Di balik keberanian para orangÂtua siswa melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya di sekolah internasional tersebut, mereka malah berÂhaÂdapan dengan laporan penÂceÂmaran nama baik dari sejumlah guru JIS yang merasa dirugikan.
Sebelumnya, DE selaku orangÂtua terduga korban kekerasan sekÂsual di sekolah JIS telah meÂlaÂporkan dugaan tindak keÂkerÂasan seksual terhadap anaknya ke kepolisian.
Namun, kini dia dilaporkan balik oleh oknum guru JIS yang merasa dicemarkan nama baiknya.
“Kami berkoordinasi dengan LPSK terkait permintaan perlinÂdungan pelecehan seksual. BeÂlaÂkangan ini, ibu korban melapor ke kepolisian minta perlinÂdungÂan. Di sisi lain, ada orang yang meÂlaporkan pelapor dengan duÂgaan pencemaran nama baik ke kepolisian,†kata Ketua Asrorun Ni’am Jakarta, kemarin.
Dia menilai, pelapor dalam hal ini orang tua korban kekerasan seksual sebenarnya tidak dituntut balik. Sementara itu, Sekretaris KPAI, Erlinda, menjelaskan seÂtelah orang tua korban melaÂporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya ke Polda Metro Jaya, hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti.
“Sampai saat ini, kami masih meÂnunggu hasil dari perkemÂbangÂan kasus pelecehan di JIS yang masih ditelusuri Polda. Tapi, kami sudah memiliki data dari berÂbagai sumber,†ujarnya.
Karena itu, dia mendorong LPSK agar melinÂdungi orangtua murid yang dilaÂporkan ke Polda tersebut.
Menyikapi hal ini, Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli meminta piÂhak Polri memberikan perÂlinÂdungan kepada setiap saksi atau korban dari serangan balik. Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat tidak takut memberikan laporan atau kesaksian.
Berdasarkan pasal 10 ayat 1 UU 13 tahun 2006 disebutkan bahÂwa saksi atau korban tidak dapat dituntut baik secara pidana atauÂpun perdata atas kesakÂsiÂannya. “Jika ternyata terduga peÂlaku justru diutamakan, jangan harap ada partisipasi masyarakat daÂlam pengungkapan suatu tinÂdak pidana,†tandasnya.
LPSK, lanjutnya, sebagai lemÂbaga yang dimandatkan negara untuk perlindungan kepada saksi atau korban menyatakan siap memÂberikan perlindungan keÂpaÂda DE.
Berdasarkan Undang-undang NoÂmor 13 tahun 2006 tentang PerÂlindungan Saksi dan Korban, saksi ataupun korban harus meÂmaÂsukkan permohonan resmi perÂlindungan LPSK untuk ditinÂdaklanÂjuti.
Lembagaini juga akan segera meÂmanÂtau perkembangan terbaru dari kasus seksual anak tersebut. “Tentunya, semua harus lihat konÂdisi pelecehan ini. Menurut proÂsedur, kami akan menunggu kaÂbar dari Polda,†imbuhnya.
Sebelumnya, LPSK juga telah meminta polisi memprioritaskan laporan awal dari pihak orangtua. “Jika polisi langsung memproses laporan dari pihak guru bisa menjadi buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,†pungÂkasÂnya.
KSPI Soroti Putusan Janggal Perkara Blue Bird Vs PekerjaDiharuskan Bayar Rp 140 Miliar Konferederasi Serikat PeÂkerja Indonesi (KSPI) menyaÂyangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menghukum bekas Direktur PT Blue Bird Taxi MinÂtarsih Latief mengembalikan uang gaji dan THR yang diterima seÂlama 10 tahun sebesar Rp 40 miliar.
Putusan itu terkait perkara guÂgatan perbuatan melawan hukum PT Blue Bird Taxi terhadap MinÂtarsih A Latief dan keluarga. HaÂkim yang diketuai Suprapto dalam putusannya juga meÂwaÂjibkan Mintarsih membayar keÂrugian immaterial kepada pengÂgugat Rp 100 miliar. Total yang harus dikembalikan Mintarsih berjumlah Rp 140 miliar.
“Itu putusan aneh dan patut dipertanyakan. Masa gaji yang sudah dibayarkan diminta kemÂbali,†ujar Presiden KSPI Said IqÂbal kepada wartawan di JaÂkarta, keÂmarin. Menurutnya, kebeÂraÂnian hakim yang memutus perÂkara seperti itu tidak bisa terulang pada tenaga kerja lain.
“Direktur perusahaan saja bisa diminta gajinya dikembalikan, apalagi
office boy yang tidak puÂnya daya, itu patut dipertaÂnyaÂkan,†ucapnya. Selain putusan janggal dan aneh, menurut Said, juga perlu dipertanyakan meÂngapa perkara diterima di PN JaÂkarta Selatan.
Sebab, perkara itu seharusnya diselesaikan di Peradilan HuÂbungÂan Industrial (PHI) jika meÂnyangkut perusahaan dengan pegawai atau karyawan. Jika menyangkut perbuatan melawan hukum dan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 310 dan 311 KUHP) masuk tindak pidana umum, bukan perkara perdata.
Apalagi, lanjut Said, pasal-paÂsal karet seperti pasal 310 dan 311 sudah dihapus Mahkamah KonÂstiÂtusi (MK). “Aneh saja menÂdeÂngar ada putusan seperti itu. HaÂkim yang memutus perkara mungÂkin melebihi kewenangÂanÂnya,†tutur Said.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Adami ChaÂzawi kaget mendengar ada amar putusan agar gaji dan THR pegawai perusahaan dikemÂbaÂlikan kepada penggugat dalam perÂkara tersebut.
“Itu kekeliruan nyata dalam pertimbangan putusan jadi layak dikoreksi hakim Pengadilan TingÂgi dan MA. Itu putusan aneh,†ujar Adami. Menurut dia, puÂtusan majelis hakim agar gaji dan THR yang diterima tergugat selama bertahun-tahun bekerja di perusahaan Blue Bird meruÂpaÂkan putusan yang tidak wajar. Apalagi yang menjadi dasar gugatan adalah perbuatan tidak menyeÂnangkan.
“Seharusnya dibuktikan lebih dulu perbuatan tidak menyeÂnangÂkan yang dimaksud melalui piÂdana umum. Jadikan amar putusÂannya sebagai bukti otentik pada gugatan perbuatan melawan hukum,†jelasnya.
Pekan lalu, Majelis Hakim PN JaÂksel mengabulkan seÂbagian guÂgatan sebesar Rp 4,9 triÂliun yang dilayangkan bos PT Blue Bird Taxi Purnomo Prawiro terhadap Mintarsih A Latief dan keluarga.
Majelis hakim yang diketuai Suprapto menyatakan Mintarsih harus membayar Rp 140 miliar keÂpada Blue Bird. Rinciannya, seÂbesar Rp 40 miliar berupa peÂngemÂbalian pembayaran gaji dan THR yang telah diterima terÂgugat, dan Rp 100 miliar berupa pemÂbayaran kerugian immaterial yang dialami perusahaan ini.
Ajang Temu Tani Dijadikan Obyekan Perusahaan AsingMaraknya perusahaan pertaÂniÂan asing yang menyerbu InÂdoÂnesia dinilai akan mempersulit petani lokal. Pasalnya, petani InÂdoÂnesia akan sulit mandiri dan mengalami ketergantungan proÂduk-produk penunjang pertanian, seperti benih, pupuk, dan pesÂtiÂsida, yang ditawarkan perÂusaÂhaÂan tersebut.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menÂceritakan ajang Pekan NaÂsional Petani Nelayan (PENAS) XIV yang berlangsung beberapa wakÂtu lalu meninggalkan cerita miris akibat kehadiran perÂusaÂhaan-perusahan pertanian asing.
“PENAS yang harapannya bisa menjadi ajang pertemuan bagi peÂtani nelayan untuk saling bertukar informasi, belajar, serta meÂingÂkatkan motivasi kepada generasi muÂda untuk cinta kepada bidang pertanian dan perikanan, malah menÂjadi tempat para perusahan perÂtÂanian trannasional mencari keÂuntungan, demi menumpuk pundi-pundi keuntungannya,†katÂanya dalam rilis yang diterima
Rakyat Merdeka, kemarin.
Perusahaan-perusahaan itu, sebÂutnya, memasarkan benih transÂgenik, pestisida dan herÂbiÂsida secara masal dan mengÂanÂjurÂkan para petani untuk memakai proÂduk yang mereka hasilkan. “Hal ini tentu saja sangat disaÂyangkan, masyarakat petani maÂlah menjadi ajang cari keunÂtungan atau obyekan bagi perusahaan pertanian transnasional,†keluhnya.
Henry menegaskan, SPI meÂnoÂlak keras campur tangan perÂusaÂhaan transnasional pertanian dalam sektor pertanian di IndoÂneÂsia, karena akan mengÂhiÂlangÂkan kedaulatan petani akan benih dan pupuk. “Secara halus, petani diÂgiring untuk akhirnya terÂganÂtung terhadap produk-produk mereka. Dari sisi produksi, hasil paÂnen yang menggunakan input-inÂput kimia itu juga tidak seÂbanÂding dengan biaya pembelian beÂnih dan pestisida kimia. PaÂdahal pertanian agroekologis yang ramah lingkungan terÂbukti mampu mengÂhasilkan hasil panen yang lebih tinggi,†paparnya.
Rentan Dieksploitasi, Konvensi PRT Migran Perlu DiratifikasiPemerintah diminta segera meratifikasi konvensi InÂterÂnational Labour Organization (ILO) No 189 soal Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pasalnya, jutaan PRT hingÂga kini masih rentan terÂhaÂdap eksploitasi ekonomi dan kekerasan.
“Sejak Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT diÂadopsi tiga tahun lalu, peÂmeÂrintah belum mau meÂratiÂfiÂkasinya. Dalam rangka memÂpeÂringati hari PRT sedunia keÂmarin, pemerintah perlu meÂwuÂjudkan hal itu,†ujar Ketua GuÂgus Kerja Pekerja Migran KoÂmisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap PeÂremÂpuan, Agustinus Supriyanto di Jakarta, kemarin.
Agus mengemukakan, hak atas kerja layak bagi warga neÂgara dijamin dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 27. Sementara di dunia interÂnaÂsional, komitmen pemerintah untuk pengakuan dan perÂlinÂdungan PRT untuk mendapat kerja layak telah disampaikan PreÂsiden Susilo Bambang YuÂdhoÂyono dalam pidato di forum ILO di tahun 2011.
Hal itu sudah dicatat dan direkomendasikan PBB. “Jadi, kami menuntut pemerintah mengkonkretkan komitmen tersebut,†katanya. Agus meÂnamÂbahkan, komite hak-hak ekoÂnomi, sosial dan budaya (EkÂosob) juga mereÂkoÂmenÂdaÂsikan pemerintah meratifikasiÂnya.
Selain itu, Ekosob terus menÂdorong penyediaan mekanisme efektif untuk melaporkan tinÂdakan kekerasan dan eksploitasi yang dialami PRT dan kondisi kerÂjanya.
“Terkait PRT migran, Komite Ekosob juga meminta persÂoalan peran agen dan kerenÂtanan eksploitasi PRT oleh agen, biaya penempatan dan peÂngawasan terhadap agen menÂÂdapat perhatian.
Komisioner Gugus Kerja Pekerja Migran Sri NurÂherwati meÂnambahkan, KomÂnas PeÂremÂpuan meminta PeÂmeÂrintah dan DPR segera melaÂkuÂkan dua hal.
Pertama, mengimÂpleÂmenÂtaÂsikan rekomendasi dari Komite Ekosob, khususnya terkait konÂdisi PRT, baik di dalam dan luar negeri. Kedua, menjamin dan memÂfasilitasi hak PRT di dalam dan luar negeri untuk berserikat agar posisi tawar PRT semakin kuat untuk berunding dengan maÂjikan, agen dan pihak lainÂnya.
KHN Sentil Jaminan Hukum Di Peradilan Anggota Komisi Hukum NaÂsional (KHN) Frans Hendra WiÂnarta mengemukakan keÂpasÂtian hukum di bidang investasi hingga kini masih carut-marut. Bila regulasi di bidang investasi jelas dan putusan pengadilan konsisten, iklim usaha bakal kondusif.
Ia meminta pemerintahan baru nanti perlu memperbaiki reÂgulasi di bidang investasi. “KeÂpastian hukum berpengaruh terÂhadap pembangunan ekoÂnoÂmi nasional,†timpalnya.
Menurut dia, putusan pengadilan itu haÂrus bersifat prediktabel, konÂsisÂten dan tidak diskriminatif.
Tak ada jalan lain, katanya, peÂngadilan harus menunjukkan keÂjujuran, kompeten, inÂdeÂpenÂden dan imparsial. Secara khuÂsus, ia menyoroti maraknya prakÂtik korupsi yudisial.
Secara nyata, bentuk duÂkungÂan hukum ini akan terwujud bila biÂrokrasi yang bertele-tele diÂpangÂkas, perijinan dipermudah dan disederhanakan. Sektor inÂvesÂtasi asing harus bermanfaat bagi kepentingan nasional dan tidak berseberangan dengan kepentingan nasional.
“
High cost economy, praktik koÂrupsi dan ketidakpastian huÂkum harus diatasi kalau mau menang dalam bersaing di kaÂwasan Asia dan ASEAN khuÂsusnya,†katanya.
Pemasalahan hukum lainnya yang perlu pula mendapatkan perhatian adalah penguatan kelembagaan penegak hukum dan kekuasaan kehakiman.
Ada dua faktor yang harus menÂdapatkan perhatian agar huÂkum berlaku bagi setiap orang dan tidak diskriminatif. PerÂtaÂma, persamaan hukum harus berÂlaku bagi semua pihak dan keÂdua, tidak ada priviledge (keÂistimewaan). Oleh kaÂrena itu, keteladanan pemimÂpin sangat diperlukan.
Dunia usaha, khususnya inÂvestor asing tengah memÂperÂhaÂtikan beberapa kasus lain sengÂketa hukum Churchill Mining yang kini perkaranya ditangani di Arbitrase Internasional dan perÂkara Weatherford Indonesia (WI) melawan Superior Coach. ***
BERITA TERKAIT: