Pegawai MA Jadi Saksi Suap Pengurusan Kasasi

Di Tengah Sorotan Terhadap Mahkamah Agung

Selasa, 27 Agustus 2013, 10:19 WIB
Pegawai MA Jadi Saksi  Suap Pengurusan Kasasi
Mahkamah Agung (MA)
rmol news logo Mahkamah Agung (MA) tengah jadi sorotan berbagai elemen masyarakat lantaran memutus bebas terdakwa kasus korupsi kredit Rp 369 miliar Sudjiono Timan, dan salah ketik putusan gugatan negara Rp 185 miliar terhadap Yayasan Supersemar.

Di tengah situasi itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kasus suap pengurusan kasasi di MA. Penyidik KPK kemarin memeriksa pegawai MA bernama Suprapto sebagai saksi kasus suap pengurusan kasasi perkara penipuan Hutomo Wijaya Ongowarsito (HWO).

Suprapto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Mario Carnelio Bernardo, pengacara yang menjadi tersangka kasus suap ini. “Yang bersangkutan hadir dalam pemeriksaan,” kata Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha, kemarin.

Suprapto tiba di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan pukul 10 pagi. KPK mengorek keterangan Suprapto, antara lain untuk menelusuri pihak-pihak lain yang diduga menerima uang suap dari Mario. KPK menduga bahwa tersangka Djodi Supratman bukanlah pelaku tunggal di MA.

Pekan sebelumnya, KPK memeriksa tiga pegawai dari kantor pengacara milik Hotma Sitompoel, Law Firm and Accociates. Ketiga saksi itu adalah Dyna, Sukiem alias Uki, dan Renaldi.

Dalam pengembangan kasus ini, KPK juga telah memeriksa Hutomo, advokat bernama Bonardo PH Sinaga, seorang jaksa Tamalia Roza dan kurir PT Grand Wahana Indonesia bernama Supriyono.

Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, pihaknya terus mengembangkan penyidikan, baik ke arah pihak penyuap maupun pihak yang disuap.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka. Pertama, yang disangka sebagai pemberi suap, yakni pengacara dari kantor Law and Firm Accociates, Mario Carnelio Bernardo (MCB). Kedua, pegawai diklat MA Djodi Supratman (DS) yang disangka menerima suap.

Mario ditangkap di kantornya, Hotma Sitompul & Associates di Jalan Martapura, Jakarta Pusat, sedangkan Djodi di kawasan Monas. Pada tas selempang coklat yang dibawa Djodi, KPK menyita uang sekitar Rp 78 juta. KPK juga menyita Rp 50 juta di rumah Djodi, Cipayung, Jakarta Timur. Diduga, uang tersebut merupakan pembayaran awal dari commitment fee sebesar Rp 200 juta.

Menurut Johan, penyuapan terkait pengurusan kasus terdakwa HWO ini sedang dalam proses kasasi. Pihak yang mengajukan kasasi adalah jaksa.

“DS ini diduga menerima pemberian itu untuk mengurus proses kasasi,” kata Johan.
Untuk mengembangkan penyidikan, KPK menggeledah ruang kerja tersangka.

Sejumlah dokumen yang diduga berkaitan dengan perkara kasasi pun disita. Dalam kasus ini, KPK menahan tersangka Mario dan Djodi di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta. Penahanan keduanya dilakukan pada 26 Juli 2013.

Untuk mendalami kasus ini, KPK pun meminta keterangan atasan tersangka Mario, Hotma Sitompul sebagai saksi. Seusai diperiksa penyidik, Hotma membantah memerintahkan Mario untuk mengurus perkara itu di MA. “Tahu saja saya tidak, bagaimana saya memerintah,” tepisnya.

Hutomo merupakan Direktur Utama PT Sumbar Calcium Pratama di Jakarta yang bergerak di bidang pertambangan. Berdasarkan informasi perkara di Mahkamah Agung dengan nomor register  521 K/PID/2013, Hutomo tercatat sebagai termohon atau terdakwa dalam kasus klasifikasi penipuan.

Permohonan kasasi tersebut masuk ke MA pada 9 April 2013 dan didistribusikan pada 27 Mei 2013 berdasarkan permohonan jaksa dari kejaksaan negeri.

Hakim Agung yang menangani perkara tersebut adalah Gayus Lumbuun, Andi Abu Ayyub Saleh, dan M Zaharuddin Utama, dengan panitera pengganti M Ikhsan Fathoni. Status perkara tersebut masih dalam “Proses Pemeriksaan oleh Tim CA”.

Pengadilan Negeri Payakumbuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata gugatan Hutomo memutuskan pada 7 November 2012 untuk memenangkan Hutomo sebagai tergugat, dan menghukum para penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp 1,131 juta.

KILAS BALIK
3 Kasus Di MA Yang Sedang Jadi Sorotan


Mahkamah Agung, menurut Kepala Biro Humas dan Hukum MA Ridwan Mansyur, menyerahkan sepenuhnya pengusutan kasus suap pengurusan kasasi Hutomo Wijaya Ongowarsito ke KPK. “Semua info terkait tersangka Djodi telah disampaikan ke KPK,” katanya.

Ridwan menambahkan, tersangka Djodi Supratman (DS) merupakan staf Pusdiklat MA Megamendung, Jawa Barat. Djodi merupakan pegawai MA golongan III-C. Tapi, Ridwan menolak memberikan keterangan mengenai keterlibatan Djodi dalam perkara yang ditangani Mario C Bernardo, pengacara yang menjadi tersangka kasus suap ini.
 
Mengenai salah ketik putusan kasus Yayasan Supersemar, kata Ridwan, MA mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung mengajukan PK. Dia juga menyatakan, MA telah menerima imbauan dari KY. Katanya, kesalahan administratif ini menjadi pelajaran bagi MA sehingga lebih berhati-hati dalam memutus perkara.

Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar mengembalikan 420 ribu dolar AS dan Rp 185 miliar. Namun, dalam amar putusan kasasi, Rp 185 miliar itu ditulis hanya Rp 185 juta.

Sebelum amar putusan itu keluar, Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto karena melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.15/1976 yang menentukan 50 persen dari lima persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.

Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar 420 ribu dolar AS dan Rp 185 miliar. Dana yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia ini, malah diselewengkan. Lantaran itu, Kejagung mewakili negara menggugat Yayasan Supersemar.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar 105 juta dolar AS dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan, Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 19 Februari 2009. Namun, Yayasan Supersemar tidak tinggal diam. Mereka mengajukan kasasi. Pada tingkat kasasi, majelis hakim kasasi Harifin Tumpa, Dirwoto dan Rehngena Purba menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan 75 persen dari 420 ribu dolar AS dan 75 persen dari Rp 185 miliar.

Anehnya, dalam salinan putusan kasasi itu, gugatan Rp 185 miliar ditulis hanya Rp 185 juta. Akibatnya sangat fatal, eksekusi yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi hanya Rp 138 juta. Panitera Pengganti PK ini adalah Pri Pambudi Teguh. Turut menandatangani putusan tersebut Panitera Muda Perdata Soeroso Ono.

Pihak MA ngakunya, kesalahan pengetikan itu tidak disengaja. Menurut Ridwan, Badan Pengawas (Bawas) MA sudah mengambil langkah-langkah dalam menindaklanjuti kesalahan pengetikan kali ini. “Sudah dilakukan pemeriksaan oleh Bawas. Hasilnya, Bawas merekomendasikan peringatan keras kepada panitera perkara ini,” katanya.

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim PK kasus Sudjiono Timan, Suhadi angkat bicara mengenai dasar putusan kabul yang dikeluarkannya. Putusan itu, menurutnya, dilatari kekeliruan putusan kasasi. Antara lain, unsur kerugian negara dalam putusan kasasi MA hanya mengacu pada prinsip judex factie.

Judex factie, menurutnya, hanya berlaku pada perkara perdata yang putusannya adalah lepas atau onslag. Terlebih, sebutnya, perkara asal Sudjiono adalah pinjam-meminjam. “Perkara perdata,” tandasnya.

Berdasarkan asal-usul perkara, dia menyimpulkan, unsur kerugian negara akibat pinjam-meminjam di sini, tak bisa diperkirakan nominalnya. Serta, belum bisa dipastikan apakah terdakwa menikmati uang hasil pinjaman sendirian atau bersama orang lain, sehingga patut dikategorikan melakukan korupsi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, lanjutnya, MA mengabulkan permohonan PK Sudjiono Timan. Sudjiono yang sempat diduga mengemplang kredit Rp 369 miliar dan buron ini pun bebas dari ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Kasus Djodi Bisa Jadi Pintu Masuk Bagi KPK
Asep Iwan Irawan, Bekas Hakim

Pengamat hukum Asep Iwan Irawan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar mafia peradilan yang diduga ada di Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, kasus suap pengurusan kasasi Hutomo yang disangka melibatkan pegawai MA Djodi Supratman (DS), bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membongkar dugaan praktik mafia peradilan di lembaga itu.

Asep berharap, KPK bisa menelusuri pihak-pihak yang diduga terlibat suap di MA tersebut hingga ke akar-akarnya. Sebab, kata dia, jika hal tersebut tidak segera ditumpas dan dibenahi, akan menyuburkan praktek suap di MA.

Kasus suap tersebut, lanjut Asep, merupakan indikasi bahwa ada penegak keadilan yang melupakan fungsinya demi sejumlah uang. MA, lanjut Asep, masih menganggap memiliki kekuasaan Yudikatif.

“Paradigma lama itu yang membuat penegak keadilan kita sering berbuat di luar sumpah jabatannya,” tutur bekas hakim ini.

Asep menilai, banyaknya masalah yang terjadi di MA, mulai dari salah ketik putusan kasus Yayasan Supersemar hingga vonis bebas PK Sudjiono Timan, akibat lemahnya pengawasan MA terhadap hakim.

“Juga kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap hakim-hakim nakal,” tandas Asep.

Asep kemudian memberikan contoh dugaan perilaku nakal hakim MA. Salah satunya, mempermainkan amar putusan, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

MA Berada Di Titik Terendah
Desmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa menilai, saat ini Mahkamah Agung (MA) berada pada titik terendah dalam hal kepercayaan publik.

Menurut Desmond, ada banyak kasus yang menjadi sorotan hingga membuat MA semakin tidak dipercaya publik. Mulai dari kasus suap pegawai MA dalam pengurusan kasasi Hutomo Ongowarsito, salah ketik putusan kasus Yayasan Supersemar, hingga putusan bebas Peninjauan Kembali (PK) untuk terdakwa kasus kredit Rp 369 miliar Sudjiono Timan. Padahal, Sudjiono buron.

“Jadi, nyaris tidak ada yang bisa dibanggakan dari lembaga yudikatif tertinggi kita hari ini,” tegasnya, kemarin.

Yang membuat MA semakin tidak dipercaya, lanjut Desmond, dari banyaknya masalah yang membelit itu, tidak terlihat upaya perbaikan. Malah, ada kesan bahwa MA tidak mau disalahkan dalam setiap kasus-kasus tersebut. “MA mengganggap bahwa itu bukan soal institusi,” katanya.

Dia menilai, saat ini MA adalah lembaga hukum yang tidak sensitif terhadap persoalan-persoalan hukum. “Apa yang bisa diharapkan masyarakat dari lembaga yang seperti ini,” tandas politisi Partai Gerindra ini.

MA, saran Desmond, mesti secepatnya melakukan evaluasi dan pembenahan internal. Dalam kasus-kasus yang menjadi sorotan itu, lanjutnya, patut ditelisik apakah ada mafia peradilan di baliknya. “Apakah ada praktik mafia peradilan di balik salah ketik tidak terkoreksi itu, misalnya,” ujarnya.

Terhadap kasus-kasus non yudisial, seperti kasus suap pegawai MA, Desmond berharap KPK mengungkap pihak-pihak lain yang diduga terlibat.

“Sementara untuk kasus yudisial seperti putusan PK Sudjiono Timan, kita harap Komisi Yudisial turun tangan,” ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA