ko­men­tar tentang ini.  Sebagai ma­nusia, baik polisi, jaksa, dan ha­kim, bisa saja terkontaminasi oleh kepentingan politik. Tapi ini tergantung oknumnya.

Kalau lembaganya sih steril dan independen. Tapi penegak hukumnya itu,  orangnya itu, be­lum tentu  steril, belum tentu in­dependen.

Sedangkan lembaga hukum itu mewujudkan penegakan hu­kum yang bebas dari berbagai ke­pen­tingan.

Lembaga penegak hukum itu seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), kejaksaan, kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalankan  fungsi, tugas dan kewenangannya secara independen.

 Anda yakin lembaga hukum itu steril dari kepentingan politik?

Lembaganya ya. Tapi kalau orangnya, itu tergantung ok­num­­nya. Steril itu kan bersih, ter­hin­dar dari segala kepen­tingan po­litik.

Terhindar dari kepentingan pe­laku politik yang ada di lem­baga politik, bisa di eksekutif dan le­gislatif. Seperti sekarang ini ada tarik menarik dalam penggo­do­kan RUU KUHAP. Hampir se­perempat abad, nggak jadi-jadi.  Sebab, ada ta­rik me­narik, ada kepentingan po­litik di situ.  

Bagaimana menyikapinya?

Harusnya disikapi arif oleh petinggi hukum. Kekuasaan pemerintah tidak lebih sebatas pelindung bagi sistem aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegak hukum. Bukan me­mengaruhi atau mengintervensi penegakan hukum demi kepen­tingan tertentu, baik politik mau­pun ekonomi atau bisnis.

Bukankah sekarang ini sulit menemukan penegak hukum yang arif dan bijaksana?
Saya harapkan ke depan, seorang penegak hukum itu tidak dituntut hanya profesional dan proforsional, tapi juga memiliki kearifan.

Contoh, saya dulu membuat surat edaran. Intinya, orang yang sedang mengikuti pilkada atau pemilu itu jangan diusut. Jangan sampai nanti kejaksaan  ditung­gangi kepentingan po­litik.

Tapi setelah saya tidak menjadi Jampidsus, kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi seenaknya saja memanggil orang yang sedang mengikuti pilkada atau pemilu. Ke­napa nggak sabaran sih, tung­gu dong. Nah ini yang disebut butuh kearifan itu.

O ya, Ketua MPR bolak ba­lik memberikan keterangan di KPK sebagai saksi , ini bagai­mana?
KPK berwenang memangggil Ketua MPR sebagai saksi. Kita harus hormati langkah KPK itu.  Tapi itu kan masih meminta ke­terangan. Jangan dulu berpra­duga negatif. Kita harus berpra­duga tidak bersalah.

Harapan Anda?
Independensi lembaga pene­gak hukum yang telah digariskan Undang-Undang harus diterap­kan dan dipertahankan pada ranah implementasinya.

Independensi tersebut juga di­ha­rapkan dapat dimaknai secara bijak, sesuai dengan aturan-atu­ran,  dan asas universal yang berlaku.

Selain itu, menjunjung tinggi prinsip profesinoalitas, propor­sio­nalitas maupun akuntabilitas dan berdasarkan nilai-nilai inte­gritasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA