Pertama, mengawasi pelaksanaan semua kewenangan MK dan wewenang pengawasan itu diserahkan kepada KY. Kedua, dalam soal memutus perkara, UU MK mengatur batas hakim MK membuat putusan yang bersifat
ultra petita atau putusan yang melebihi apa yang dimohon kecuali putusan tersebut masih berkait dengan pokok perkara.
"Antisipasi pertama dimaksudkan DPR agar hakim MK tetap terjaga posisinya sebagai negarawan yang terpuji dan berintegritas yang memang menjadi syarat bagi mereka duduk sebagai hakim MK," jelas anggota DPR RI Achmad Rubaie kepada
Rakyat Merdeka Online (Rabu, 20/11).
Rubaie menjelaskan, pengawasan eksternal dipandang perlu dan wewenang itu dimandatkan DPR kepada KY sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat 3 dan 4 UU 22/2004 tentang KY. Namun, kewenangan itu di-
judicial review MK sehingga hilanglah kesempatan KY ikut menjaga kewibawaan lembaga tersebut.
Antisipasi kedua yaitu DPR membuat aturan yang melarang MK membuat putusan
ultra petita sebaimana diatur dalam pasal 45 A UU 8/2011 perubahan UU 24/2003 tentang MK. Aturan ini dimaksudkan untuk menutup peluang bagi hakim MK membuat putusan yang didasarkan atas interpretasi dimana interpretasi hakim itu tidak didorong oleh spirit menemukan keadilan dan kebenaran.
"DPR khawatir interpretasi hakim MK disemangati oleh hal-hal yang berbau pragmatisme. Namun pasal yang mengatur larangan membuat putusan ultra petita itupun juga di-judicial review MK. Praktis MK menjadi entitas yang tidak ingin disentuh," beber politikus PAN ini.
Hilangnya aturan pengawasan dan pembatasan wewenang, sambung Rubaie, menjadi pintu masuk yang memberi peluang hakim MK menyalahgunakan kekuasaannya. Kekhawatiran itu akhirnya terbukti. MK terjerembab setelah Akil Mochtar tertangkap tangan karena menerima suap dalam penanganan sengketa Pilkada.
[zul]
BERITA TERKAIT: