KPK kembali memeriksa saksi kasus ini pada Jumat (12/7) lalu. Saksi ini adalah karyawan PT Hardaya Inti Plantations (HIP) bernama Ruth Arifiani. Anak buah Siti Hartati Murdaya ini diperiksa sebagai saksi untuk tersangka baru itu, Totok Lestiyo (TL). Totok juga anak buah Hartati.
Sehari sebelumnya, Kamis (11/7), KPK memanggil saksi Saiful Mujani. Saiful diperiksa hampir 3 jam. Namun, pemilik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini tak memberikan komentar mengenai pemeriksaannya.
Pemeriksaan Saiful ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, dia juga pernah diperiksa dalam kasus yang sama untuk tersangka Siti Hartati Murdaya, pemilik PT HIP. Pada pemeriksaan kali itu, Saiful mengaku ditanya mengenai survei pemilihan pilkada yang dilakukannya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Saat itu, SMRC dibayar sekitar Rp 1 milliar oleh Totok untuk melakukan survei mengenai minat masyarakat memilih kembali Amran Batalipu sebagai Bupati Buol. Totok saat itu menjabat sebagai salah satu Direktur di PT HIP. Menurut Saiful, survei tersebut diorder Totok, bukan Amran Batalipu. “Yang menggunakan jasa pekerjaan saya di Kabupaten Buol, Pak Totok,†ujarnya.
Saiful menjelaskan bahwa ia dikontrak Totok untuk melakukan survei.
Menurut dia, Totok juga yang mengetahui hasil survei tersebut digunakan siapa. Saiful menjelaskan, Totok merupakan orang kepercayaan Hartati Murdaya. Survey itu menghabiskan dana sekitar Rp 300 juta.
Sebelumnya, KPK juga memeriksa beberapa saksi dari kalangan internal PT HIP. KPK memeriksa Financial Controller PT HIP Arim sebagai saksi.
Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan kasus yang sama yang telah menjerat Hartati dan dua anak buahnya, yaitu Direktur Operasional PT HIP Gondo Sudjono serta General Manager Supporting PT HIP Yani Anshori sebagai terpidana.
Dari pengembangan tersebut, pada Senin (1/7) lalu, KPK menetapkan tersangka baru kasus suap pengurusan izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan PT Hardaya Inti Plantation/ PT Cipta Cakra Murdaya di Buol. Tersangka baru itu adalah Direktur PT HIP Totok Lestiyo.
“Penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup, yang kemudian disimpulkan bahwa TL sebagai tersangka,†kata Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo.
Surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Totok diteken pada 28 Juli 2013. Totok disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang memuat ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Dalam kasus ini, Hartati disebut bersama-sama Totok, Yani, dan Gondo menyuap Bupati Buol Amran Batalipu Rp 3 miliar sebagai imbalan karena telah membantu mengurus surat perizinan PT HIP dan PT CCM. Amran juga telah menjadi terpidana kasus ini.
Pada 4 Februari lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan hukuman dua tahun dan delapan bulan penjara, serta denda Rp 150 juta subsider tiga bulan tahanan kepada Hartati Murdaya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memutus, Hartati terbukti memberikan hadiah atau janji kepada Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu sebesar Rp 1 miliar melalui Financail Controller PT HIP Arim dan Rp 2 miliar melalui General Manager Supporting PT HIP Sulawesi Tengah Yani Ansori dan Direktur Operasional PT HIP Gondo Sudjono.
Sedangkan Amran Batalipu divonis hukuman penjara 7 tahun 6 bulan dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan tahanan. Menurut majelis hakim, Amran terbukti menerima suap Rp 3 miliar dari PT HIP atau PT CCM terkait penerbitan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha lahan perusahaan itu di Buol, Sulawesi Tengah.
Kilas Balik
Pengadilan Tinggi DKI Tolak Banding Hartati
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding yang diajukan pemilik PT Hardaya Inti Plantations (HIP) Siti Hartati Murdaya. “Menolak banding terdakwa,†kata Ketua Majelis Hakim banding ini, Ahmad Sobari.
Sobari yang juga Ketua Humas PT DKI menjelaskan, PT resmi menolak permohonan banding atas hukuman dua tahun delapan bulan penjara bagi Hartati. Putusan banding itu bernomor 13/Pid/TPK/2013/PT.DKI tanggal 24 Apr 2013 atas nama Siti Hartati Murdaya.
Menurutnya, putusan banding memutus menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No.76/Pid.B/Tpk 2012/PN.Jkt.Pst tanggal 4 Februari 2012.
Dalam putusannya, majelis hakim PT DKI menilai, Hartati terbukti memberi suap kepada Bupati Buol Amran Batalipu. Dalam putusan ini, lanjut Sobari, majelis hakim juga tidak menemukan fakta baru.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis penjara dua tahun delapan bulan. Menurut hakim, selaku Dirut PT HIP dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM), Hartati terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Amran terkait pengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.
“Menyatakan terdakwa Siti Hartati terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan berlanjut,†kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Gus Rizal.
Perbuatan berlanjut itu, sebagaimana tercantum dalam dakwaan pertama, melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Majelis hakim menyatakan, Hartati terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sesuai dakwaan pertama. Uang senilai total Rp 3 miliar itu diberikan karena Amran telah mendantangani surat-surat perizinan lahan seperti yang diminta Hartati.
Pemberian uang direalisasikan dalam dua tahap. Pada 18 Juni 2012 senilai Rp 1 miliar melalui anak buah Hartati, Arim dan Yani Anshori. Kemudian, pada 26 Juni Rp 2 miliar melalui Gondo Sudjono dan Yani.
Yani dan Gondo juga sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta. Majelis hakim menyatakan, hal itu terbukti ketika Hartati bertemu Amran Batalipu di lobby Hotel Grand Hyatt pada 11 Juni 2012. Saat itu, Hartati meminta bantuan dan meminta diberi rekomendasi untuk izin usaha perkebunan dan hak guna usaha.
Setelah pertemuan itu, tanggal 12 Juni 2012, pegawai HIP Arim membuat surat rekomendasi atas perintah Hartati dan tanggalnya dibuat mundur menjadi tanggal 21 Mei 2012. Kemudian ada pemberian Rp 1 miliar ke Amran pada 18 Juni 2012 jam 01.30 WITA. Disusul pada 19 Juni 2012, Amran mengeluarkan surat penolakan HGU atas tanah seluas 4.500 hektar untuk PT Sebuku. Selain itu, surat ke Gubernur Sulawasi Tengah perihal rekomendasi atas nama PT CCM untuk izin perkebunan lahan 4.500 hektar, dan surat ke Menteri Negara Agraria agar keluarkan izin lahan 4500 hektar atas nama PT CCM.
Hakim memiliki bukti rekaman percakapan telepon Hartati yang mengucapkan terima kasih kepada Amran melalui telepon gengam Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) Totok Lestiyo pada 20 Juni. Ucapan terima kasih tersebut atas barter Rp 1 miliar dengan izin lahan 4500 hektar.
Kemudian, Hartati kembali meminta 50.000 hektar lahan dan berjanji barter dengan Rp 2 miliar.
“Dari fakta-fakta hukum terlihat bahwa tanggal 20 Juni malam hari, terdakwa dengan handphone Totok, menelpon Amran mengucapkan terima kasih bahwa sudah barter lahan 4500 hektar dengan 1 kilo, yang dimaksud Rp 1 miliar.
Kemudian meminta 50.000 hektar lagi dengan janji barter 2 miliar dan Amran setuju,†ujar hakim Made Hendra.
Pledoi (nota pembelaan) Hartati sebelumnya ditolak seluruhnya oleh majelis hakim. Hakim menilai, nota pembelaan tak didukung bukti cukup. Menurut Hartati, uang Rp 3 miliar yang diberikan ke Amran bukan suap. Melainkan, bantuan dana kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) Buol 2012.
Tindak Pidana Korupsi Melibatkan Banyak OrangAhmad Kurdi Moekri, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Ahmad Kurdi Moekri menilai, penyidikan baru kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu perlu mendapat apresiasi. Hal itu menunjukkan adanya komitmen KPK untuk menyelesaikan rangkaian perkara ini secara utuh.
“Meskipun pokok perkara suap dan korupsi di sini sudah selesai, toh masih ada bagian lain yang perlu dituntaskan. Soalnya, persoalan korupsi umumnya dilakukan secara terstruktur,†kata dia.
Artinya, melibatkan kelompok serta korporasi alias tidak berdiri sendiri. Dengan argumen ini, maka tidak salah bila KPK kembali membuka penyidikan baru kasus ini. Dia menyatakan, fakta-fakta yang dikembangkan penyidik tentu bukan sembarangan.
Rangkaian bukti-bukti itu tentunya memiliki kesinambungan dengan pokok perkara. Dengan begitu, memang masih ada hal yang belum tuntas dalam kasus ini.
“Penetapan status tersangka pada saksi perkara ini pun perlu ditindaklanjuti dengan penyidikan yang lebih kompleks. Sebab, persoalan suap dan korupsi tersebut melibatkan banyak pihak,†duganya.
Kurdi menambahkan, penetapan status tersangka baru kali ini bisa menjadi semacam peringatan bagi para pelaku tindak pidana korupsi sejenis. Dengan kata lain, pelaku kasus seperti ini akan takut untuk melakukan hal serupa. “Selain menindak, langkah tersebut bisa dipandang sebagai upaya pencegahan,†katanya.
Jangan Ada Jeda Waktu Tuntaskan Kasus Bupati Buol
Akhiruddin Mahyuddin, Koordinator Gerak Indonesia
Koordinator LSM Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak) Indonesia Akhiruddin Mahyuddin menilai, persoalan korupsi perlu diselesaikan secara konkret dan utuh. Jangan sampai penindakan dilakukan setengah-setengah.
“Sejak awal semestinya sudah terlihat siapa saja yang terlibat kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu. Kenapa baru sekarang ditingkatkan penyidikannya,†kata Akhiruddin.
Kendati begitu, dia memahami jika penyidik kerap menemui kendala dalam mengusut suatu perkara. Oleh sebab itu, penanganan suatu perkara hendaknya dilaksanakan secara terukur. Dengan begitu, struktur perkara menjadi tidak bias.
Dari struktur yang jelas tersebut, penyidik dapat dengan mudah menindaklanjuti persoalan. “Siapa saja yang diduga terlibat perkara bisa lebih mudah diidentifikasi. Jadi, penanganan suatu perkara tidak terhenti pada titik tertentu. Ada kesinambungan yang jelas,†katanya.
Dia khawatir bila pengusutan perkara sempat terhenti alias vakum. Sebab, kevakuman bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang terkait perkara untuk menghindari proses hukum.
Bisa saja, tambahnya, mereka yang terkait permasalahan ini, menghilangkan barang bukti. Atau lebih ekstrem lagi, berupaya melarikan diri atau kabur ke luar negeri.
Karenanya, dia meminta KPK lebih intensif lagi menindaklanjuti persoalan yang ada.
“Jangan sampai ada jeda waktu dalam menyelesaikan kasus. Apalagi, pokok perkaranya sendiri sudah diputus pengadilan,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: