WAWANCARA

Abdul Haris Semendawai: Saat Diperiksa KPK, Saksi Yang Dilindungi LPSK Wajib Didampingi

Kamis, 06 Maret 2014, 09:36 WIB
Abdul Haris Semendawai: Saat Diperiksa KPK, Saksi Yang Dilindungi LPSK Wajib Didampingi
Abdul Haris Semendawai
rmol news logo KPK diminta tidak membesar-besarkan pemanggilan saksi yang dilindungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebab, aparat penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan, sudah sering memeriksa saksi yang sedang dilindungi.

“KPK juga sudah sering kok memanggil saksi yang dilin­dungi LPSK untuk dimintai ke­terangan. Tidak ada yang luar biasa dengan hal itu,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai kepada Rak­yat Merdeka di Ja­karta, Senin (3/3).

Seperti diketahui, Senin (3/3), KPK menggelandang seorang pria yang mengenakan baju batik. Dibawa menggunakan mobil Ford Everest dengan pelat nomor B 1089 POO. Wajah  pria yang digelandang itu ditutupi.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, pria itu saksi yang dilindungi LPSK. Meski de­mikian, Johan tidak menyebut identitasnya.

“Itu saksi yang dilindungi LPSK. Karena dilindungi, iden­ti­tasnya tidak bisa disampaikan. Pokoknya terkait salah satu kasus yang ditangani di KPK. Ini di penyidikan,” kata Johan.

Abdul Haris Semendawai se­lan­jutnya mengatakan, pihak­nya be­kerja sama dengan semua lem­­ba­ga penegak hukum. Para saksi yang dilindungi LPSK bo­leh saja diperiksa demi me­nun­taskan suatu kasus.

Berikut kutipan selengkapnya:

 Siapakah saksi yang dijem­put KPK itu?
 Saya belum tahu. Kebetulan sa­ya baru saja pulang dari luar negeri.

Kalau inisialnya pasti tahu dong?
 Tidak. Maaf, tapi saya betul-be­tul baru tiba hari ini (Senin, red). Coba tanya kepada penang­gung jawab selama saya di luar negeri.

Masak Ketua LPSK tidak mendapat laporan?

Kan selama saya pergi me­mang ada yang meng-handle tugas saya. Nanti saya lihat lapor­an­nya dulu.

Saksi tersebut diboyong ke KPK, ini bagaimana?
Selama ini saksi yang dipinjam KPK tetap berada di bawah per­lin­dungan LPSK. KPK hanya membawanya untuk dimintai ke­terangan terkait penyelidikan.

Tidak bisa dimintai kete­rang­an di kantor LPSK saja?
 Bisa saja. Tapi itu semua ter­gan­tung kepentingan penye­li­dik­an. Kalau KPK merasa perlu di­bawa ke kantornya, ya mereka ting­g­al meminta kepada kami. Ka­mi tidak keberatan kok. Hal semacam ini sudah sering terjadi.

Toh meski diperiksa di kantor KPK, dari pihak LPSK tetap mem­berikan pendampingan. Akan ada pihak LPSK yang men­dampingi saat pemeriksaan.

Saksi tersebut hanya datang bersama penyidik KPK?
Saya tidak tahu. Mungkin pen­dampingnya akan menyusul. Ka­rena presedurnya seperti itu. Ta­pi itu hanya soal teknis kecil, ti­dak perlu dipersoalkan.

Yang jelas, saat diperiksa KPK, saksi yang dilindungi LPSK wajib  di­dam­ping. Mere­ka tahu prosedur itu, ka­rena su­dah se­ring bekerja sa­ma.

Prosedurnya seperti apa sih?
 Kalau penegak hukum yang mem­butuhkan keterangan dari saksi yang dilindungi LPSK, me­re­ka tinggal mengajukan surat. Isi­nya permohonan untuk me­me­riksa saksi yang bersangkutan. Sebutkan nama-namannya, ka­sus­nya apa, dan akan melakukan pe­meriksaan di mana. Bisa di kan­tor LPSK atau tempat lain­nya. Kalau sudah, akan kami pro­ses dan selesai proses, kami is­ti­lah­nya pinjamkan. Tapi sya­rat­nya harus tetap kami dampingi.

Dari mana aparat penegak hukum tahu saksi itu dilin­du­ngi LPSK?
Mereka kan tinggal bertanya kepada kami. Orang yang mere­ka cari,  apa ada dalam perlindu­ngan ka­mi atau tidak. Namanya juga sudah bekerja sama.

Oh ya, bagaimana tentang RUU LPSK?
 Masih dibahas. Kami memin­ta agar Undang-Undang Perlin­du­ng­­an Saksi dan Korban meng­atur dengan tegas kriteria saksi pelaku atau justice collaborator agar ti­dak terjadi perdebatan an­tara pe­negak hukum. Keten­tuan tersebut diperlukan untuk me­mas­tikan, siapa yang dapat di­beri status justice collabo­rator, mau­pun siapa yang ber­wenang mem­beri predikat itu.

Dengan kepastian itu, diha­rapkan tidak akan terjadi pro dan kontra pemberian status. Ada pe­doman yang jadi acuan yang je­las. Sebab, selama kan ini kerap terjadi perdebatan antara pe­ne­gak hukum, pengacara pe­laku, dan LPSK soal pemberian sta­tus saksi pelaku kepada sese­orang yang sedang berperkara.
 
Apa saja syarat justice colla­borator?
Pertama, seorang pelaku keja­hatan dapat dikategorikan se­ba­gai saksi pelaku jika dia pelaku kejahatan, tetapi bukan aktor uta­ma. Kedua, pelaku memiliki in­formasi yang signifikan yang ber­guna untuk membingkai suatu per­­kara. Ketiga, dia mau ikut be­kerja sama dengan penegak hu­kum. Kerja sama yang dimaksud adalah pelaku tidak memberi ke­te­rangan dengan berbelit dan ti­dak menyembunyikan kejahatan.
 
Kalau menimbulkan keru­gian negara, bagaimana?
Jika ada kerugian negara yang disebabkan kejahatannya, yang ber­sangkutan harus me­ngem­bali­kannya. Kalau ada aset negara yang ada di mereka (pe­laku ke­jahatan). Tapi mereka ma­sih me­nyembu­nyikan, tidak mau mem­be­rikan, itu salah satu bentuk ti­dak kooperatif. Kami tidak mem­beri rekomendasi di­jadikan justi­ce collaborator.
 
Ada lagi masukan penting da­lam RUU itu?
Kami juga meminta untuk memperkuat pengertian restitusi dan kompensasi korban, supaya bisa memberi kepastian hukum bagi korban. Termasuk di dalam­nya memasukkan subjek hukum baru, yaitu korban kejahatan te­ror­isme dalam pemberian ban­tuan medis dan psikososial.

Kami juga me­nam­bah keten­tu­an perlindungan saksi yang lebih kuat, terutama dalam ke­wenang­an LPSK dalam me­nge­lola prog­ram perlindungan saksi, termasuk prosedur.

RUU me­nambahkan ketentuan baru ter­kait hak dan per­lindungan saksi anak yang bersak­si melawan orang­tuanya. Terma­suk per­lin­dungan bagi ahli yang mem­be­ri­kan kete­rangan di per­sidangan.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA