Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jabatan Tanpa Kehormatan 

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Senin, 02 Desember 2013, 07:57 WIB
Jabatan Tanpa Kehormatan 
boediono/net
SABTU, 25 November 2013 akan dicatat sejarah sebagai puncak keterpurukan atau hari kesempurnaan kerusakan etika dan moralitas kehidupan ketatanegaraan kita. Karena pada hari itu, Wakil Presiden RI Prof Dr Boediono M.Ec diinterogasi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

  KPK memeriksa Boediono alias Boed alias Mr B karena, sebagaimana kerap dibicarakan media massa dan media sosial sepanjang empat tahun terakhir, (saat menjabat gubernur Bank Indonesia) terlibat skandal rekayasa bailout Bank Century yang tujuan sejatinya membobol kas negara hingga Rp 6,7 triliun.

  Wapres bukan jabatan tertinggi yang wibawa, kehormatan dan moralitasnya runtuh karena dilucuti oleh perilaku pemangku jabatannya. Sebelumnya, pada 2011, para pemuka (lintas) agama mengungkap sejumlah kebohongan yang dilakukan Presiden Yudhoyono.

  Sekarang di republik ini memang nyaris tak ada lagi jabatan yang masih memiliki wibawa dan kehormatan yang mencerminkan nilai moral. Ketua Mahkamah Agung kamar kerjanya pernah digeledah penyidik KPK. Ketua Mahkamah Konstitusi bahkan sudah masuk bui karena tertangkap sedang menerima suap. Ketua DPR dan wakilnya sedang dibidik aparat hukum.

  Sedangkan sejumlah anggota DPR, hakim, jaksa, jenderal polisi, bupati, walikota, gubernur, sudah lama masuk penjara. Pemilik gelar keagamaan dan akademis juga tak sedikit yang sudah dibui. Prof Dr Ing Ir Rudi Rubiandini, akademisi santun yang dikenal sebagai dosen teladan, ketika menjadi bagian penting dalam kekuasaan Yudhoyono, sebagai Kepala SKK Migas, ditangkap petugas KPK karena menerima suap.

  Teman saya jenderal polisi yang kini memangku jabatan tinggi di kepolisian, bahkan secara terus terang mengaku tidak merasa terhormat karena buruknya citra institusinya di mata publik. Kebanggaan itu berbanding bumi dan langit dibandingkan saat menjadi anak kapolres di tanah kelahirannya.

  Memang di masa lalu, sebelum korupsi menggila, terutama sejak skandal rekayasa bailout Bank Century digulirkan, 2008, dalam setiap jabatan terkandung wibawa dan kehormatan. Wibawa dan kehormatan menyatu dengan jabatan karena dari jabatan itu akan lahir “perintah” dan “aturan”, baik lisan maupun tertulis. Bagaimana mungkin perintah dan aturan bisa berjalan dan ditaati bila yang mengeluarkannya tidak memiliki wibawa dan kehormatan?

  Memang tidak setiap pemangku jabatan secara otomatis memancarkan wibawa dan kehormatan. Untuk itulah tata cara dan kehidupan seputar jabatan diatur dalam apa yang disebut protokol.

  Untuk membangun wibawa dan kehormatan di mata rakyat, dulu para pejabat negara, khususnya raja dan kerabatnya, diidentikkan dengan kesaktian atau pusaka yang dimilikinya. Selain itu, para penguasa Jawa lazim merekayasa silsilah dirinya. Misalnya, sebagai keturunan raja-raja besar sebelumnya, yang bermuara kepada para dewa dalam dunia pewayangan (Hindu), seperti Wisnu atau Syiwa, bahkan Nabi Adam. Dalam Babad Tanah Jawi semua itu dijelaskan dengan cukup rinci.

  Sekarang, kewibawaan dan kehormatan jabatan bisa dibangun dengan teori psikologi yang canggih. AS adalah negara yang sangat ketat menjaga tata kehidupan dan protokol lembaga kepresidenannya. Makanya, siapa pun yang jadi presiden AS, secara otomatis akan memperoleh wibawa dan kehormatannya.

  Pada beberapa orang, seperti Ronald Reagan dan Bill Clinton, misalnya, kewibawaan dan kehormatan sebagai bekas penghuni Gedung Putih masih melekat, walau hanya tinggal separuhnya.

  Akan tetapi secanggih apa pun teori kewibawaan dan kehormatan dibangun, apabila moral orangnya rendah, suka bohong untuk menutupi tingkah lakunya yang korup, setinggi apa pun jabatannya, wibawa dan kehormatan itu tetap meredup.

  Makanya di negara-negara beradab, tinjauan moral menjadi hal utama bagi orang-orang yang akan memangku jabatan publik. Sebab mereka percaya power tends to corrupt. Hanya orang bermoral yang bisa mengendalikan power agar tidak menjadi corrupt.

  Sebaliknya, kalau jabatan itu hasil menyuap atau dengan segala tipu muslihat, maka setelah berkuasa, orang ini dijamin akan melakukan korupsi secara gila-gilaan. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA