Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rujuk, Mungkinkah?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/risman-rachman-5'>RISMAN RACHMAN</a>
OLEH: RISMAN RACHMAN
  • Minggu, 06 Juli 2014, 23:01 WIB
Rujuk, Mungkinkah?
ilustrasi/net
KALI ini, kata “rujuk” ikut menghiasi Pilpres 2014. Berjalan seiring dengan kata “fitnah”, “bohong”, “fasis”, dan “komunis.” Akankah terjadi rujuk antara Prabowo-Titiek Soeharto.

Mungkinkah terjadi rujuk politik antar pendukung yang terlanjur berseberangan? Akankah berlangsung rujuk elit politik demi ibu pertiwi?

Adalah pendukung Prabowo-Hatta yang menyeret kata “rujuk” masuk ke ranah politik Pilpres 2014. Awalnya lebih sebagai respon amarah atas ledekan yang dibangun oleh kubu Jokowi-Jusuf Kalla.

Bahkan, media mensinyalir Jokowi dan Jusuf Kalla pernah ikut meledek soal status jomblonya Prabowo. Bahkan, menurut kabar, tim Jokowi-Jusuf Kalla menjadikan status dudanya Prabowo sebagai bahan kampanye untuk melemahkan posisi Prabowo di mata publik.

Lama kelamaan, respon awal yang bersifat amarah berubah menjadi respon positif. Terungkapnya kisah kasih Prabowo-Titiek mendorong pendukung untuk berempati dan berharap Prabowo-Titiek kembali rujuk.

Menariknya, kubu Jokowi-Jusuf Kalla juga seperti ikut “merestui.” Terbukti, tidak banyak lagi soal jomblo dibahas diruang sosial media. Atau, bisa jadi juga karena sadar politik bahwa mengangkat isu jomblonya Prabowo justru membangun militansi di kubu Prabowo-Hatta, atau bahkan menambah jumlah pendukung Prabowo-Hatta.

Terlepas, apakah Prabowo-Titiek benar akan rujuk, yang jelas kekacauan politik nasional memang menghendaki adanya rujuk politik. Bangsa ini sudah terlalu lama digerus oleh aksi “cerai” politik. Orde baru bercerai dengan orde lama. Orde reformasi melakukan talaq tiga terhadap orde baru.

Dalam Pilpres 2014 ini juga terjadi “cerai politik.” Media A “bercerai” dengan media B dalam pewartaan. Hal ini juga terjadi dikalangan aktivis, tokoh masyarakat, tokoh agama, seniman, budayawan, juga artis. Bahkan, antara Megawati dengan Sby juga terjadi “cerai politik.”

Cilakanya, nyaris tidak ada “cerai” yang indah. Kawan yang dulunya semeja kopi jadi musuhan di pilpres. Anggota partai yang dulunya taat pada aturan menjadi musuhan di pilpres. Prabowo yang dulunya pernah menjadi cawapresnya Megawati terpisah di pilpres. Jokowi yang dulunya didukung Prabowo malah menyerang Prabowo di pilpres. Bahkan, selama 10 tahun tidak ada komunikasi politik antara Megawati dengan SBY.

Komunikasi publik di media sosial terbelah dua dalam suasana cacian, praduga, fitnah, pembusukan, tuduhan, dan segala hal yang dipandang dapat menjatuhkan lawan. Bahkan, di bulan ramadahan dan di musim tenangpun manusia berubah menjadi prajurit setan yang setia berbuat bohong dan menebar kebohongan.

Status kenegarawanan tidak cukup membantu elit politik untuk rujuk. Intelektualitas atau kecendikiawanan tidak cukup untuk menggerakkan. Religiusitas tidak cukup untuk menjadi bahan renungan. Nilai-nilai aktivisme tidak cukup untuk mengorganisir kesadaran.

Rujuk tiba-tiba begitu menjauh dari kehidupan politik Indonesia. Cinta kepada ibu pertiwi tidak lagi menyentuh hati untuk mendekatkan lalu menyatukan atau rujuk. Orde baru dilihat sebatas hantu fasis.

Reformasi dibaca sekedar basa-basi. Sedang revolusi dibaca sebagai kebangkitan faham komunis. Semua serba antagonis, menakutkan, dan akhirnya terjebak dalam dendam dan dendam politik yang setiap lima tahunan di reproduksi dan kemudian menjadi konsumsi publik, termasuk generasi non pelaku sejarah.

Tidak ada kata lain. Anak bangsa ini harus rujuk. Kebaikan harus bersedia diambil dari seluruh babak sejarah. Kelemahan harus bersedia untuk diperkuatkan, dan kegagalan tidak boleh dijadikan pupuk untuk menumbuhkan pohon dendam yang tumbuh dan berbuah di setiap musim pemilihan.

Dendam tidak juga tidak layak diurai menjadi benang, yang kemudian dirajut menjadi pakaian untuk dipakai oleh generasi muda. Kalau memang bangsa ini masih mengaku sebagai bangsa besar yang menghargai jasa para pahlawan, kalau bangsa ini masih ingin berpegang teguh pada pancasila, kalau bangsa ini masih memiliki cinta pada tanah air maka rujuk menjadi kewajiban.

Periode 2014-2019 haruslah menjadi momentum rujuk anak bangsa. Tentu tidak perlu dilakukan dalam formula seremonial. Biarlah rujuk terjadi secara natural atau alamiah. Mungkin bisa diawali dengan rujuk cinta antara Prabowo dengan Titiek Soeharto. [***]

Penulis adalah warga Banda Aceh.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA