Office Boy Disuruh Transfer Rp 1 Miliar

Kasus Pencucian Uang Luthfi Hasan Ishaaq

Jumat, 18 Oktober 2013, 10:24 WIB
Office Boy Disuruh Transfer Rp 1 Miliar
Luthfi Hasan Ishaaq
rmol news logo Sidang kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi dan pencucian uang terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Ada kejutan di sidang tersebut.

Usai sidang, bekas Presiden PKS itu kembali menyebut sosok mis­terius Bunda Putri. Kata Luthfi, sejak diperkenalkan oleh Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Ami­nuddin, dia mengaku dua atau tiga kali bertemu dengan Bunda Putri.

Sekitar pukul 11 siang, Luthfi su­dah tiba di Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Menge­na­kan batik lengan pendek warna me­rah, bekas Presiden PKS itu lang­sung diberondong per­ta­nya­an oleh wartawan.

Ditanya soal pernyataan SBY soal Bunda Putri, anggota Komisi I DPR ini hanya mengedikkan bahu, mengangkat tangan sambil memamerkan senyumnya. “Ti­dak, saya tidak mau. Ini kan bu­kan di persidangan. Hanya boleh di dalam sidang,” ujar Luthfi, ber­gegas menuju ruang tunggu khu­sus terdakwa.

Pukul 2 siang, sidang dibuka. Mo­lor lima jam dari jadwal se­mula. Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gusrizal itu sedia­nya menghadirkan empat saksi. Mereka adalah Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin, of­fiice boy dari PT Sirat Inti Buana Abdullah Sani, pemilik show­room Rudi Rusmadi, dan pe­n­siu­nan TNI bernama Tanu Margono.

Sebelum dilanjutkan men­de­ngar­kan keterangan saksi, jaksa Wawan Yunarto menyampaikan bah­wa saksi atas nama Hilmi Aminuddin tidak bisa hadir ke persidangan. “Yang hadir baru tiga. Ada surat pemberitahuan ti­dak hadir atas nama saksi Hilmi Aminuddin,” kata  Wawan.

Namun, Wawan tidak men­je­laskan lebih jauh apa alasan ke­tidakhadiran Hilmi yang te­r­can­tum dalam surat itu.

Tiga saksi yang hadir dimintai keterangannya sebagai saksi dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Luthfi. Tanu Margono dimintai keterangannya soal sebidang tanah seluas 4 ribu meter persegi di Batu Ampar IV Condet, Jakarta Timur, yang se­bagiannya dibeli oleh Luthfi.

Sementara saksi Rudi Rusmadi dikorek mengenai mobil Alphard miliknya yang dibeli Luthfi. Un­tuk saksi Abdullah Sani, ia dita­nya mengenai dua transfer jutaan rupiah salah satunya ke anak Luthfi. Office boy ini juga diko­rek mengenai namanya yang ter­cantum dalam kepemilikan mobil Toyota Fortuner.

Tanu Margono yang hadir ke persidangan dibantu dengan kursi roda menceritakan, awal pe­rt­e­muan dengan Luthfi karena dike­nalkan bekas anggota DPR Soe­ripto yang juga menjabat sebagai anggota Majelis Syura PKS.

Menurut Tanu, ia bertemu de­ngan Soeripto untuk menjual ta­nah­nya seluas 2,162 meter per­segi karena terdesak butuh uang buat pernikahan anaknya. Setelah ber­temu Soeripto ia bertemu de­ngan Ahmad Zaky dan Luthfi yang sepakat membeli tanah tersebut.

Luthfi dan Zaky membagi ta­nah itu menjadi lima blok dalam satu kluster. Kemudian, lanjut Tanu, Luthfi dan Zaky memi­lih­kan pembeli lima blok tanah itu. Me­reka adalah Budi­yanto, ang­gota Majelis Syuro PKS Ja­zuli Juwaini, dan Ahmad Zaky ma­sing-masing satu blok. Luthfi sen­diri memiliki dua blok. Pem­baya­ran tanah itu dilakukan me­lalui fa­silitas Kredit Pemilikan Rumah Syariah (KPRS) Bank Muamalat.

Lantas, hakim Made Hendra bertanya apa alasan Luthfi memilih pembeli. Tanu kemudian menjawab, alasan mendasarnya adalah para pembeli itu harus memiliki penghasilan lain, di luar gaji sebagai anggota DPR. “Karena kalau hanya gaji dari DPR saja enggak bisa. Misalnya Pak Jazuli kan ada bisnis kelapa sawit,” ujar Tanu.

Tanu juga mengungkapkan bahwa Luthfi bertugas memilih klien yang akan membeli rumah di sebuah kompleks yang dikenal dengan nama Kompleks PKS itu. Tanu mengaku mendengar per­nya­taan seperti itu melalui sekre­taris pribadi Luthfi, Ahmad Zaky.

Tanu mengatakan, dia men­dengar dari Zaky, Luthfi adalah orang yang menentukan pembeli ru­mah di kluster itu dan menga­jukan nama para pembeli itu ke Bank Muamalat, guna men­da­pat­kan KPRS.

“Saya mendengar dari Zaky seperti itu. Pak Luthfi yang me­milih pembeli yang bonafid. Wa­laupun anggota DPR belum tentu bisa beli di situ,” kata Tanu.

Sementara Sani mengaku di­minta dua kali oleh Ahmad Zaky untuk mentransfer uang. Transfer pertama, kata dia, ditujukan ke anak Luthfi yang bernama Usama yang sedang berada di Pakistan. Kata Sani, setiap pengiriman uang selalu memakai namanya. 

“Pertama kirimnya melalui Wes­tern Union. Uangnya dari Ahmad Zaky,” aku Sani.
Selain itu, pada 24 Agustus ia juga mengirim uang sejumlah Rp 1 miliar. Uang tersebut kata dia, disimpan dalam kardus mi­numan air mineral. “ Ahmad Zaky yang menuliskan nomor re­ke­ning dan cara pengisian slip tranfernya,” kata Sani.

Soal namanya yang tertera da­lam kepemilikan mobil Fortuner, Sani mengaku suatu hari Zaky pernah datang ke pantry tempat dia bekerja dan meminjam KTP-nya. Hakim I Made Hendra lantas bertanya, apakah saudara ber­ta­nya tujuan Zaky meminjam KTP. “Saya tidak berani tanya, Pak,” jawab Sani.

Sementara itu, Rudi dimintai kesaksiannya soal mobil Alphard tahun 2010 miliknya yang kemu­dian dibeli Luthfi. “Awalnya saya tawarkan Rp 675 juta, kemudian di­tawar Rp 650 juta,” cerita Rudi.

Pembayaran dilakukan de­ngan dua kali tahapan. Pertama, Rp 300 juta dan sisanya dibayar ke­mudian. “Yang ambil uang di rumah Lutfi bukan saya. Yang ngasih juga bukan Pak Luthfi,” jelas Rudi.

Seusai sidang, Luthfi ditanya wartawan soal pengakuannya yang menyatakan bahwa Bunda Putri adalah sosok yang sangat de­kat dengan Presiden SBY. Luthfi menjelaskan bahwa apa yang dinyatakannya hanya men­jawab pertanyaan hakim. “Saya sama se­kali tidak berinisiatif,” aku Luthfi.

Luthfi menjelaskan bahwa ia mengenal Bunda Putri saat ber­tamu ke rumah Hilmi Aminuddin di Lembang, Jawa Barat. “Beliau (Bunda Putri) ada di sana, lalu saya dikenalkan,” ungkapnya. Se­sudah perkenalan itu, Luthfi bertemu lagi sekitar 3-4 kali.

Ditanya soal, tanggapan SBY yang geram atas kesaksiannya mengenai Bunda Putri, Luthfi me­ngaku tidak tahu. Luthfi me­ngaku hanya tahu bahwa SBY mendoakan dirinya.

“Saya tidak tahu (SBY geram). Yang saya tahu, anak saya ber­ce­rita waktu Lebaran kemarin. Dia datang dengan bangga menga­ta­kan ‘ayah didoakan oleh Pak SBY’,” kata Luthfi.

Lantaran itu, lanjut Luthfi, dia mendoakan balik SBY semoga di­beri kesehatan dan kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas negara.

“Kita doakan juga Pak SBY mudah-mudahan beliau selalu diberi kesehatan, diberi kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas negara karena beban beliau ba­nyak, menjalankan tugas nasional maupun internasional,” ujar Luthfi.

Kilas Balik
Yudi Ngaku Setor Rp 20 Miliar, LHI Bantah


Yudi Setiawan, Direktur PT Cip­­ta Terang Abadi (CTA) diha­dir­kan jaksa KPK sebagai saksi un­tuk terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) pada Senin (6/10).

Yudi me­ngaku pernah menye­rah­kan uang kepada Luthfi dan Fathanah se­bagai ijon proyek di Ke­menterian Pertanian. Yudi me­rinci ada 15 pembayaran yang di­be­rikan ke­pada Fathanah dan Luth­fi. Total uang yang diberikan ke­pa­da me­reka lebih dari Rp 20 miliar.

Rinciannya antara lain, Rp 250 juta untuk uang perkenalan. Dua cek masing-masing senilai Rp 500 juta dan Rp 450 juta ke Luthfi untuk Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Transfer ke rekening M Rabani sebesar Rp 20 juta. Me­nurut Yudi, seseuai pengakuan Fathanah kepadanya, M Rabani adalah anak Luthfi.

Yudi juga mengaku me­nye­rah­kan uang Rp 2 miliar tunai untuk THR teman-teman DPP PKS yang diambil Fathanah di apar­temen Yudi tanggal 24 Agustus, di­tunggu Luthfi di lobi. Uang un­tuk beli jas di Plaza Indo­nesia se­besar Rp 165 juta. Fatha­nah be­lan­ja 4 stel jas, Luthfi be­lanja 20 stel jas. Untuk kep­en­tingan Denny Adiningrat 30 ribu dolar Amerika diserahkan ke Luthfi melalui Fathanah.

Yudi juga mengaku menyerah­kan Rp 336,7 juta untuk uang muka mobil Toyota FJ Cruiser mi­lik Lut­hfi. Kemudian, uang Rp 1 miliar dibagi dua kali transfer Rp 950 juta tanggal 25 September 2012, Rp 35 juta dan Rp 15 juta, untuk kun­ju­ngan kerja rombongan DPR dari Fraksi PKS ke Istanbul, Turki.

Luthfi membantah tuduhan-tuduhan yang dialamatkan Yudi kepadanya. Mulai dari 20 setel jas yang dibelikan oleh Yudi Setia­wan. “Saya tidak memiliki jas se­banyak itu,” aku Luthfi.

Bekas anggota Komisi I DPR ini juga membantah pernah me­minta Yudi untuk mentransfer se­jumlah uang ke rekening anaknya M Ra­bani. “Dari 15 anak saya, ti­dak ada satu pun anak saya ber­nama Muhammad D Robbani. Saya bisa sebutkan satu persatu nama anak saya di sini,” ucap Luthfi.

Luthfi hanya mengaku pernah menerima uang dari Yudi yaitu se­banyak Rp 450 juta dan Rp 500 juta yang dia sumbangkan untuk keperluan Pilgub DKI Jakarta dan Pigub Jabar. “Saya mengira itu se­bagai sumbangan saudara saksi di pilkada,” kata Luthfi.

Sedangkan, perihal uang Rp 250 juta yang dikatakan Yudi se­bagai uang perkenalan tidak di­akui Luthfi. Demikian juga, uang-uang yang jumlahnya m­iliaran yang diserahkan melalui Fatha­nah, juga dibantah Luthfi. “Uang-uang yang sisanya, tidak sepeser pun saya tahu. Dan tidak pernah tahu atau menerima,” tegas Luthfi.

Luthi juga membantah memin­ta Rp 2 miliar un­tuk THR DPP PKS. Dia pun membantah me­minta Rp 1,9 miliar untuk kunju­ngan kerja rombongan anggota DPR Fraksi PKS ke Turki.

Terbukti Cuci Uang, Diancam 20 Tahun
Yenti Garnasih, Pengamat TPPU

Pengamat tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih mengapresaiasi lang­kah jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang berupaya membuktikan tindak pidana pencucian uang terdakwa Luth­fi Hasan Ishaaq (LHI).

Menurut Yenti, untuk mem­buktikan seorang melakukan tindak pidana pencucian uang, jaksa memang harus mem­buk­tikan aliran uang yang dida­pat­kan dari hasil korupsi. Baik itu untuk pembelian properti atau benda bergerak.

Kata Yenti, tujuan rangkap dakwaan, yakni korupsi dan pencucian uang agar jaksa bisa mendakwa dengan ancaman hukuman yang berat.

“Dengan begitu, majelis ha­kim bisa men­jatuhkan hu­ku­man yang berat,” kata Yenti.
Yenti menjelaskan, sesuai Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, di akhir si­dang hakim akan meme­rin­tah­kan Luthfi untuk membuktikan apakah pembelian-pembelian aset, yang sedang dibuktikan jak­sa, berasal dari hasil korupsi atau bukan.

Jika terdakwa tidak bisa mem­buktikan asal-usul uang tersebut berasal dari uang yang halal, lanjut Yenti, maka hal ter­se­but akan memperkuat dak­wa­an jaksa. “Hal tersebut akan me­yakin­kan hakim tentang da­k­wa­an jaksa,” ucapnya.

Ke depan, Yenti berharap, se­tiap terdakwa kasus korupsi bisa juga dikenakan pasal pen­cucian uang, selain pasal ko­rup­si. Menurut Yenti, selama ini hukuman untuk para terpidana kasus korupsi dirasa kurang berat. “Sekarang hukumannya hanya satu-dua tahun belum dipotong remisi dan lain-lain,” tandasnya.

Hukuman yang singkat, kata Yenti tidak akan memberi efek jera. Sebab itu, perkara korupsi terus muncul. Dengan dirang­kap pasal pencucian uang, Yenti berharap terpidana bisa men­dapatkan hukuman jauh lebih berat. Soalnya, dalam Undang Un­dang Pencucian Uang, pe­laku diancam maksimal 20 tahun penjara.

“Bagaimanapun hukuman penjara yang lama itu akan mem­buat efek jera,” tandasnya.

Selain hukuman yang berat, kata Yenti, penggunaan pasal pencucian uang juga untuk me­rampas uang yang menurut jaksa merupakan hasil korupsi. Uang itu kemudian diserahkan kepada negara.

Ada Kesan JPU Tidak Berani Panggil Hilmi
Desmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengata­kan, jika jaksa ingin mem­buk­tikan dugaan pidana pen­cucian uang yang dilakukan Luthfi Hasan Ishaaq, maka jaksa pe­nuntut umum (JPU) harus bisa menghadirkan saksi-saksi yang mendukung dakwaan tersebut.

Termasuk menghadirkan Ketua Majelis Syura PKS  Hilmi Aminuddin yang akan dijadikan saksi pencucian uang Luthfi. Kata Desmond, ke­tidakmampuan jaksa meng­ha­dirkan saksi dapat dianggap jaksa tidak serius. Karena pada da­sarnya kedudukan setiap orang di depan hukum sama.

“Jangan sampai ada kesan di publik jaksa penuntut umum ti­dak berani menghadirkan sak­si, karena saksi itu punya kekuasaan,” ucap Desmond.

Mengenai disenting opinion hakim sebelumnya, mengenai berwenang atau tidak jaksa KPK mendakwa pencucian ua­ng Luthfi, menurut Desmond hal tersebut sudah selesai.

Kata dia, meski ada perbedaan pen­dapat, hakim sudah memu­tus­kan bahwa jaksa berwenang me­nuntut tindak pidana pen­cucian uang Luthfi.

“Karena hakim sudah me­mutus jaksa berwenang, sek­a­rang penilaiannya harus su­dah pada substansi. Apakah ada pencucian uang itu atau tidak,” ujarnya.

Selanjutnya, kata dia, di da­lam amar putusan nanti, hakim sebaiknya memberi pertim­ba­ngan mengenai perbaikan un­dang-undang. “Sebagai bentuk pe­nyempurnaan Undang Un­dang Tindak Pidana Pencucian Uang,” ucap politisi Partai Ge­rindra ini.

Dalam kaitan ini, dia meminta KPK terus mengembangkan kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi ini. Meski sudah ditetapkan lima tersangka dalam kasus ini, dia heran belum ada satu pun tersangka dari pihak Ke­men­terian Pertanian.

Padahal, menurut dia, Ke­mentan adalah salah satu lem­baga yang memiliki ke­we­na­ngan untuk menambah atau me­ngurangi izin kuota impor da­ging sapi. “Belum adanya ter­sangka dari pihak Kementan akan mengganggu kredibilitas lem­baga KPK.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA