Menyingkap Sisi Politik di Balik Kenaikan Harga Beras

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 08 Desember 2025, 13:45 WIB
Menyingkap Sisi Politik di Balik Kenaikan Harga Beras
Ketua Umum Perempuan Tani HKTI, Dian Novita Susanto (Foto: Dokumen pribadi)
rmol news logo Dinamika harga beras di Indonesia, yang sering dituding sebagai pemicu utama inflasi, ternyata memiliki akar yang jauh lebih kompleks, melibatkan proses politik dan tata kelola kelembagaan yang lemah. 

Fakta ini diungkap oleh Dian Novita Susanto, Ketua Umum Perempuan Tani HKTI, yang baru saja meraih gelar doktor sains agribisnis dari Institut Pertanian Bogor (IPB University).

Dalam disertasinya yang berjudul 'Inflasi Relatif Harga Beras, Proses Politik, dan Tata Kelola Rantai Nilai Beras di Indonesia: Pendekatan New Institutional Economics', Dian - melalui analisis data time series 2017-2023 - menemukan bahwa beras sesungguhnya bukanlah penyumbang utama inflasi nasional, berbeda dengan persepsi publik dan fokus kebijakan selama ini.  Ia memaparkan bahwa komoditas seperti daging sapi, minyak goreng, cabai merah, dan bawang putih justru memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap volatilitas inflasi.

“Temuan ini mengingatkan kita bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan tidak bisa hanya bertumpu pada beras, karena inflasi lebih banyak digerakkan oleh kelompok pangan yang volatil,” jelas Dian dalam paparannya. 

Dalam sidang terbuka di IPB pada Senin, 8 Desember 2025, Dian juga menyoroti peran sentral proses politik dalam menentukan arah kebijakan beras. Menurut Dian, keputusan terkait stabilisasi harga, seperti impor beras, operasi pasar, hingga penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sering kali menjadi instrumen politik yang bertujuan menjaga dukungan publik, bukan semata didasari pertimbangan teknokratis.

"Keseimbangan antara melindungi konsumen dan menjaga pendapatan petani sering terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik," ungkapnya.

Faktor politik jangka pendek ini, menurut penelitian tersebut, turut memperkeruh upaya penciptaan sistem pangan yang efisien dan adil.

Menggunakan pendekatan New Institutional Economics (NIE), Dian menggali dinamika kelembagaan di Kabupaten Karawang dan Indramayu.

Hasil wawancara mendalam dengan pelaku di lapangan, mulai dari petani, tengkulak, hingga pedagang besar, mengungkap adanya ketergantungan struktural petani pada tengkulak, lemahnya regulasi perlindungan petani, serta distorsi pasar akibat dominasi pedagang besar.

Hasil penilaian kelembagaan menunjukkan rata-rata skor tata kelola rantai nilai beras di kedua wilayah tersebut berada pada kategori rendah (1,27 dan 1,36) dari skala 1-3.

Berdasarkan temuan tersebut, Dian Novita merekomendasikan reformasi kelembagaan menyeluruh untuk mengatasi masalah struktural dalam tata kelola rantai nilai beras. 

Beberapa poin krusial yang diajukan antara lain: memperbaiki regulasi dan peran Perum BULOG, memperketat pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi, mendorong penguatan kelembagaan petani di tingkat akar rumput, dan meningkatkan integrasi pasar untuk mengurangi disparitas dan distorsi harga.

“Kebijakan pangan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika reformasi kelembagaan berjalan seiring dengan penguatan struktur pasar,” tegasnya. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA