Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

PILPRES 2014

Inilah Kunci agar Jokowi Tidak Lekas Terjerambab

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-5'>ADE MULYANA</a>
OLEH: ADE MULYANA
  • Kamis, 08 Mei 2014, 00:35 WIB
Inilah Kunci agar Jokowi Tidak Lekas Terjerambab
DR. Rizal Ramli/net
rmol news logo Setelah dilantik sebagai Presiden RI, Joko Widodo, akan menghadapi tugas pertama: membuktikan bahwa ia memiliki pendekatan pembangunan yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Pendekatan yang mengedepankan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok dan kepentingan pihak asing.

Pembuktian itu hanya dapat diukur dari anatomi Anggaran Pendapat dan Belanja Nasional (APBN) yang dirumuskan pemerintahannya dan selanjutnya diperjuangkan untuk mendapatkan persetujuan Parlemen.

Itu akan menjadi masa-masa kritis. Keberhasilan Jokowi memanfaatkan golden period sebagai ajang membuktikan kualitas dirinya sebagai tokoh yang merakyat, tidak sekadar jatuh dari langit, akan membuahkan pondasi yang kuat bagi pemerintahannya. Sebaliknya, kegagalan membuktikan kualitas diri itu hanya akan berbuah cibiran dan gelombang ketidakpercayaan.

Berkaca dari pengalaman Jokowi memperjuangkan APBD Jakarta 2014 terlihat dia tidak punya kemampuan yang memadai dalam hal lobi politik untuk menggolkan APBD itu. Pembahasan APBD Jakarta bertele-tele dan molor serta nyaris tidak disetujui DPRD Jakarta.

Nah, apabila Jokowi dan pemerintahannya nanti gagal membuat APBN 2015, maka seperti yang disebutkan dalam Konstitusi, pemerintahan Jokowi wajib menggunakan APBN tahun sebelumnya (baca: APBN 2014 yang dihasilkan pemerintahan SBY). Padahal selama ini ramai dibicarakan bahwa anatomi APBN pemerintahan SBY tidak berpihak kepada rakyat.

APBN 2014 sebesar Rp 1.842,49 triliun dengan komposisi Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.249,94 triliun atau sekitar 70 persen dan alokasi untuk Pemerintah Daerah sebesar Rp 529,55 triliun atau 30 persen.

APBN 2014 dinilai bias kepentingan pejabat yang tidak bernilai produktif, melainkan konsumtif. Anggaran perjalanan dinas di tahun 2014 dinaikkan Rp 8 triliun atau sekitar 33 persen dari anggaran pos itu di tahun 2013, yaitu dari Rp 24 triliun menjadi Rp 32 triliun.

Di sisi lain, besar anggaran yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat seperti subsidi energi dan bantuan sosial turun. Dalam APBN 2014 anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) sebesar Rp 282 triliun. Angka ini turun dari Rp 299,9 triliun dalam APBN Perubahan 2013. Anggaran bantuan sosial juga turun dari Rp 82,4 triliun menjadi Rp. 55,8.

Kalaulah Jokowi menggunakan APBN 2014 yang tidak pro rakyat sebagai APBN 2015, maka bukan tidak mungkin, ia dan pemerintahannya akan dengan mudah dibuat jatuh terjerembab oleh lawan-lawan politik juga oleh para pendukung yang kecewa.

Karena itulah Jokowi dan petinggi PDIP perlu sejak dini diingatkan untuk berhati-hati memilih partner yang akan mendampingi Jokowi. Pendamping Jokowi itu haruslah seorang ekonom yang handal, yang tidak hanya punya kemampuan membicarakan hal-hal besar berkaitan dengan desain ekonomi nasional, tetapi juga memiliki kemampuan mewujudkan desain ekonomi nasional itu.

Dan yang paling urgent dibutuhkan Jokowi adalah seorang ekonom yang memiliki kemampuan mendesain APBN yang pro rakyat, dan kemampuan memperjuangkannya sehingga gol di Parlemen.

Dari sekian banyak ekonom di Indonesia, baru Rizal Ramli seorang yang pernah membutktikan dua kemampuan itu. Ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan di tahun 2001, Rizal Ramli yang kini adalah anggota Panel Ahli PBB itu hanya butuh waktu tiga hari untuk merumuskan APBN dan mendapatkan dukungan DPR untuk APBN itu.

Dia dilantik Presiden Abdurrahman Wahid di hari Jumat. Sementara di hari Senin berikutnya DPR RI sudah mengetuk palu menyetujui APBN yang diajukan Rizal Ramli dan pemerintahan Gus Dur.

Dalam sebuah kesempatan, Rizal Ramli menjelaskan rahasia di balik keberhasilan itu. Menurutnya ada tiga hal yang dibutuhkan untuk mengulangi keberhasilan itu. Pertama, lobi dan pergaulan yang luas dengan politisi. Kedua, pengetahuan yang detil dan komprehensif mengenai isu-isu ekonomi baik makro maupun mikro. Intinya, menguasai persoalan. Ketiga, tidak memiliki kepentingan ekonomi baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Juga tidak ditengarai memiliki kasus-kasus berbau KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme.

Nah, petinggi PDIP dan Jokowi perlu mempertimbangkan hal ini agar tidak mudah terjerambab pada golden period itu. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA