Enam orang itu adalah bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Direktur Utama PT Prasasti Mitra (PM) Bambang Rudijanto Tanoesodibjo, Direktur PT PM Sutikno, Direktur Utama PT Bhineka Usada Raya (BUR) Singgih Wibisono, Fredy Lumban Tobing selaku wakil PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) dan Tatat Rahmita dari PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD). Meski disebut terlibat, status mereka masih saksi dalam kasus ini.
Bahkan, dua di antara enam saksi penting itu, belum dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK untuk menjadi saksi persidangan terdakwa Ratna Dewi Umar (RDU) di Pengadilan Tipikor Jakarta. Yakni, Siti dan Fredy. Sedangkan Singgih akan kembali dihadirkan sebagai saksi, karena kesaksiannya dianggap belum cukup lantaran keterbatasan waktu sidang pada Kamis pekan lalu.
Berdasarkan dakwaan jaksa I Kadek Wiradana dkk terhadap RDU, Dirut PT BUR itu kecipratan aliran dana proyek alkes di 56 rumah sakit rujukan sebesar Rp 25,913 miliar. Proyek itu adalah pengadaan alkes untuk melengkapi rumah sakit rujukan penanganan flu burung.
Alokasi dana proyek tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan atau APBNP 2007 pada Ditjen Bina Pelayanan Medik Kemenkes.
Nominal APBNP 2007 di Ditjen Bina Pelayanan Medik itu totalnya sekitar Rp 50 miliar.
Menurut jaksa, daftar harga dan jenis barang yang diajukan, diarahkan Singgih pada produk PT BUR. Tapi, menurut Singgih, hal itu sah-sah saja. Soalnya, sebagai pimpinan PT BUR, Singgih menginginkan agar perusahaannya mendapat keuntungan.
“Proyeksi alkes yang dibutuhkan sesuai dengan produk PT BUR,†ucapnya.
Untuk memuluskan pemenangan proyek, Singgih mengaku diundang untuk bertemu RDU. “Pertemuan tersebut pada awal November 2007,†katanya.
Pertemuan dilaksanakan di kantor RDU di Gedung Kemenkes. Pertemuan dihadiri RDU, Singgih, Tatat dan Freddy. Pada pertemuan itu, RDU mengenalkan Singgih, Tatat dan Freddy kepada panitia pengadaan.
Dari perkenalan tersebut, Singgih mengajukan daftar harga dan jenis barang yang diperlukan untuk proyek alkes di 56 rumah sakit rujukan. “Panitia pengadaan membuat surat permintaan informasi harga peralatan kepada suplier,†ujarnya.
Menurut Singgih, surat permintaan informasi harga diterima stafnya, Juni Susilawati. Surat itu lalu disampaikan kepada Hasan, staf PT BUR. Tapi, Singgih mengaku tidak ingat bagaimana teknis penyusunan harga dan spesifikasi barang.
Sebab, PT BUR menyusun daftar harga dan spesifikasi barang setelah meminta masukan dari PT Mediwel Elmed, PT Alba Unggul Metal, PT Alvaro Dwi Daya, PT Mega Andalan Kalasan, PT Abadi Berkat Perkasa.
Perusahaan-perusahaan itu merupakan rekanan PT BUR. Sepengetahuannya, begitu daftar harga dan spesifikasi barang diajukan kepada panitia pengadaan, selanjutnya panitia pengadaan membuat harga perkiraan sendiri (HPS). Total HPS untuk proyek ini nominalnya Rp 49,942 miliar. “Saya tidak ikut menentukan HPS,†akunya.
Dia mengaku, PT BUR sebatas mendukung pemenang proyek, yaitu PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD), PT Indofarma Global Medika (IGM) dan PT Alpan Medichem Lestari (AML) dalam pengadaan barang. Namun, jaksa tidak mau percaya begitu saja.
“Siapa yang menyusun daftar harga dan negoisasi harga alkes? PT KFTD atau PT BUR?†tanya Kadek. Singgih beralasan, dalam negoisiasi, PT BUR memberikan potongan harga alias diskon. Dari total harga Rp 49,460 miliar, menjadi Rp 49,180 miliar.
Menindaklanjuti hal tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Embry Netty melakukan penandatanganan kontrak pada Akhir November 2007. Penandatanganan kontrak dilaksanakan antara PPK dan Dirut PT KFTD Suharno. Nilai kontrak pengadaan barang disepakati Rp 49,180 miliar seperti yang diajukan PT BUR.
Akibat proyek pengadaan yang menggunakan metode penunjukan langsung tersebut, jaksa menyebut PT BUR memperoleh keuntungan senilai Rp 25,193 miliar.
Kilas Balik
Dugaan Kongkalikong Pada 4 PengadaanBekas Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Departemen Kesehatan Ratna Dewi Umar (RDU) menjalani sidang perdana sebagai terdakwa kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2006-2007 di Pengadilan Tipikor Jakarta tanggal 27 Mei lalu.
Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Nawawi Ponolango dengan anggotanya Joko Subagio, Sutio Jumadi Akhirno dan Aswijon.
Surat dakwaan setebal 59 halaman dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) KPK I Kadek Wiradana, Kresno Anto Wibowo, Atty Novyanty dan Kiki Ahmad Yani secara bergantian.
Dakwaan ini menyenggol nama bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Sebelum pengadaan alkes, Siti berpesan kepada RDU agar pengadaan melalui metode penunjukan langsung.
“Dan sebagai pelaksana pekerjaan adalah Bambang Rudijanto Tanoesodibjo,†tegas Ketua JPU I Kadek Wiradana.
RDU yang saat itu Pejabat Pembuat Komitmen, kemudian bertemu Bambang selaku Direktur Utama PT Prasasti Mitra.
“Keputusan pertemuan itu, pengadaan alkes bakal dikerjakan perusahaan Bambang, PT Rajawali Nusindo,†tandasnya.
Menurut JPU, RDU memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi dalam pengadaan alkes tahun 2006-2007. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 50.477.847.078 atau Rp 50,4 miliar. Kerugian itu terjadi pada empat pengadaan alkes.
Pada pengadaan pertama, RDU didakwa memperkaya PT Rajawali Nusindo sebesar Rp 1,5 miliar. Kemudian, perusahaan lain yang mendapat sub kontrak dari PT Rajawali Nusindo, yakni PT Prasasti Mitra Rp 4,9 miliar, PT Airindo Sentra Medika Rp 999,6 juta, PT Fondaco Mitrama Rp 102,8 juta, PT Kartika Sentamas RP 55,6 juta dan PT Heltindo International Rp 1,7 miliar.
Kadek menuturkan, RDU bersepakat dengan Bambang bahwa pengadaan dikerjakan PT Prasasti, tapi menggunakan PT Rajawali Nusindo yang dipimpin Sutikno. Dalam pelaksanaannya, alkes itu diambil dari beberapa agen tunggal, yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica dan PT Airindo Sentra Medika, PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah dari anggaran yang telah ditentukan.
Pada pengadaan kedua, RDU memperkaya PT Rajawali Nusindo sebesar Rp 378,5 juta dan PT Prasasti Mitra Rp 520,9 juta. Pada pengadaan ini, RDU didakwa menyalahgunakan kewenangan, yakni menggunakan sisa anggaran pengadaan pertama sebesar Rp 8.823.800.000 untuk pembelian tambahan alat kesehatan, yaitu 13 ventilator.
Pada pengadaan ketiga, RDU memperkaya PT Kimia Farma Trading Distribution (PT KFTD) sebesar Rp 2,011 miliar dan PT Bhineka Usada Raya (PT BUR). RDU didakwa menyalahgunakan kewenangan karena memerintahkan panitia pengadaan melaksanakan proyek melalui penunjukan langsung.
Alasannya, situasi masih dalam kejadian luar biasa (KLB) flu burung. Sehingga, menunjuk PT KFTD sebagai pelaksana kegiatan. Namun, penentuan harga perkiraan sendiri menggunakan perhitungan PT BUR. Hal ini memperkaya dua perusahaan itu.
Pada pengadaan keempat, RDU menguntungkan PT KFTD sebesar Rp 1,4 miliar dan PT Cahaya Prima Cemerlang (PT CPC) sebesar Rp 10,8 miliar. RDU menyalahgunakan wewenang karena memerintahkan panitia pengadaan menunjuk langsung PT KFTD sebagai pelaksana proyek. Tetapi, harga perkiraan sendiri yang digunakan adalah milik PT CPC. Harga itu jauh lebih rendah dari anggaran yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 29,810 miliar.
Kerugian negara pada pengadaan pertama dan kedua sebesar Rp 10,2 miliar. Pada pengadaan ketiga Rp 27,9 miliar. Pada pengadaan keempat Rp 12,3 miliar. “Sesuai laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,†kata jaksa Kadek.
Jangan Sampai Fakta Persidangan Tak Ditindaklanjuti
Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPRPolitisi Partai Gerindra Martin Hutabarat menilai, penyidikan dan persidangan kasus korupsi alkes sudah cukup signifikan.
Jangan sampai, fakta-fakta yang sudah digali tersebut, bias atau tak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
“Saya meminta seluruh fakta yang sudah ada dikembangkan secara proporsional,†katanya.
Jika ada bukti-bukti yang cukup untuk menjadikan saksi-saksi kasus ini sebagai tersangka, penyidik idealnya menindaklanjuti hal ini secara cepat.
Dengan begitu, pengusutan dan penindakan perkara menjadi berkesinambungan atau tak terhambat. Dia menyampaikan, lambannya proses penetapan tersangka kerap dijadikan momentum sejumlah kalangan untuk bermanuver.
Tak jarang, hal ini dimanfaatkan untuk melarikan diri atau melakukan tindakan inkonstitusional lainnya. Dia menambahkan, langkah tersebut kerap dilakukan setiap orang yang terpojok. Apalagi orang-orang tersebut memiliki kemampuan intelek dan finansial yang cukup.
“Hal-hal seperti ini kerap dijadikan sebagai upaya untuk menghindari jerat hukum,†tegasnya.
Kendati begitu, Martin berharap, penegak hukum yang menangani kasus ini profesional. Dia menyatakan optimismenya. Menurutnya, hakim, jaksa dan penyidik perkara ini tidak akan mudah masuk angin. Buktinya, kasus yang sebenarnya sudah lama tak kunjung selesai ini, toh bisa masuk persidangan juga.
Selain itu, jaksa dan hakim kasus ini juga sudah memanggil bekas pimpinan partai serta mengagendakan pemeriksaan bekas menteri. “Ini menunjukkan keseriusan menyelesaikan perkara,†ujar Martin.
Keterangan Saksi Penting Didengarkan Secara TerbukaIwan Gunawan, Sekjen PMHISekjen Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan berharap, persidangan kasus korupsi alat kesehatan ini mampu menyingkap keterlibatan pihak lainnya.
Selain itu, dapat menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan perkara korupsi sejenis yang belum tuntas pengusutannya di kepolisian maupun kejaksaan.
“Ada sederet nama yang diduga terkait kasus ini. Klarifikasi keterangan mereka pun menjadi penting didengar secara terbuka,†katanya.
Dengan klarifikasi di persidangan, maka hakim, jaksa, maupun penyidik akan bisa mendapat gambaran tentang perkara secara utuh.
Dari situ, penegak hukum dapat menarik kesimpulan secara proporsional. Jika memang status saksi-saksi layak ditingkatkan menjadi tersangka, hal tersebut tidak perlu disembunyikan.
“Segera putuskan status mereka sehingga ada kepastian hukum yang jelas,†tandasnya.
Masyarakat pun tidak akan bertanya-tanya atau curiga. “Kenapa si A jadi tersangka dan si B tidak,†imbuhnya.
Artinya, kata Iwan, ketegasan hakim, jaksa dan penyidik sangat diperlukan dalam menjawab persoalan ini. Jangan sampai, para pihak yang diduga terlibat perkara, tidak mendapat penindakan hukum secara adil dan proporsional. Hal tersebut dikhawatirkan memicu asumsi miring masyarakat bahwa hukum tidak mampu memenuhi rasa keadilan.
Dia memprediksi, penetapan status tersangka pada pihak rekanan Kemenkes tinggal selangkah lagi. Dakwaan dan keterangan saksi-saksi tersebut, tampaknya sudah menunjukkan sejauh mana dugaan keterlibatan saksi-saksi dalam menyusun dan mengarahkan pemenang tender proyek alkes tersebut.
“Sekarang tinggal bagaimana penegak hukum menentukan sikap atas semua fakta yang ada,â€pungkas Iwan. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: