“Publik terlalu larut dalam nuanÂsa perubahan dan mengÂidoÂlakan sosok ratu adil untuk meÂnyelesaikan berbagai persoaÂlan,’’ kata Pakar Psikologi Politik UniÂversitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk, kepada
Rakyat MerÂdeka di Jakarta, Jumat (28/3).
Menurut Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia itu, euÂforia pencapresan Jokowi baÂkal mengulang sejarah pemilihan pemimpin bangsa yang menghaÂrapkan ratu adil untuk menyeÂlesaikan berbagai persoalan.
“Kita harus belajar dari sebeÂlumnya. Sudah saatnya kita reaÂlisÂtis. Nggak ada pemimpin tanÂpa cacat,†ujar paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Secara psikologis, kenapa masyarakat begitu gampang suka dengan tokoh?Secara psikologis, orang IndoÂnesia mungkin bisa disebut putus asa dalam memilih pemimpinÂnya. Dulu, kita pernah dipimpin PreÂsiden Soekarno, sosok khaÂrisÂmatik yang dianggap mampu meÂmajukan Indonesia. Tapi, SoeÂkarno punya kelemahan maÂnaÂjemen birokrasi. Akhirnya imÂpian itu tidak terjadi.
Kemudian bangsa ini dipimÂpin Presiden Soeharto. Awalnya, dia mengambil posisisi teknokrat dan bergerak cepat untuk memÂbangun bangsa. Namun, tak Soeharto mamÂÂpu memenuhi impian rakÂyat. Pemimpin di era reformasi juga begitu.
Runtutan peristiwa itu ada keÂsamaan dengan realitas saat ini. Banyak orang yang tergila-gila pada JoÂkowi, sosok agung daÂlam benÂtuk lain.
Apa rakyat akan kecewa lagi?Itu harus diukur dengan wakÂtu. Jokowi diagungkan karena diÂangÂgap jujur, lugu, bersih, bisa kerÂÂja dan sebagainya. Inilah keÂsaÂmaannya. Masyarakat kita masih mengharapkat ratu adil atau peÂmimpin yang sempurna untuk InÂdonesia. Hasilnya akan kemÂbali kecewa. Tidak ada pemimpin sempurna.
Solusinya apa dong...?Kita nggak akan mendapat seÂorang pemimpin bersikap seperti malaikat. Yang kita perlukan, peÂmimpin yang mamÂpu menyeleÂsaiÂkan persoalan. Nah, tugas presiden adalah mamÂpu menyeÂlesaikan isu publik. Cukup samÂpai di situ.
Tapi yang terjadi, kita akan membencinya kalau dia tidak seÂlalu bersikap ramah.
Kondisi itu kan didasari janji para pemimpin?Betul. Masyarakat marah kaÂreÂna banyak politisi tidak meÂnunaiÂkan janjinya. Makanya, sosok alÂternatif seperti Jokowi, Ahok (WaÂkil Gubernur DKI Jakarta), Tri RisÂmaharini (WaliÂkota SuraÂbaÂya), dan Ridwan Kamil (WaliÂkota Bandung) berÂhasil mencuri perÂhatian. Namun, jaÂngan menghaÂÂrapÂkan mereka menjadi ratu adil.
Apa masyarakat semakin cerdas?Ya, publik kita bukan pelupa. MeÂreka semakin cerdas. Mulai menghukum para pemimpinnya. Buktinya, mereka menyenangi calon-calon alternatif, dan meÂninggalkan tokoh-tokoh tua.
Kekecewaan utama pada figur tua, bukan pada usianya. Tapi, orang-orang ini diangap mewaÂrisi politik lama. Ini menunjukÂkan publik kita mulai dewasa dan maÂkin cerdas. ***
BERITA TERKAIT: