Menurut ekonom senior, Rizal Ramli, sebetulnya ia telah menyampaikan beberapa hal saat bertemu Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Soetarto Alimoeso, dua bulan lalu. Sebagai mantan Kepala Bulog, Rizal mendiskusikan secara terbuka fenomena harga pangan yang makin lama tidak hanya makin tidak terkendali, dan selisih antara harga internasional dan harga dalam negeri itu sudah lebih dari 100 persen.
Rizal saat itu menyarankan Bulog diberi peranan yang lebih besar dalam melakukan stabilisasi harga pangan. Jadi, tidak hanya menyangkut soal beras tetapi juga menyangkut soal daging, kedelai, gula dan sebagainya. Dua pekan setelah bertemu Kepala Bulog, Rizal pun menyambangi Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, di mana ia minta Menteri Perdagangan lebih proaktif agar pasar pangan di Indonesia ini tidak dikontrol oleh para kartel.
"Saya berikan contoh, gula hanya ada delapan importir anggota sindikat kartel. Kalau di antara mereka sendiri terjadi persaingan, harga gula otomatis akan turun. Tapi dalam praktiknya mereka itu bertindak sebagai satu kesatuan, sebagai satu kartel, sehingga bisa menentukan harga seenak-enaknya," jelas Rizal.
Sebelum bertemu Kepala Bulog dan Menteri Perdagangan, Rizal lebih dulu menemui Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Nawir Messi, agar melakukan penyelidikan terhadap kartel-kartel tersebut. Mereka mengakibatkan harga pangan di Indonesia 100 persen lebih mahal daripada di luar negeri.
"Pada prinsipnya kami ingin agar seluruh sistem kartel ini dihapuskan. Silakan saja siapapun untuk mengimpor barang tapi harus membayar tarif yang cukup tinggi. Kalau itu dilakukan, otomatis harga gula akan anjlok setengahnya, harga daging yang 100 ribuan akan anjlok ke harga 50 ribu-60 ribuan dan seterusnya," ucapnya.
Sayangnya, menurut Rizal, pemerintah kurang
all out dan kurang tajam melihat masalah. Pemerintah seolah menganggap kartel bukan masalah.
Dalam kaitan dengan peran Bulog, Rizal jelaskan bahwa pada saat krisis ekonomi 1998 lembaga internasional IMF dengan sengaja memotong peranan Bulog. Pemerintah Indonesia saat itu dipaksa menempatkan Bulog hanya terlibat urusan stabilisasi harga beras, tidak boleh lagi minyak goreng, kedelai, gula dan sebagainya.
Sebetulnya, lanjut dia, secara konsep ide itu boleh saja jika peran Bulog digantikan oleh swasta yang kompetitif. Tetapi ternyata, yang terjadi adalah peranan Bulog diganti oleh sistem kartel swasta atau oligopoli swasta.
"Ini justru lebih berbahaya karena mereka yang menentukan harga dan luar biasa keuntungan yang mereka dapat," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: