Dirikan PT PKS, Dirut Green Life Kirimi Fathanah 10.000 Dolar AS

Terungkap Di Sidang Kasus Suap Impor Daging Sapi

Selasa, 10 September 2013, 09:15 WIB
Dirikan PT PKS, Dirut Green Life Kirimi Fathanah 10.000 Dolar AS
Ahmad Fathanah
rmol news logo Majelis hakim mengkonfirmasi beragam sepak terjang terdakwa kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi, Ahmad Fathanah. Mulai soal pendirian perusahaan, pengiriman uang, pembelian mobil mewah, sampai urusan perempuan, ditanyakan kepada saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Saksi Billy Gan, Direktur Utama PT Green Life Bioscience (GLB) menerangkan, hubungannya dengan Fathanah berlangsung intens ketika diajak mendirikan perusahaan bersama. Perusahaan yang dimaksud ialah PT Prima Karsa Sejahtera (PKS).

PT PKS didirikan dengan menggandeng kolega Billy,  Sony Putra Samapta. Duduk sebagai Komisaris Utama adalah Hudzaifah Luthfi. “Fathanah sebagai Komisaris,” kata Billy di hadapan majelis hakim.

Pria berkulit bersih ini menguraikan, Fathanah merancang PT PKS sebagai perusahaan yang fokus mendistribusikan pupuk produksi GLB. Tiba-tiba, Ketua Majelis Hakim Nawawi menanyakan ikhwal kepanjangan nama Luthfi yang disandang Hudzaifah. Billy menjawab, berdasarkan keterangan Fathanah, Hudzaifah dimasukkan sebagai Komisaris Utama karena anak Luthfi Hasan Ishaaq.

Luthfi saat itu menjabat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tapi, Billy mengaku belum pernah bertemu anak ketiga dari istri pertama Luthfi tersebut. “Pak Ahmad bilang, perusahaan akan bisa mendapatkan proyek di Kementan,” ucapnya.

Dalam kesaksiannya, Billy mengaku pernah mengirim 10 ribu dolar Amerika Serikat (AS) pada Fathanah. Uang diberikan di Hotel Kempinsky, Jakarta Pusat, pada awal 2011.  Selain itu, Billy pernah mentransfer uang melalui BCA kepada Fathanah. Uang tersebut, klaim Billy, semata-mata untuk kepentingan pendirian PT PKS.

Nominal uang yang dikirim, diperkirakan mencapai Rp 1 miliar. Anehnya, Billy mengaku, PT PKS sama sekali belum mendapat keuntungan dari proyek yang dijanjikan.

Saksi lain yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK adalah anggota DPR dari PKS Jazuli Juwaini. Dia mengaku pernah bertransaksi dengan Fathanah, yaitu saat dirinya menjual mobil Toyota Land Cruiser Prado.  “Saya jual kepada Fathanah,” kata bekas Bendahara Umum PKS ini.

Jazuli meminta Fathanah menyetor uang penjualan mobil sebesar Rp 600 juta itu ke rekening Mahmud Aliman. Mahmud adalah tim sukses yang mengurusi sisa-sisa utang Jazuli saat kalah dalam Pilkada Banten.

Jazuli mengaku tidak tahu darimana asal-usul uang yang dipakai Fathanah untuk membeli mobil tersebut. Dia juga tidak memberitahu Mahmud, siapa orang yang mentransfer uang ke rekeningnya.

Namun, anggota majelis hakim Joko Subagyo tidak percaya begitu saja pada kesaksian Jazuli. Soalnya, jual-beli mobil secara over kredit itu tanpa perikatan apapun. “Dalam pencucian uang tidak bisa seperti itu. Anda juga harus mengetahui dari mana penghasilan Fathanah,” tandas Subagyo.

Saksi lain yang dihadirkan JPU KPK adalah Amel Fadli, kakak kandung Fathanah. Saat ditanya hakim berapa jumlah istri Fathanah, Amel mengaku tidak mengetahuinya. “Anda tahu nggak, berapa istri terdakwa?” tanya hakim Nawawi. Amel menjawab, “Banyak. Saya juga bingung jawabnya.” Sontak pengunjung sidang tertawa.

Amel menjelaskan, Fathanah sudah cerai dengan istri pertamanya, Siti Fatimah. Kendati begitu, Amel tidak tahu, siapa istri kedua Fathanah. “Tidak tahu, nikahnya saja saya tidak tahu,” katanya menjawab pertanyaan Nawawi. 

Namun, Amel mengetahui, siapa istri ketiga Fathanah. “Namanya Sefti Sanustika. Dulunya penyanyi.”

Dalam dakwaan, JPU membeberkan, Fathanah pernah menikah empat kali. Dari pernikahan pertama pada 1993 dengan Siti Fatimah, Fathanah dikaruniai tiga anak.  Mereka bercerai pada 1999. Pada tahun yang sama, Fathanah menikah dengan Dewi Kirana. Dari pernikahan tersebut, Fathanah dikaruniai satu anak.

Fathanah dan Dewi bercerai pada 2006. Pada 2008, Fathanah menikah dengan Surti Kurlianti. Pada 2001, Fathanah menikah secara siri dengan Sefti Sanustika dan dikaruniai seorang anak.

Kilas Balik
“Masa Sengman & Hendra Nggak Nyampein”

Ridwan Hakim, anak Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin juga pernah menjadi saksi bagi terdakwa Ahmad Fathanah di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam sidang pada Kamis (29/8) lalu itu, jaksa penuntut umum (JPU) KPK memutar rekaman percakapan via telepon antara Ridwan (R) dengan Fathanah (F). Berikut hasil sadapan KPK itu.

R: Ada yang nyampe bos?

F: Lha, udah nggak mungkin lah, makanya ibu El itu nggak mungkin. Udah, udah beres bener. Engkong sendiri waktu itu sesudah itu pernah ketemu dan tidak ada komentar gitu lho.

R: Iya nggak ada komentar. Masa di depan forum ngasih komentar, kan nggak mungkin. Yang jelas komplainnya ke kita.

F: Satu dan engkong.

R: Apa?

F: Ke satu dan engkong nggak mungkin lah ya juga. Tapi udah nyampe kok 40. Ditenteng langsung sama ibu, kok. Untuk disampaikan ke Lembang.

R: Enggak ada, komplainnya ke kita bos.

F: Hah? Ya udah kalo mau.

R:Komplainnya ke kita, kenapa?

F: Dalam waktu dekat ketemu sama ibu El dulu deh. Supaya jelas.

R: Oke boleh, boleh, boleh.

F: Bener Wan?

R: Iya

F: Nggak nyampe?

R:Nggak nyampe, baru konfirmasi lagi kan kemarin.

F: Ya Allah ya Robbi, kemana mu.. ma.. masa Sengman dengan Hendra nggak nyampein?

R: Ya nggak tau, pokoknya gitu ceritanya.
F: Hehh...

R: Gitu, jadi gimana malam ini jadi ketemu nggak?

F: Ketemu, ketemu, saya ketemu. Kami di Citos. Eh Wan, eee ke semuanya, kewajibannya ibu El sendiri berapa ke Engkong?

R: Ee... yang jelas, ee... nanti deh diomonginnya.

Menanggapi rekaman tersebut, Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango bertanya kepada Ridwan, “Engkong itu siapa.” Ridwan menjawab, “Engkong itu merujuk ke bapak saya.”

Nawawi melanjutkan pertanyaan, kenapa pembicaraan dengan Fathanah itu merujuk ke bapaknya Ridwan. “Substansi itu masih berkaitan dengan masalah tempo itu. Akhirnya kita bertemu dan jelaskan,” ucap Ridwan.

“Masalah apa itu,” tanya Nawawi. Ridwan menyatakan bahwa masalah yang dimaksudnya adalah kuota daging sapi. Nawawi bertanya lagi, apa permasalahan dalam kuota impor daging itu. “Permasalahannya waktu itu nama saya disangkutpautkan,” jawab Ridwan.

“Bukan ada yang belum dibayar?

Bukan soal Rp 17 miliar yang belum dibayar?” cecar Nawawi. Ridwan mengatakan, “Bukan Pak.”

Tapi, Ridwan menyatakan pernah bertemu Fathanah dan Elda Devianne Adiningrat di Kuala Lumpur, Malaysia. Ridwan menyebut, kepergiannya ke Kula Lumpur saat itu diajak Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Kata Ridwan, saat sarapan dengan Luthfi di Hotel Mariot, tiba-tiba datang Fathanah. Kemudian, Luthfi pergi untuk menghadiri acara PKS. Fathanah kemudian mengajak Ridwan ngopi di sebuah kafe yang sudah ada Elda di tempat tersebut. “Tapi benar Yang Mulia, saya tidak ada rencana bertemu Fathanah,” alasannya.

Hakim kembali mencecar Ridwan. “Masa terdakwa jauh-jauh ke Kuala Lumpur kalau tidak ada tujuan apa-apa?” tanya anggota majelis hakim Made Hendra.

Ridwan akhirnya mengakui, dalam pertemuan tersebut pernah ada pembicaraan mengenai Rp 17 miliar. “Fathanah menyebut angka Rp 17 miliar. Tetapi, saya tidak paham,” alasan Ridwan.

Made kembali menginterogasi, “Ini angka untuk apa? Saudara kan orang dewasa, masa tidak paham? Kan tidak mungkin.” Ridwan tetap mengaku tidak paham angka itu. Dia malah mengaku, tujuannya ke Kuala Lumpur untuk bertemu teman-temannya.

Jaksa kemudian memutar rekaman hasil sadapan pembicaraan antara Fathanah dengan Ridwan. Dalam rekaman itu ada pembicaraan mengenai Rp 17 miliar. Meski dicecar hakim dan jaksa, Ridwan mengaku tidak paham isi pembicaraan tersebut.

Karena berbelit-belit, Ridwan ditegur Hakim Ketua Nawawi. Menurut Nawawi, dari isi pembicaraan tersebut, hakim sudah bisa menangkap suasana batin Ridwan dan Fathanah. Juga memaknai pembicaraan itu.

”Hakim bertanya karena mengharap kejujuran Anda. Kami berkarir sudah 25 tahun sebagai hakim. Kami sudah sering bertemu sosok seperti Anda,” tegas Nawawi. Ditegur begitu, Ridwan hanya mengangguk.

Status Saksi Bisa Berubah Jadi Tersangka
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Menurut anggota Komisi III DPR Daday Hudaya, tindak pidana yang disangkakan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ahmad Fathanah Cs sangat kompleks. Oleh sebab itu, pengusutannya perlu dilaksanakan secara cermat dan hati-hati.

“Ada beragam tindak pidana dalam kasus ini. Jenis-jenisnya berkaitan dengan masalah tindak pidana pencucian uang, suap, serta korupsi,” kata politisi Partai Demokrat ini, kemarin.

Daday mengingatkan, rangkaian tindak pidana tersebut mesti diselesaikan secara proporsional, utuh. “Jangan sampai berbagai dugaan tersebut diabaikan KPK, apalagi tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan yang intensif,” tandasnya.

Dia menilai, fakta-fakta yang berkembang dalam kasus ini, sudah banyak kemajuan. Dengan kata lain, bisa dianggap sangat membantu penyidik, penuntut maupun hakim dalam menentukan arah penyelesaian perkara ini.

“Pada prinsipnya, siapa pun yang diduga terlibat, perlu dimintai keterangan. Jika keterangan saksi-saksi menunjukkan adanya keterlibatan pihak tertentu secara signifikan, status saksi tentunya bisa diubah menjadi tersangka,” tegasnya.

Daday yakin, penuntut dan hakim yang menangani perkara ini di persidangan, memiliki standar atau formula untuk menyelesaikan kasus tersebut. Makanya, dia tidak heran jika hakim dalam waktu dekat meminta KPK menetapkan status tersangka kepada pihak lainnya yang sekarang ini masih berstatus saksi.

“Banyak nama yang disebut dan sudah diklarifikasi keterangannya. Penyidik, penuntut dan hakim tinggal menimbang, apa status hukum yang pantas bagi mereka selanjutnya,” ucap Daday.

Sejumlah Nama Yang Misterius Perlu Diproses
Alfons Leomau, Purnawirawan Polri

Kombes (Purn) Alfons Leomau menyarankan, penanganan kasus suap kuota impor daging sapi perlu diintensifkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Soalnya, masih ada sejumlah nama yang sampai saat ini masih misterius keberadaannya. “Semua yang diduga terlibat mesti diproses,” katanya, kemarin.

Dia yakin, penyidik kasus ini memiliki kemampuan menangani perkara secara utuh. Kemampuan itu, idealnya dimanfaatkan untuk mengambil langkah hukum yang proporsional dan tepat. “Nama seperti Bunda Putri yang masih tidak jelas itu, akan segera diketahui, siapa dan bagaimana perannya. Yang penting sekarang, tinggal bagaimana kemauan penyidik mengungkapkan hal-hal tersebut kepada masyarakat,” ucapnya.

Alfons mencermati, fakta-fakta persidangan kasus suap kuota impor daging sapi, sangat bertalian satu dengan lainnya. Hubungan antara satu fakta dan fakta lain, menurut dia, memudahkan penanganan perkara.

Dia menambahkan, modus atau pola yang digunakan pelaku dalam tindak pidana korupsi, suap maupun pencucian uang dalam kasus ini cukup terlihat. Sekalipun pelakunya dari lingkungan elit, menurut Alfons, tapi aksi mereka masih tergolong kejahatan biasa atau konvensional.

“Polanya masih berkutat seputar memanfaatkan hubungan dengan birokrat dan politisi, mencari rekanan untuk mengajukan proyek, dan bagi-bagi jatah atau fee.

Dari berbagai kasus korupsi dan pencucian uang, nyaris semuanya menggunakan modus operandi sejenis,” nilainya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA