WAWANCARA

Sidarto Danusubroto: Perlu Keppres Untuk Putihkan Nasib Keturunan Tahanan Politik

Selasa, 10 Desember 2013, 09:32 WIB
Sidarto Danusubroto: Perlu Keppres Untuk Putihkan Nasib Keturunan Tahanan Politik
Sidarto Danusubroto
rmol news logo Anak dan cucu tahanan politik masa lalu memang sudah bisa berpolitik, menjadi pegawai negeri (PNS) dan TNI/Polri. Tapi tetap perlu dibuat Keputusan Presiden (Keppres) soal itu.

“Harus ada rehabilitasi umum buat mereka. Perlu dibuat Keppres untuk putihkan nasib keturunan tahanan politik tersebut,’’ kata Ketua MPR Sidarto Danusubroto kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Jangan sampai dosa turunan ini tidak ada habisnya. Kalau dulu PKI pernah besar, berarti jumlahnya juga banyak,’’ tambah politisi PDI Perjuangan itu.

Berikut kutipan selengkapnya;

Berapa persisnya?
Mereka ada puluhan juta. Jumlahnya banyak karena PKI pernah menang. Apakah mereka harus jadi bangsa kelas dua. Kadang mereka buat arisan saja dibubarkan karena dianggap melakukan penyebaran paham komunis atau PKI.

Apa sudah sampaikan kepada Presiden?
Ya. Makanya masih terhutang itu. Komnas HAM juga sedang mengumpulkan data orang hilang itu.

Kabarnya isu HAM ini digunakan separatis sebagai tameng, ini bagaimana?

Memang begitu. Maka kita harus waspada. Kadang mereka bilang pro NKRI, tapi minta pisah terus.

Solusinya bagaimana?
Pemerintah Indonesia harus hati-hati. Pendekatan di Papua harus sosio kultural dan religius. Jangan menggunakan kekuatan agar tidak ada isu HAM.  Mereka telinganya di mana-mana. Ada satu orang meninggal, dianggap HAM. Tapi kalau ada anggota Polri dan TNI meninggal, bukan HAM. Melihatnya dari kacamata mereka saja. Maka kita pandai-pandai mengambil sikap.

Caranya bagaimana?
Harus berhati-hati dalam nenangani setiap masalah yang terjadi di Indonesia. Jangan sampai dianggap melakukan pelanggaran HAM.

Pendekatannya komunikasi yang baik. Diperhatikan pembangunan daerahnya. Kita harus akui, dibanding dengan wilayah Indonesia bagian barat dan tengah, Indonesia bagian timur masih sangat kurang.

Bagaimana dengan pelanggaran HAM masa lalu?
Tentu harus ada penyelesaian yang tuntas. Kita kan memiliki sejarah pelanggaran HAM yang panjang. Maka kita harus akui itu sebagai kekurangan.

Mengakui kepada siapa?
Kepada dunia, kita harus berterus terang bahwa sejarah kita tidak mulus, ada hitam, abu-abu, dan ada putihnya. Ini yang kita tidak jujur pada dunia. Kita bicara kebenaran masih takut kok. Bicara masalah HAM masa lalu masih takut karena kalau dibuka siapa pelakunya dan siapa korbannya akan terbuka semua.

Apa pemerintah mau melakukan itu?
Harus bisa. Di Chili, Afika Selatan, Argentina, Brazil dan negara lainnya malah ada museum kejahatan HAM. Bahkan negara atau pemerintah mereka sendiri yang membuatkan museum kejahatan HAM.

Disebutkan ada nama korban  dan pelakunya. Hilangnya kapan dan lain sebagainya.

Mereka buka semua. Tapi sekarang menjadi negara maju. Punya masa lalu kelam, tapi bisa bangkit menjadi besar.

Museum itu tentu sebagai contoh agar kejadian itu tidak terulang. Tapi kita bicara HAM masa lalu saja takut.

Bukankah penilaian pelanggaran HAM di sini masih berbeda?
Memang seperti itu.

Kita lihat di Papua, selalu mendengungkan HAM bila ada yang  menjadi korban.

Padahal TNI yang menjadi korban dianggap bukan pelanggaran HAM.

Begitulah cara pandang negara barat seperti Amerika Serikat (AS). Bahkan mereka membawa ke mahkamah internasional, sehigga menjadi isu dunia.

Ada yang bilang isu HAM itu untuk melemahkan pertahanan Indonesia, apa benar?
Mungkin saja. AS kalau bicara masalah HAM paling getol. Kalau korbannya dari pihak mereka, maka dibilang ada pelanggaran HAM.

Tapi kalau yang  korban dari lawan mereka, seperti Irak dan Afghanistan, mereka tidak bilang itu melanggar HAM. Bukankah menyerang negara lain itu melanggar HAM.  

O ya, apa ada rencana melakukan amandemen UUD 1945?
Belum ada. Nanti kita lihat peta politik ke depan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA