Demikian disampaikan Chief of Analytic and Engineering, Prapancha Research, Adi Ahdiat dalam keterangannya pagi ini (Sabtu, 5/7).
"Kita sering dengar kandidat yang bisa kuasai suara di media sosial akan kuasai suara riil. Tapi pandangan ini keliru. Sia-sia saja kalau linimasa orang-orang malah dijejali dengan kampanye serba melebih-lebihkan atau fitnah tak berdasar yang menimbulkan antipati," jelas Adi Ahdiat.
Dia mengungkapkan itu terkait temuan terbarunya bahwa bahwa ajang kampanye mendorong tak sedikit orang mencabut perkawanannya dengan beberapa teman di media sosial.
Beberapa merasa terganggu dengan pandangan politik kawannya yang bertentangan. Sementara yang lain tak nyaman karena linimasanya dipenuhi hiruk-pikuk kampanye. (Baca:
Ironis, Pilpres Terbukti Merusak Pertemanan)
Terlebih, Adi melanjutkan, dengan perbedaan suara yang tipis serta swing voter yang tak sedikit, jauh lebih penting bagi masing-masing kandidat untuk meraih suara konstituen yang masih terombang-ambing, alih-alih yang sudah punya kecenderungan kuat memilih kandidat tertentu.
Lanjut menurut Adi, penguasaan perbincangan di media sosial tak hanya mensyaratkan kuantitas namun juga kualitas. Pada saat tim bisa mengirimkan profil sang capres tanpa menjejali publik dengan informasi-informasi yang tak mereka butuhkan, informasi tersebut akan lebih efektif mempengaruhi preferensi publik. Penerimaan akan berlangsung sebelum disadari.
"Konten tertentu viral bukan kebetulan tetapi juga karena menghibur atau mengena. Artinya, konten itu relevan sehingga disebarkan bahkan pemilih yang netral," ungkap Adi.
Ke depan, Adi berharap agar politik semakin cerdas dalam berkomunikasi dengan para konstituennya.
[zul]
BERITA TERKAIT: