WAWANCARA

Prof Hamdi Muluk: Publik Terbius Euforia Harapkan Ratu Adil

Selasa, 01 April 2014, 09:19 WIB
Prof Hamdi Muluk: Publik Terbius Euforia Harapkan Ratu Adil
Prof Hamdi Muluk
rmol news logo Fenomena pencapresan Jokowi memiliki kesamaan dengan sejumlah tokoh sebelumnya yang memimpin bangsa ini.

“Publik terlalu larut dalam nuan­sa perubahan dan meng­ido­lakan sosok ratu adil untuk me­nyelesaikan berbagai persoa­lan,’’ kata Pakar Psikologi Politik Uni­versitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk, kepada Rakyat Mer­deka di Jakarta, Jumat (28/3).

Menurut Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia itu, eu­foria pencapresan Jokowi ba­kal mengulang sejarah pemilihan pemimpin bangsa yang mengha­rapkan ratu adil untuk menye­lesaikan berbagai persoalan.

“Kita harus belajar dari sebe­lumnya. Sudah saatnya kita rea­lis­tis. Nggak ada pemimpin tan­pa cacat,” ujar paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Secara psikologis, kenapa masyarakat begitu gampang suka dengan tokoh?
Secara psikologis, orang Indo­nesia mungkin bisa disebut putus asa dalam memilih pemimpin­nya. Dulu, kita pernah dipimpin Pre­siden Soekarno, sosok kha­ris­matik yang dianggap mampu me­majukan Indonesia. Tapi, Soe­karno punya kelemahan ma­na­jemen birokrasi. Akhirnya im­pian itu tidak terjadi.

 Kemudian bangsa ini dipim­pin Presiden Soeharto. Awalnya, dia mengambil posisisi teknokrat dan bergerak cepat untuk mem­bangun bangsa. Namun, tak Soeharto mam­­pu memenuhi impian rak­yat. Pemimpin di era reformasi juga begitu.

Runtutan peristiwa itu ada ke­samaan dengan realitas saat ini. Banyak orang yang tergila-gila pada Jo­kowi, sosok agung da­lam ben­tuk lain.

Apa rakyat akan kecewa lagi?
Itu harus diukur dengan wak­tu. Jokowi diagungkan karena di­ang­gap jujur, lugu, bersih, bisa ker­­ja dan sebagainya. Inilah ke­sa­maannya. Masyarakat kita masih mengharapkat ratu adil atau pe­mimpin yang sempurna untuk In­donesia. Hasilnya akan kem­bali kecewa. Tidak ada pemimpin sempurna.

Solusinya apa dong...?
Kita nggak akan mendapat se­orang pemimpin bersikap seperti malaikat. Yang kita perlukan, pe­mimpin yang mam­pu menyele­sai­kan persoalan. Nah, tugas presiden adalah mam­pu menye­lesaikan isu publik. Cukup sam­pai di situ.

Tapi yang terjadi, kita akan membencinya kalau dia tidak se­lalu bersikap ramah.

Kondisi itu kan didasari janji para pemimpin?
Betul. Masyarakat marah ka­re­na banyak politisi tidak me­nunai­kan janjinya. Makanya, sosok al­ternatif seperti Jokowi, Ahok (Wa­kil Gubernur DKI Jakarta), Tri Ris­maharini (Wali­kota Sura­ba­ya), dan Ridwan Kamil (Wali­kota Bandung) ber­hasil mencuri per­hatian. Namun, ja­ngan mengha­­rap­kan mereka menjadi ratu adil.

Apa masyarakat semakin cerdas?
Ya, publik kita bukan pelupa. Me­reka semakin cerdas. Mulai menghukum para pemimpinnya. Buktinya, mereka menyenangi calon-calon alternatif, dan me­ninggalkan tokoh-tokoh tua.

Kekecewaan utama pada figur tua, bukan pada usianya. Tapi, orang-orang ini diangap mewa­risi politik lama. Ini menunjuk­kan publik kita mulai dewasa dan ma­kin cerdas. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA