Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyesalkan insiden salah ketik salinan putusan kasasi tersebut. Sebab, hal ini sangat menghambat eksekusi aset Yayasan Supersemar yang semestinya sudah dapat dilakukan oleh kejaksaan. “Persoalannya, eksekusi aset menjadi terhambat. Apalagi kasus ini sudah bertahun-tahun terjadi,†ingatnya.
Sehingga, kejaksaan terpaksa harus mengulang pekerjaan yang semestinya tidak perlu seperti menyusun dan mendaftarkan memori PK ke Mahkamah Agung (MA). “Proses itu juga memakan waktu yang tidak sedikit,†keluh bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ini.
Tapi apa boleh buat, lanjut Untung, persoalan hukum ini tetap harus diselesaikan. Mau tidak mau, katanya, Jaksa Agung meminta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan jajarannya untuk menyusun memori PK.
“Begitu menerima salinan putusan kasasi, kami segera menyusun dan menyampaikan memori PK ke MA. Karena satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah PK,†ucap bekas Asisten Khusus Jaksa Agung ini.
Beruntung, proses penyusunan memori PK berjalan lancar. Sebab, tim jaksa tidak perlu lagi mencari bukti-bukti tambahan atau novum seperti umumnya dalam pengajuan PK suatu perkara. Jamdatun Burhanuddin pun memastikan, jajarannya sudah melayangkan permohonan PK ke MA. “Kita berharap putusan PK segera terbit,†ucapnya.
Dengan demikian, tim jaksa bisa lebih cepat melaksanakan eksekusi aset Yayasan Supersemar dan menyetorkannya ke kas negara. Dari situ, kerugian negara akibat salah urus dana Yayasan Supersemar dapat segera ditanggulangi.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Komisi Yudisial (KY) Asep Rahmat Fadjar menyatakan, pihaknya menyerahkan kasus Yayasan Supersemar kepada para pihak yang berperkara. Sekalipun begitu, kesalahan ketik memori putusan kasasi kasus ini, menjadi catatan khusus lembaga pengawas peradilan tersebut.
“Kesalahan pengetikan pada memori putusan ini sifatnya rawan dan berakibat fatal bagi para pihak. Terlebih, ada beberapa kasus salah ketik yang memicu kontroversi,†ingatnya.
Oleh sebab itu, KY meminta hakim-hakim MA lebih serius memperbaiki kinerjanya. KY berharap, preseden salah pengetikan tidak terulang.
Asep menambahkan, KY tidak mengagendakan pemeriksaan hakim-hakim agung kasus Yayasan Supersemar. Sebab, masa tugas hakim-hakim itu sudah berakhir alias pensiun. Dengan kata lain, KY tidak memiliki kompetensi memeriksa hakim-hakim yang sudah pensiun.
Selain itu, menurutnya, MA telah mengambil langkah terkait persoalan yang menyedot perhatian khalayak ini. “Sudah ada pemeriksaan oleh Badan Pengawas MA,†ucapnya.
Hasil pemeriksaannya pun dinilai cukup signifikan dalam upaya memperbaiki kinerja MA. “Ada sanksi yang sudah dijatuhkan kepada panitera pengganti kasus itu. Saya rasa itu sudah cukup,†tuturnya.
Dengan penindakan tersebut, maka KY hanya perlu memberikan imbauan secara lisan maupun tertulis. Isi imbauan tersebut, meminta MA lebih berhati-hati dalam menangani perkara.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menyatakan, pihaknya mengapresiasi langkah Kejagung mengajukan PK kasus ini. Dia juga menyatakan, MA telah menerima imbauan dari KY. Katanya, kesalahan administratif ini menjadi pelajaran bagi MA sehingga lebih berhati-hati dalam memutus perkara.
Menurutnya, kesalahan pengetikan itu adalah keteledoran bagian administrasi. Sebab, dari 108 halaman salinan putusan perkara kasasi Kejagung versus Yayasan Supersemar, kesalahan hanya ada di halaman 107 yang berisi amar putusan.
KILAS BALIK
Panitera Ngaku Salah, Gugatan Rp 185 Miliar Ditulis Rp 185 Juta
Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar mengembalikan 420 ribu dolar Amerika Serikat dan Rp 185 miliar. Namun, dalam amar putusan kasasi, Rp 185 miliar itu ditulis hanya Rp 185 juta.
Sebelum amar putusan itu keluar, Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto karena melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari lima persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar 420 ribu dolar AS dan Rp 185 miliar. Dana yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia ini, malah diselewengkan. Lantaran itu, Kejagung mewakili negara menggugat Yayasan Supersemar.
Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar 105 juta dolar AS dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan, Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 19 Februari 2009. Namun, Yayasan Supersemar tidak tinggal diam. Mereka meminta kasasi. Pada tingkat kasasi, majelis hakim kasasi Harifin Tumpa, Dirwoto dan Rehngena Purba menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan 75 persen dari 420 ribu dolar AS dan 75 persen dari Rp 185 miliar.
Anehnya, dalam salinan putusan kasasi itu, gugatan Rp 185 miliar ditulis hanya Rp 185 juta. Akibatnya sangat fatal, eksekusi yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi hanya Rp 138 juta. Panitera Pengganti PK ini adalah Pri Pambudi Teguh. Turut menandatangani putusan tersebut Panitera Muda Perdata Soeroso Ono.
Pihak MA ngakunya, kesalahan pengetikan itu tidak disengaja. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridden Mansyur menyebutkan, Badan Pengawas (Bawas) MA sudah mengambil langkah-langkah dalam menindaklanjuti kesalahan pengetikan kali ini. “Sudah dilakukan pemeriksaan oleh Bawas. Hasilnya, Bawas merekomendasikan peringatan keras kepada panitera perkara ini,†katanya.
Tapi, saat disoal mengenai sanksi terhadap hakim-hakim kasus ini, Ridden menyatakan, MA tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada hakim yang menangani perkara ini.
Alasannya, hakim-hakim kasus ini sudah pensiun. Namun, sambung Ridden, pemeriksaan terhadap mereka tetap dilakukan. Dia mengaku, hasil pemeriksaan menyimpulkan, tidak menemukan adanya unsur kesengajaan dalam putusan perkara.
Tapi dia menyadari, kesalahan ketik ini berdampak sangat krusial. Ekses dari kesalahan itu membuat eksekusi aset Yayasan Supersemar terganjal. “Sudah ada pengakuan kesalahan dari kepaniteraan,†ucapnya.
Ridden mengakui, kesalahan pengetikan itu mengakibatkan upaya kejaksaan mengembalikan aset Yayasan Supersemar ke negara menjadi terganggu. Lantaran itu, MA berkoordinasi dengan Kejagung untuk menindaklanjuti hal ini.
Dia menambahkan, perkara administratif ini menjadi pelajaran berarti bagi MA. Diharapkan, ke depan MA lebih berhati-hati dalam memutus dan melansir salinan putusan suatu perkara.
Muncul Kecurigaan Apakah Ada Motif Halangi EksekusiDesmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa menilai, persoalan salah ketik memori putusan kasasi bisa menjadi masalah yang sangat serius dan berakibat amat buruk terhadap penegakan hukum.
“Apalagi, kesalahan pengetikan terjadi di lingkungan lembaga peradilan tertinggi. Kualitas putusan lembaga peradilan bisa dipertanyakan, diragukan, bahkan dicurigai masyarakat,†kata politisi dari Partai Gerindra ini.
Masyarakat, lanjut Desmon, bisa curiga apakah ada unsur kesengajaan di balik salah ketik memori putusan tersebut. Apakah ada ada motif untuk menghalang-halangi eksekusi pengembalian dana Yayasan Supersemar ke negara.
Desmon pun menyayangkan, kesalahan pengetikan memori putusan di Mahkamah Agung (MA) masih terjadi. Kesalahan yang berulang ini, menurut dia, setidaknya menunjukkan ketidakprofesionalan individu maupun lembaga. Oleh sebab itu, reformasi kinerja MA perlu dilakukan secara cepat.
“Kasus Yayasan Supersemar ini sudah berjalan sangat lama. Pengusutan semestinya berjalan secara profesional,†tandasnya.
Dia pun mengingatkan, kesalahan pengetikan itu hendaknya segera diperbaiki. Maksudnya, proses Peninjauan Kembali (PK) oleh Kejaksaan Agung semestinya bisa diputus secara cepat. Tidak mengulangi proses yang sudah ada atau lazimnya sebuah PK lagi. Sebab, ini hanya persoalan salah ketik.
Selain itu, jika harus melewati rangkaian proses yang umum, bukan mustahil, pengembalian aset Yayasan Supersemar ke negara akan memakan waktu yang sangat panjang. “Lagi-lagi, jaksa akan menemui kesulitan untuk mengeksekusi aset serta mengembalikannya kepada negara. Hal seperti inilah yang sejatinya mengancam penegakan hukum di negara kita,†tegasnya.
Ditetapkan Kolektif, Kok Yang Salah Hanya Panitera Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHIKetua LSM Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Poltak Agustinus Sinaga menyayangkan kembali terjadi salah ketik salinan putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Masifnya persoalan seperti ini, menurut Poltak, hendaknya dijadikan pembelajaran bagi lembaga yudikatif tersebut. “Kenapa masih saja ada kesalahan pengetikan seperti ini.
Masalah ini sangat substansial, sebab menyangkut memori putusan. Putusan adalah hal yang final, semestinya diambil dan dilansir setelah ada pemeriksaan yang seksama,†tandasnya.
Menurut Poltak, bila pada tingkat putusan di MA saja masih ada kesalahan, bukan tidak mungkin pada tingkat sebelumnya juga terjadi kesalahan pengetikan.
Dia pun menyayangkan, pihak yang dianggap paling bertanggungjawab dalam kasus salah ketik putusan ini hanya sekelas panitera. Padahal, Poltak mengingatkan, putusan kasasi dipertimbangkan, dirumuskan, dan ditetapkan secara kolektif. “Jadi, kesalahannya bersifat kolegial,†tegas dia.
Poltak juga mendesak Komisi Yudisial (KY) agar tidak lembek dalam menyikapi persoalan seperti ini. Sebagai lembaga pengawas kehakiman, menurut dia, idealnya KY menjadikan momentum ini untuk menunjukkan komitmennya membersihkan lembaga peradilan.
“Bila hakim-hakim kasus ini sudah pensiun, KY semestinya berkoordinasi dengan lembaga terkait guna menyelesaikan persoalan. Semestinya, KY tidak sebatas memberikan rekomendasi berupa imbauan kepada Mahkamah Agung,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: