Sidang lanjutan kasus suap pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (4/11). Dalam sidang ini, Direktur dan Komisaris PT Grand Wahana Indonesia (GWI) Koestanto Haryadi Wijaya dan Sasan Wijaya dicecar JPU KPK soal uang Rp 800 juta yang mereka berikan kepada pengacara Mario C Bernardo. Jaksa mencurigai, uang dari kakak beradik ini dimaksudkan untuk menyuap Djodi.
JPU yang diketuai Abdul Roni ini menghadirkan enam saksi untuk terdakwa Djodi. Empat saksi yang didatangkan adalah saksi yang sebelumnya dihadirkan pada sidang terdakwa Mario, Kamis (31/10). Mereka adalah Direktur PT GWI Koestanto Haryadi Wijaya, Komisaris PT GWI Sasan Wijaya serta kasir dan Sekretaris PT GWI bernama Lili Sariwati dan Heni Rusli. Dua saksi lain adalah staf panitera Hakim Agung Andi Abu Ayyub dan jaksa pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Tamalia Roza.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Antonius Widijantono itu dimulai pukul 11 siang. Koestanto yang pertama didudukkan di kursi saksi untuk dimintai keterangannya. Keterangan yang disampaikan Koestanto tak banyak berbeda dari sidang sebelumnya.
Namun, pada sidang kali ini, jaksa lebih dalam menggali keterangan pemberian uang Rp 800 juta dari PT GWI kepada Mario. Koestanto mengakui, perusahaannya sempat menyerahkan uang Rp 800 juta kepada Mario Bernardo yang bekerja di firma hukum Hotma Sitompul & Associates.
Uang Rp 800 juta itu diserahkan secara bertahap dari kesepakatan
lawyer fee sebesar Rp 1 miliar. Kesepakatan ini diambil dalam pertemuan antara Koestanto, Mario dan Komisaris PT GWI Sasan Widjaja di Mal of Indonesia (MoI), Jakarta Utara pada awal Juni lalu. Pertemuan itu merupakan lanjutan dari konsultasi yang dilakukan pada Januari 2013 di kantor LBH Mawar Saron, Sunter, Jakarta Utara.
Namun, Koestanto menyanggah duit itu untuk menyuap Hakim Agung agar menjatuhkan hukuman penjara bagi pengusaha yang berperkara dengannya, Hutomo Wijaya Ongowarsito (HWO).
Menurutnya, fee diberikan untuk pendampingan proses hukum dalam kasus perdata dan upaya hukum terhadap Bupati Kampar. “Mario mengatakan untuk mencegah jangan sampai kuasa pertambangan diperjualbelikan atau berpindah tangan,†alasan dia.
Jaksa juga mencecar soal kwitansi pembayaran Rp 800 juta yang dibayarkan bertahap. Tahap pertama Rp 500 juta pada 3 Juli, dan tahap kedua Rp 300 juta pada 24 Juli lalu. Kata Koestanto, Mario minta pembayaran awal Rp 500 juta ditransfer ke rekening pribadi dan tidak mau ada kwitansi. “Tapi saya menolak,†kata Koestanto.
Belakangan Mario melalui Sensen menyetujui permintaan Koestanto soal kwitansi dan tidak mentransfer ke rekening pribadi. Koestanto mentransfer uang dua kali. Yakni Rp 500 juta dan Rp 300 juta. Setelah pembayaran itu, Koestanto sama sekali tidak disodorkan kontrak kerja oleh Mario, dan tidak diminta membuatkan suat kuasa.
Koestanto juga mengaku tidak mendapat informasi apa-apa dari Mario terkait upaya hukum pasca pembayaran uang ratusan juta rupiah itu.
Jaksa Roni lalu menanyakan kepada Koestanto, mengapa untuk uang Rp 400 juta yang digelapkan oleh Hutomo, dirinya melakukan berbagai upaya hukum, bahkan melapor ke Polda Metro Jaya. Namun untuk uang Rp 800 juta yang dibayarkan ke Mario, ia tidak khawatir. “Saya sibuk, sedang di Kalimantan,†jawabnya Kikuk.
Jaksa kembali mencecar Koestanto. Ia menanyakan, apakah kesepakatan pengurusan kasasi perkara HWO itu dengan Mario atau dengan kantor pengacara Hotma.
Koestanto menjawab, fee yang dibayarkan untuk kantor Hotma karena dalam kwitansi pembayaran mencantumkan logo Hotma Sitompul & Associates.
Jaksa kembali mencecar Koestanto. Menurut dia, berdasarkan dari barang bukti yang dimiliki KPK, kwitansi pembayaran tidak mencantumkan kantor advokat Hotma.
“Kami tidak menemukan Hotma & Associates di pembayaran pertama dan kedua,†tegas jaksa Pulung sambil menunjukkan kwitansi di persidangan.
Dia juga mempertanyakan ketidakjelasan maksud pembayaran
lawyer fee yang semestinya ditulis dalam kwitansi yang diterima PT GWI. “Di kwitansi ini nggak ada tulisan dua perkara?†tanya jaksa.
Koestanto berkilah, kesepakatan pembayaran pendampingan upaya hukum dua perkara, yakni perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan upaya hukum terhadap Bupati Kampar telah disepakati lisan dalam pertemuan di MoI Kelapa Gading.
Sidang diskors selama 45 menit untuk istirahat siang. Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan menghadirkan Sasan Wijaya yang merupakan kakak dari Koestanto.
Dalam persidangan, Sasan juga dicecar jaksa Roni dengan pertanyaan serupa. Namun Sasan juga memberi keterangan tak jauh beda dari keterangan adiknya. Sidang akan dilanjutkan pada Senin (11/11) dengan agenda pemeriksaan saksi.
Kilas Balik
Dari PN Jaksel Hingga Ke MA
Sidang perdana kasus suap pengurusan kasasi perkara Hutomo Wijaya Ongowarsito (HWO) digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 10 Oktober lalu. Ada dua terdakwa yang disidang. Mereka adalah pengacara dari kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates, Mario C Bernardo dan pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman.
Lima belas menit sebelum sidang dimulai, kedua terdakwa sudah tiba di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sidang pertama dibuka tepat pukul 9 pagi oleh Ketua Majelis Hakim Antonius Widijantono.
Yang lebih dulu didudukkan di kursi terdakwa adalah Djodi Supratman. Mengenakan batik berwarna oranye, Djodi duduk mendengarkan surat dakwaan setebal 16 halaman. Surat dakwaan dibacakan bergantian tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang diketuai Jaksa A Roni.
Dalam surat dakwaan dipaparkan, perkara ini dimulai ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan melepas HWO dari segala tuntutan hukum alias Ontslag Van Recht Vervolgin dari dakwaan melakukan penipuan dalam pengurusan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Kampar Riau.
Perkara HWO tersebut pertama dilaporkan Koetanto Harijadi Widjaja selaku Direktur PT Grand Wahana Indonesia ke Polda Metro Jaya, Jakarta.
Tidak puas pada putusan tersebut, Sasan Widjaya selaku Komisaris PT Grand Wahana Indonesia, meminta bantuan hukum dan melakukan konsultasi hukum kepada pengacara Hotma Sitompoel dan Associates.
“Dalam konsultasi tersebut, Sasan Widjaja bertemu Hotma Sitompoel yang didampingi Mario C Bernardo dan Gloria Tamba,†kata jaksa Roni. Mario menyanggupi dan meminta lawyer fee sebesar Rp 1 miliar.
Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Mario kemudian menghubungi Djodi Supratman. Lewat sambungan telepon, Mario menyampaikan permintaan kliennya kepada Djodi yang menginginkan agar HWO dihukum pidana.
“Sebagai imbalannya, Koestanto Hariyadi Widjaja dan Sasan Widjaja melalui Mario bersedia memberikan sejumlah uang,†beber Roni.
Djodi kemudian merespons permintaan Mario dengan mengirimkan SMS kepada Mario yang berisi nomor registrasi kasasi perkara HWO, dan nama majelis hakim yang mengurus perkara HWO. Majelis hakim yang mengurus kasasi HWO, yaitu Gayus Lumbuun, Andi Abu Ayyub dan Zaharuddin Utama. Djodi, lanjut jaksa Roni, kemudian bertemu Suprapto selaku staf panitera di MA dan menyampaikan permintaan Mario.
Suprapto kemudian menyanggupi membantu mengurus perkara HWO. Berdasarkan surat dakwaan ini, Mario kemudian memberikan uang Rp 1 miliar kepada Supratman melalui Djodi lewat lima tahapan. Masing-masing Rp 500 juta, Rp 50 juta, Rp 100 juta, Rp 300 juta dan terakhir Rp 50 juta. Pemberian itu diberikan antara tanggal 2 Juli sampai 24 Juli lalu.
Pada tanggal 24 Juli, setelah menerima uang Rp 50 juta dari Mario di kantor Hotma, Djodi bergegas ke kantor MA menggunakan ojek. Dalam perjalanan itu, Djodi dibekuk petugas KPK. Setelah itu, Mario menyusul ditangkap petugas KPK.
Seusai dibacakan surat dakwaan, mata Djodi terlihat sembab. Sambil menangis sesegukan, Djodi mengaku khilaf. “Saya berjanji akan kembali ke jalan yang benar. Saya mengakui kekhilafan saya,†kata Djodi.
Djodi meminta kepada majelis hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. “Sebagai tulang punggung keluarga, anak saya lima, masih kecil-kecil dan butuh biaya.
Saya meminta kepada Ketua Majelis Hakim agar dapat memberikan putusan yang seringan-ringannya,†pinta Djodi.
Mesti Didukung Bukti Yang KuatAlex Sato Bya, Pensiunan Jaksa Agung MudaBekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya mengatakan, jaksa harus lebih profesional dalam menggali informasi dari saksi-saksi di persidangan kasus pengurusan kasasi perkara Hutomo Wijaya Ongowarsito.
Kata dia, jika KPK ingin mengembangkan kasus tersebut kepada pihak-pihak lain, jaksa harus menyertakan bukti-bukti kuat yang mendukung pengakuan saksi. Seperti halnya pengakuan saksi pegawai MA Suprapto di persidangan yang menyatakan, ada permintaan dana Rp 300 juta dari Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh.
“Kalau hanya mengandalkan pengakuan saja akan sulit dikejar. Pengakuan itu harus diikuti dengan adanya barang bukti. Tidak bisa pengadilan hanya mengandalkan pengakuan saja,†kata Alex, kemarin.
Barang bukti itu, kata Alex, bisa bermacam-macam rupanya. Jika menyangkut uang, contoh Alex, bisa dengan menelusuri sampai mana uang suap itu berhenti. Apakah sudah sampai ke pihak lain atau hanya berhenti di terdakwa.
“Uang itu bisa diikuti dan bisa dijadikan barang bukti. Baik fisiknya maupun yang menyertainya seperti bungkusnya,†kata Alex.
Begitu halnya dengan asal usul uang yang digunakan oleh Mario C Bernardo untuk menyuap Djodi Supratman. Kata dia, jaksa harus terus menggali keterangan dari pihak-pihak dari PT GWI. Apakah uang kesepakatan Rp 1 miliar itu memang hanya ongkos pengacara atau diperuntukkan buat maksud lain.
Karena itu, lanjut dia, jangan mengejar pengakuan dari saksi saja, tapi harus didukung bukti. “Jika ada bukti akan sulit disangkal. Meski disangkal itu nanti hakim yang memutuskan pengakuan saksi,†ujar Alex.
Alex mengatakan, jika dalam kontruksi hukum yang dibangun jaksa bisa menggambarkan ada pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya akan memerintahkan pengusutan kepada pihak lain
.
“Hakim yang akan memutuskan apakah kasus ini perlu dikembangkan ke pihak lain atau tidak,†jelasnya.
Kesaksian Panitera Perlu Didalami Hakim & JaksaEva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan, hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK perlu mendalami pengakuan staf panitera Hakim Agung Andi Abu Ayyub, Suprapto, yang menyatakan bahwa Andi Ayyub meminta Rp 300 juta dalam pengurusan kasasi perkara Hutoma Wijaya Ongowarsito.
Jika pengakuan tersebut benar, kata Eva, betapa murahnya harga keadilan di tingkat kasasi. “Rendah sekali harga seorang Hakim Agung. Terlalu murah bagi seorang Hakim Agung,†sindir Eva.
Namun, kata Eva, jaksa harus hati-hati dalam menindaklanjuti pengakuan Suprapto. Apakah permintaan dana Rp 300 juta itu berasal dari Hakim Agung Andi Ayyub, atau hanya dari lapisan jajaran teknis operasional yang hanya mencatut nama Hakim Agung.
Ia menilai, bisa saja angka Rp 300 juta itu muncul dari bagian lapis bawah di Mahkamah Agung yang mencari peruntungan. “Yah, semacam iseng-iseng berhadiah,†katanya.
Untuk memberantas mafia peradilan di Mahkamah Agung, politisi PDIP itu meminta reformasi di lembaga tinggi peradilan tersebut tidak hanya di jajaran Aakim Agung. Tapi menyeluruh sampai level bawah.
“Karena munculnya suap atau korupsi, juga bisa terjadi di level bawah,†ujarnya.
Eva mengapresiasi langkah Hakim Agung Andi Ayyub yang bersedia hadir dalam persidangan perkara suap pegawai MA itu. Menurut dia, langkah tersebut sebagai bentuk menghormati hukum.
Eva juga menghargai langkah Andi Ayyub yang tidak mau berkomentar soal materi persidangan. Sebagai Hakim Agung, menurut Eva, Ayub harus berhati-hati dalam memberikan komentar. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: