Putusan itu menunjukkan semangat independensi yang mulai tumbuh di kalangan para hakim dalam memutus berbagai perkara, khususnya sengketa antara warga negara Vs pemerintah. Jika semangat ini terus dipelihara, secara perlahan Indonesia memasuki era demokrasi yang makin kuat.
"Karena pilar yudikatifnya mulai mampu beradaftasi dengan alam demokrasi yang menempatkn lembaga ini sederajat dengan lembaga eksekutif maupun legislatif," ujar Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti (Rabu, 25/12).
Alasan pembatalasan Keppres itu, hakim I Nyoman Harnanta menyebutkan bahwa tata cara pencalonan hakim MK tidak dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, sesuai Pasal 24 C ayat (3) UUD NKRI 1945 memberikan kewenangan kepada MA, DPR, dan presiden untuk mengusulkan masing-masing tiga orang calon hakim konstitusi.
“Namun, dalam praktek yang terjadi tidak demikian, sehingga berdasarkan fakta hukum dapat disimpulkan bahwa terdapat inkonsistensi dalam pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi yang diusulkan oleh Presiden,†katanya.
Dia menyatakan, pengisian hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, bukan penunjukan langsung melalui lembaga. “Maria dan Patrialis dilalui penunjukan langsung oleh Presiden,†sebutnya.
Untuk itu, kekurangan yuridisnya, lanjut dia, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 19 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yang menggariskan bahwa dalam pencalonan hakim konstitusi harus dilakukan sacara transparan dan partisipatif.
[zul]
BERITA TERKAIT: