Wilfrida Bebas Dari Vonis Tiang Gantung Malaysia

Masih Di Bawah Umur & Korban Perdagangan Manusia

Selasa, 08 April 2014, 09:49 WIB
Wilfrida Bebas Dari Vonis Tiang Gantung Malaysia
Wilfrida Soik
rmol news logo Kabar baik datang dari negeri jiran. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) Wilfrida Soik divonis bebas dari hukuman mati oleh majelis hakim Mahkamah Tinggi Kotabharu Kelantan, Malaysia.

Vonis bebas tersebut langsung disambut gembira oleh para aktivis yang menghadiri persidangan tersebut. Dalam putusannya, Wilfrida dibebaskan karena masih di bawah umur dan jadi korban perdagangan manusia. Namun, dia harus menjalani perawatan di rumah sakit (RS) jiwa hingga dinyatakan sembuh oleh dokter.

Direktur Migrant Care Anis Hidayat menyatakan, Hakim Mahkamah Tinggi Kotabharu Kelantan meloloskan Wilfrida dari vonis maksimal Kanun Keseksaan Artikel 302 Penal Code Malaysia.

“Migrant Care yang sejak awal memantau kasus dan persidangan Wilfrida Soik memang meyakini bahwa dia tidak pantas dihukum mati. Karena posisinya sebagai anak di bawah umur dan korban dari jeratan sindikat perdagangan manusia,” kata Anis dalam pernyataannya di Malaysia, kemarin.

Anis bilang, meski Wilfrida sudah bebas, dia harsus menjalani perawatan kejiwaan di RS Malaysia. Menurutnya, putusan itu sangat adil, sebab Wilfrida sejak awal membunuh untuk membela diri dari penyiksaan majikannya.

“Putusan ini juga akan menjadi preseden baik bagi penegakan hukum terhadap ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara,” tuturnya.

Anis menjelaskan, perjuangan untuk membebaskan Wilfrida selama empat tahun terakhir cukup panjang. Dia bersyukur Wilfrida mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak dan komunitas.

Pembebasan itu, katanya, berkat kolaborasi advokasi masyarakat sipil yang terdiri dari Migrant Care dengan DPR, DPD, DPRD Belu, pihak Gereja di Belu, Change.org, Komunitas lintas agama, Melanie Subono dan para pendukung petisi #Save Wilfrida melalui Change.org.

Anis mencatat, petisi #SaveWilfrida berhasil mendapatkan lebih dari 13.000 tandatangan dari puluhan negara. Salah satu petisi dengan suara terbanyak di situs Change.org.

“Satu-satunya pihak yang sepanjang sidang berlangsung hingga putusan dan memberikan dukungan kepada Wilfrida adalah Alex Ong, warga negara Malaysia yang merupakan Country Representatives Migrant Care di Malaysia,” ungkapnya.

Aktivis buruh yang juga politisi PDIP, Rieke Diah Pitaloka mengingatkan, Wilfrida belum sepenuhnya bebas dari ancaman tiang gantungan. Sebab, dia masih harus menunggu pengampunan dari Sultan.

“Mahkamah menyatakan Wilfrida tidak bersalah. Namun, karena tindakannya menyebabkan kematian seseorang, maka majelis hakim memutuskan Wilfrida ke RS jiwa sambil menunggu menerima pengampunan dari Sultan,” jelasRieke.

Menurutnya, kepindahan Wilfrida ke RS Jiwa Permai untuk direhabilitasi sampai sembuh sifatnya baru sementara. Putusan hakim secara tertulis baru dikeluarkan dalam jangka waktu 2-4 minggu.
 
“Pihak jaksa akan menunggu putusan bertulis dari hakim, meneliti dan masih ada kemungkinan ajukan banding. Pengajuan banding dapat diajukan jaksa penuntut hingga 14 hari setelah putusan tertulis dikeluarkan,” bebernya.

Jadi, imbuh Rieke, secara hukum Wilfrida belum bisa dikatakan final bebas dari vonis mati, hingga jaksa penuntut tak ajukan banding atas putusan hakim.

“Secara pribadi saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang selama bertahun-tahun berjuang bersama mengawal kasus Wilfrida. Terutama kawan-kawan di KBRI Malaysia dan tim pengacara yang ditunjuk, aktivis pembela hak-hak buruh migran, terutama Migrant Care Indonesia dan Malaysia, Change.org, dan lain-lain,” katanya.

Menurut Rieke, masih dibutuhkan perjuangan demi memastikan Wilfrida terbebas dari hukuman tersebut melalui putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Perjuangan belum selesai. Masih dibutuhkan perjuangan dan kerja keras kita seluruh elemen bangsa untuk selamatkan nyawa Wilfrida,” ujarnya.

Ratusan Buruh DKI Geruduk Balaikota
Desak Pemprov Segera Tetapkan UMSP

Tak kunjung ditetapkannya Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) di DKI Jakarta membuat kalangan buruh resah. Kemarin, ratusan buruh yang berasal dari Forum Buruh DKI, Front Buruh Kawasan Industri Pulo Gadung, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendatangi Balaikota.

Mereka mendesak pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera menetapkan nominal UMSP tahun 2014 yang hingga kini belum ada kejelasan.

Massa yang datang pukul 11.00 WIB ini, membawa spanduk bertuliskan; “Buruh Sudah Kesal Dibohongi Terus’, ‘Gubernur Jokowi Jangan Lepas Tangan Soal UMSP’, ‘Jangan Monyet yang Diurusin, UMSP Dong Diputusin’, ‘Awas Rekayasa UMSP’, dan ‘Bayar UMSP Sekarang Juga’. Mereka juga membawa spanduk bertuliskan ‘Segera Keluarkan SK UMSP DKI, UMSP Belum Beres Kok Mau Nyapres’.

Seorang orator menyatakan, kedatangan dia beserta kawan-kawannya adalah mendesak Pemprov DKI Jakarta segera menetapkan UMSP supaya mereka bisa menerima upah yang sesuai dengan UMSP.

“Kami sudah menyampaikan hal ini ke Disnaker DKI Jakarta tapi tidak ada hasilnya. Kami minta UMSP segera disahkan. Kalau tidak, kami akan kembali dan menggelar aksi yang lebih besar,” teriaknya.

Koordinator aksi, Winarso mengatakan, para buruh mencoba menyampaikan aspirasinya ke Balaikota dengan ha–rapan Gubernur Joko Widodo segera menetapkan UMSP menjelang pemilu.

“Meski hari ini hari tenang, buruh tetap sampaikan aspirasi, karena sampai saat ini masih banyak buruh yang belum deal soal kenaikan gaji 2014 ini,” katanya.

Pihak perusahaan, lanjutnya, menolak menaikkan gaji buruh dengan alasan Surat Keterangan (SK) mengenai UMSP dari Gubernur DKI Jakarta belum turun.

“Kami berharap Gubernur mau menemui kami. Para buruh sudah resah karena UMSP belum ditetapkan. Biasanya pada tahun-tahun yang lalu SK Gubernur tentang UMSP sudah turun bulan Februari,” alasannya.

Ketua Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin (LEM) DKI Jakarta, Yulianto mengatakan, penetapan UMSP DKI Jakarta seharusnya sudah ditetapkan gubernur dari Januari 2014.

“Tapi sudah lebih dari 4 bulan belum ada penetapan nilai UMSP. Hal ini menunjukkan tidak ada kepedulian Gubernur DKI terhadap kesejahteraan dan nasib kaum buruh. Apalagi di seluruh Indonesia hanya tinggal DKI Jakarta yang belum menetapkan UMSP,” kata Yulianto.

Penetapan UMSP, jelasnya, didasarkan kepada Permenakertrans Nomor 7 tahun 2013 tentang Upah Minimum. Menurut dia, buruh menuntut nilai UMSP yang berkisar antara 5- 20 persen di atas UMP sesuai kemampuan sektor industrinya.

“Mengenai nominalnya kami realistis saja. Selama ini rata-rata UMSP adalah 17 persen di atas nominal UMP atau sekitar Rp 2,85 juta,” ucapnya.

Dia mengaku sudah berkali-kali menyampaikan tuntutan ini melalui Dewan Pengupahan DKI Jakarta, tapi tak kunjung memberikan hasil.

“Kalau penetapan UMSP didorong melalui mekanisme bipartit, maka ini akan bertentangan dengan Permenakertrans Nomor 7 tahun 2013. Kami berharap sebelum pemilu UMSP sudah ditetapkan. Karena kalau belum juga ditetapkan, maka akan jadi berlarut-larut,” ingatnya.

Kebijakan Kelautan Dianggap Pro Asing

Kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan nasional mengarah pada praktik liberalisasi dan mendiskriminasi nelayan tradisional. Akibatnya, pihak asing diberi porsi leluasa, sementara nelayan terus dikebiri hak-hak konstitusionalnya.

“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut sudah kebablasan campur tangan asing. Sebaliknya, implementasi program perlindungan dan pemberdayaan nelayan hanya basa-basi dan menciptakan relasi ketidakadilan ala kolonial, yaitu buruh-majikan (pemilik kapal/tuan tanah dengan nelayan tak berkapal/pembudidaya gurem). Contohnya demfarm dan 1.000 kapal Inka Mina,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim ketika berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.

Halim mengatakan, berdasarkan pusat data dan informasi Kiara (April 2014), sedikitnya ada dua fakta campur tangan asing yang harus diwaspadai. Pertama, asing diberi keleluasaan untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Hal itu dilegalkan melalui Pasal 26A ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam pasal itu, pemerintah membuka kesempatan bagi pihak asing untuk ikut mengelola pulau milik Indonesia.

Kedua, kata dia, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana, membebani keuangan negara dengan berutang sebesar Rp. 534,162 miliar kepada Bank Dunia atas nama Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/Coremap).

Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik meminta para pimpinan dan partai politik peserta Pemilu 2014 segera memperbaharui komitmen dan strategi partainya dalam melindungi nelayan dan petambak Indonesia.

Menurut Riza, mereka harus memastikan, kelak para kadernya di jajaran eksekutif dan legislatif benar-benar berkomitmen mendorong akselesari perlindungan nelayan dan petambak.

“Caranya dengan menyediakan sistem kredit usaha bagi nelayan dengan akses dan sistem pembayaran yang mudah, serta mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan,” katanya.

Sektor Pertanian Kian Termarjinalkan
Alih Fungsi Lahan Tak Dikendalikan

Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) mengungkapkan, kurangnya perhatian berbagai pihak terhadap peningkatan kesejahteraan petani dan tumbuhnya praktek impor pangan yang berlebihan, mengakibatkan pertanian semakin termarjinalkan.

“Produktivitas beras nasional yang tidak juga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional, dipicu persoalan klasik yang sampai sekarang belum bisa diselesaikan. Di antaranya, alih fungsi lahan pertanian produktif yang setiap tahun mencapai 100 ribu hektare,” kata Ketua Umum HA IPB Bambang Hendroyono dalam rilis yang diterima Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Selain itu, kata Bambang, adanya kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tak lagi tertarik ikut  dalam kegiatan pertanian padi, karena dianggap tidak menarik.

Dia lalu mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan pada 2004, ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian. Sementara pada tahun 2013, angkanya menyusut menjadi 39,96 juta orang.

“Persoalan berikutnya adalah dukungan infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi, saluran pertanian primer sampai tersier yang masih sangat minim. Kerusakan saluran irigasi di berbagai wilayah kurang mendapat perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah,” bebernya.

Faktor inilah, menurut Bambang, yang kemudian menjadi pembenar atas kebijakan impor pangan, terutama beras, jagung, kedelai dan daging.

“Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin masa depan yang memiliki kepedulian dan komitmen tinggi pada sektor pertanian. Terutama dalam meningkatkan kesejahteraan petani,” cetusnya.

Alih fungsi lahan pertanian produktif di Indonesia cukup memprihatinkan hingga mencapai 100.000 hektare per tahun adalah jumlah yang tidak sedikit dan itu pasti berdampak terhadap produktivitas pertanian.

 Terkait dengan persoalan ini, HA IPB akan terus menyuarakan kepada berbagai pihak agar alih fungsi lahan pertanian harus ditekan.

Sebagai informasi, pada  Minggu (6/4), kepengurusan DPD HA IPB Lampung secara resmi dikukuhkan. Acara itu dihadiri Ketua Umum HA IPB Bambang Hendroyono dan Sekjen Nelly Oswini.

“Kami berharap HA IPB menjadi mitra strategis pemerintah dalam mendorong pertanian di daerah,” kata Humas HA IPB, Bayu A Yulianto. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA