Yusril beralasan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak merinci nama-nama kementerian. Ini berarti Presiden punya hak melakukan modifikasi kementerian.
Yang penting, lanjut Yusril, nggak boleh melebihi 34 kemenÂteÂrian. Sebab, maksimal 34 keÂmenÂterian itu sudah disebutkan dalam undang-undang.
Mengenai acara pisah sambut anÂtara presiden baru dan bekas preÂsiden, menurut Yusril, tiÂdak diatur dalam konstitusi. Tapi prosesi itu tidak melanggar unÂdang-undang.
“Pisah sambut itu nggak diatur hukum tata negara kita, tapi itu boleh dipraktekkan. Adat istiadat maÂsyarakat kita kan seperti itu. Saya kira itu hal positif,†ujar PaÂkar Hukum Tata Negara ProfÂYusril Ihza Mahendra, kepada Â
Rakyat Merdeka, Selasa (21/10).
Seperti diketahui, setelah peÂlantikan Jokowi-JK menjadi PreÂsiden dan Wakil Presiden, di GeÂdung DPR/MPR, Jakarta, SeÂnin (20/10), pihak Istana mengÂgelar sesi pisah sambut dengan bekas Presiden SBY di Istana Merdeka. Kedatangan Presiden Jokowi diÂsambut upacara militer dan serangkaian kegiatan lain.
Usai prosesi, Presiden beserta Ibu Negara mengantarkan SBY dan Ani Yudhoyono menuju halaÂman, sebelum menaiki mobil pribadi mereka pulang ke Cikeas dan menjalani kehidupan sebagai warga negara biasa.
Yusril Ihza Mahendra selanÂjutÂnya mengatakan, acara pisah sambut itu perlu diapresiasi posiÂtif karena memberi simbol peÂnyerahan estafet kepemimpinan. Prosesi itu memberi isyarat, proÂses pergantian kepemimpinan berlangsung damai. Terlebih, proses peralihan kepemimpinan di masa lalu tak berlangsung mulus.
Berikut kutipan selengkapnya:Untuk menjaga kedamaian peralihan kekuasaan, apa perlu acara pisah sambut itu dimaÂsukan dalam undang-undang?Nggak perlu. Meski hal ini tidak diatur undang-undang (UU), para menteri sudah leÂbih dulu mempraktekannya. BiasaÂnya, menteri yang lama seÂcara simbolis menyerahkan tanggung jawab kepada menÂteri baru.
Prosesi ini belum pernah terÂjadi dalam pergantian presiden kita, karena proses peralihan kepemimpinan di masa lalu tak berlangsung mulus.
Hal semacam ini memang baru kali pertama terjadi. Ini perlu dilestarikan. Pesannya, meski perÂtarungan politik persebutan kursi presiden berjalan keras, proses pergantian kepemimpinan harus berlangsung damai. Ini negara kita, milik kita semua.
Selama ini, menteri sudah memÂÂpraktekkan pergantian keÂpemimpinan secara mulus.
Prosesi apa saja yang dilaÂkukan?Biasanya, menteri membuat memorandum akhir jabatan. Saat mengakhiri jabatan menÂteri. Saya juga pernah buat itu. Praktek ini sudah berlangÂsung lama.
Dalam memorandum akhir jabatan, saya menyampaikan apa yang sudah saya kerjakan, apa yang belum sempat dikerjakan. Kemudian memberi tahu menteri baru, apa masalah yang harus diÂselesaikan ke depan. Ini kan baik untuk menjaga kesinamÂbungan kerja dan kedamaian dalam pergantian kepemimpinan.
Bagaimana jika generasi selanjutnya tak melanjutkan tradisi ini?Hal ini tidak perlu di khawaÂtirkan kalau orang yang mendapat kepercayaan sebagai presiden atau menteri meyakini bahwa jawabannya adalah amanah. Orang yang jadi presiden atau menteri kebetulan mendapat amaÂnah saja.
Bukan berarti neÂgara ini milik dia. Negara ini miÂlik kita, dan estafet kepemimÂpinan harus diserahkan kepada pemimpin yang baru.
Soal pergantian presiden, poin apa saja yang diatur konsÂtitusi?Dalam konstitusi kita diatur, jaÂbatan presiden berakhir pada haÂri dia dialantik. Terhitung seÂlama lima tahun. Presiden baru langÂsung memegang kepemimÂpinan setelah masa jabatan presiÂden seÂbelumnya berakhir.
KemuÂdian, presiden terpilih menguÂcapÂkan sumpah di hadaÂpan sidang MPR. Itu saja. Soal acara pisah sambut menteri atau presiden, itu hanya soal simbolis dan kultural saja. ***
BERITA TERKAIT: