KPK Lacak Penambahan Aset Luthfi Hasan Ishaaq

Ada Yang Belum Dimasukkan Ke LHKPN

Selasa, 02 April 2013, 09:29 WIB
KPK Lacak Penambahan Aset Luthfi Hasan Ishaaq
Luthfi Hasan Ishaaq
rmol news logo KPK terus mengembangkan kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk tersangka bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI).

Kemarin, KPK memeriksa dua saksi kasus sapi dan pencucian uang ini. Mereka adalah Branch Manager PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Kalimas, Giarti Adiningrum dan seorang karyawan swasta bernama Abdullah Sani. “Kedua saksi hadir, diperiksa untuk tersangka LHI,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, kemarin.

Johan menjelaskan, saat ini penyidik KPK masih melakukan pelacakan aset yang diduga milik LHI. “Jadi, sampai saat ini belum ada yang disita,” ucapnya.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Luthfi yang merupakan bekas anggota Komisi I DPR itu, pada 2003 memiliki total kekayaan Rp 381,1 juta.

Dengan rincian tanah  200 meter persegi dan bangunan 360  meter persegi di Kodya Jakarta Timur senilai Rp 224,1 juta dan tiga mobil total Rp 157 juta.

Tiga mobil tersebut yaitu, Opel Blazer tahun 2000 yang dibeli pada tahun  2000 senilai Rp 90 juta, mobil Peugeot tahun 1994 perolehan tahun 2001 dengan nilai jual Rp 30 juta, dan mobil Peugeot tahun 94 perolehan tahun 1999 senilai Rp 37 juta. Semua aset tersebut diperoleh dari hasil sendiri.

Pada LHKPN tahun 2009, total kekayaan Luthfi bertambah sekitar Rp 600 juta menjadi Rp 1.066 miliar. Rinciannya, harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang bertambah nilai seharga Rp 302,9 juta, dan harta bergerak berupa alat transportasi dan mesin lainnya senilai Rp 900 juta.

Pertambahan aset harta kekayaan Luthfi itu, diantaranya mobil mewah yang dibeli rentang 2003-2009 dan giro setara kas senilai Rp 3,1 juta. Mobil-mobil tersebut, yaitu Nissan Serena tahun 2004 seharga Rp 250 juta, Nissan X-Trail yang dibeli tahun 2004 senilai Rp 280 juta dan Honda CR-V th 2007 yang dibeli pada 2007 seharga 340 juta.

Sedangkan rumah yang ditempati Luthfi dan keluarganya di jalan Haji Samali, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan mobil Land Cruiser tidak dimasukkan dalam LHKPN. Rumah dua lantai di jalan Haji Samali itu berdiri di atas lahan sekitar 420 meter persegi. Rumah tersebut berpagar dinding setinggi dua meter, dilengkapi kamera CCTV.

Pengacara Luthfi, Zainuddin Paru menyatakan, rumah tersebut masih ditempati keluarga Luthfi yaitu istrinya dan anak-anaknya. Paru menyatakan, rumah tersebut tidak dimasukkan dalam LHKPN karena rumah itu dikontrak Luthfi sejak tahun 2011. “Masak rumah kontrakan dimasukkan juga,” katanya.

Sedangkan Land Cruiser, Paru menyatakan, mobil tersebut tidak dimasukkan LHKPN karena baru dibeli Luthfi pada 2011. Luthfi terpilih kembali menjadi anggota DPR pada 2009. “Jadi, itu belum dimasukkan karena belum di-update saja. Laporan terakhir kan tahun 2009,” ujarnya.

Sekadar mengingatkan, John Pieter, pengacara Elda Devianne Adiningrat, salah seorang saksi kunci kasus sapi pernah berkomentar tentang Land Cruiser yang dipakai LHI dalam safari dakwah di Medan, Sumatera Utara.

“Saat itu Elda berkomentar, ‘Pak enak gak mobilnya di pakai?’ Saat itu, Elda hanya basa-basi karena dapat info dari AF bahwa Luthfi safari dakwah pakai mobil Land Cruiser,” alasan John. Seperti diketahui, AF adalah Ahmad Fathanah, kolega Luthfi yang juga tersangka kasus sapi.

Paru mengaku, Land Cruiser tersebut dibeli Luthfi dengan uang cash senilai 50 ribu dolar Amerika Serikat. Uang tersebut, katanya, merupakan tabungan Luthfi. “Itu uang yang diperolehnya dari tabungan selama menjabat sebagai anggota DPR sejak dari 2004, dalam tugas-tugas perjalanan ke luar negeri.

Jadi, uang itu dibelikan Land Cruiser,” belanya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Luthfi sebagai tersangka kasus pencucian uang terkait kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi. “Dalam tindak pidana korupsi dengan tersangka LHI, penyidik menduga ada upaya melakukan TPPU,” ujar Johan Budi.

KPK menduga Luthfi Hasan menyamarkan, menyembunyikan dan atau mengubah bentuk kekayaan dari hasil korupsi kuota impor daging sapi. Dengan demikian, KPK menetapkan Luthfi Hasan sebagai tersangka TPPU setelah sebelumnya menetapkan Ahmad Fathanah sebagai tersangka kasus yang sama.

REKA ULANG
Satu Saksi Absen Dalam Kasus Ahmad Fathanah

Selain memeriksa saksi untuk tersangka Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), kemarin KPK juga memanggil tiga saksi untuk tersangka Ahmad Fathanah (AF) terkait kasus suap kuota impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ketiga saksi tersebut adalah pihak swasta bernama Asuan, dan  staf notaris bernama Irma Bonita dan Nuke Nurul Soraya. “Dua saksi hadir, sedangkan saksi atas nama Asuan tidak,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, kemarin.

Pada Rabu (27/3) lalu, KPK telah merampungkan dua berkas perkara kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi. Dua berkas tersebut untuk tersangka dari pihak PT Indoguna Utama, Arya Abdi Effendi (AAE) dan Juard Effendi (JE). Dari empat tersangka, dua tersangka ini kontruksi hukumnya sebagai pemberi suap.

Sementara untuk berkas perkara Fathanah dan Luthfi, KPK belum melimpahkan ke penuntutan karena masih mengembangkan kasus pencucian uang. Rencananya, KPK akan menggabungkan berkas perkara kasus suap pengurusan impor daging sapi dengan kasus pencucian uang.

Johan mengatakan, dakwaan kepada Luthfi di persidangan akan lebih banyak karena terkait tindak pidana korupsi (TPK) dan TPPU sekaligus. “Tentu itu kumulatif. Tentu dakwaan dan tuntutan itu akan lebih banyak, sama halnya dengan Wa Ode, AF, dan DS,” katanya.

KPK menyangka Luthfi menyamarkan, menyembunyikan dan atau mengubah bentuk kekayaan dari hasil korupsi kuota impor daging sapi. Dengan demikian, KPK menetapkan Luthfi Hasan sebagai tersangka TPPU berikutnya setelah Ahmad Fathanah.

Atas sangkaan tersebut, kuasa hukum Luthfi, Zainudin Paru menyatakan bahwa KPK tergesa-gesa dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka kasus TPPU. “Itu terburu-buru dan jauh dari fakta sebenarnya,” kata Paru.

Soalnya, menurut Paru, tidak ada uang atau barang yang diterima kliennya terkait kasus sapi. Katanya, belum ada peristiwa hukum yang dilakukan Luthfi yang mengarah TPPU dalam kasus dugaan suap tersebut. “Kalau TPPU tentang impor sapi, tidak ada uang atau barang yang sampai kepadanya. Tidak ada aset milik LHI dari hasil kejahatan,” klaimnya.

Johan membantah bahwa KPK tak punya bukti kuat dalam mengenakan sangkaan TPPU kepada LHI. Menurut Johan, KPK sudah menemukan alat bukti yang cukup untuk menjerat LHI dengan pasal pencucian uang. “Kami tidak terburu-buru. Penyidik temukan bukti-bukti terjadinya TPPU, maka LHI juga disangka melanggar pasal-pasal dalam Undang Undang TPPU,” katanya.

Johan menegaskan, semua bukti akan diungkap KPK di pengadilan dan nanti hakim yang memutuskan terbukti atau tidaknya. “Bukan KPK yang menentukan, bukan pengacara, tapi hakim yang menentukan,” ujarnya.

KPK menetapkan bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka kasus pencucian uang terkait kasus suap kuota impor daging sapi. “Dalam tindak pidana korupsi dengan tersangka LHI, penyidik menduga ada upaya melakukan TPPU,” ujar Johan pada Selasa (26/3) lalu.

Sebelumnya, KPK telah melakukan pelacakan aset Luthfi. “Tentu kita kembangkan terus apakah ada pihak lain yang juga terlibat,” kata Johan.
 
Menurutnya, pelacakan aset tak hanya dilakukan kepada Luthfi, tapi juga kepada semua tersangka kasus korupsi. Kata dia, siapa saja yang ikut menyamarkan atau menyembunyikan hasil dari tindak pidana korupsi, bisa dijerat dengan Undang Undang Nomor 8 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun sampai saat ini, KPK belum menemukan keterlibatan pihak lain.

Tidak Fokus, KPK Bisa Capek Sendiri

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Politisi PAN Yahdil Abdi Harahap mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja profesional dalam mengusut semua kasus korupsi, termasuk kasus pencucian uang dengan tersangka Luthfi Hasan Ishaaq (LHI).

Menurut Yadhil, jika KPK mempunyai bukti yang cukup untuk menjerat bekas Presiden PKS itu dengan pasal pencucian uang, maka KPK harus segera melakukan penyitaan terhadap aset-aset yang diduga milik LHI yang diperoleh dari hasil kejahatan. Seperti yang dilakukan KPK terhadap tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) lainnya.

Yadhil mengingatkan, belum adanya penyitaan terhadap aset LHI dalam kasus tersebut bisa menjadi bumerang bagi KPK. “Publik jadi bertanya, ada apa ini sebenarnya. Di masyarakat akan berkembang asumsi-asumsi yang berdampak negatif terhadap KPK,” kata Yadhil, kemarin.

Karena itu, anggota Komisi III DPR ini menyarankan agar KPK lebih dahulu fokus untuk menyelesaikan kasus suap kuota impor daging sapi. Menurut dia, kasus pencucian uang merupakan kasus yang sangat kompleks dan rumit dalam penelusuran maupun pembuktiannya. Dia khawatir, jika ngotot membarengkan berkas penuntutan kasus suap dengan kasus TPPU, KPK akan kelelahan sendiri dan justru tidak mendapatkan hasil optimal. “Untuk kasus suap LHI itu KPK akan sangat susah membuktikan. Trading influence (menjual pengaruh) saja bagaimana membuktikannya. Akan sangat susah, apalagi ditambah kasus pencucian uang,” paparnya.

Jika  sudah bisa membuktikan kasus suap LHI, lanjut Yadhil, maka KPK bisa lebih leluasa menelusuri aset dan mengembangkan siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut. Kata dia, jika tidak bisa melakukan penuntutan berbarengan, KPK bisa melakukan penyidikan kasus pencucian uang kemudian hari setelah kasus primernya terbukti. “Tapi ini tidak. KPK sepertinya mau kejar tayang. Tambah kerjaaan sendiri,” tandasnya.

Tinggal Dari Eksekutif Yang Belum Tersangka

Boyamin Saiman, Koordinator MAKI

Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Menurut dia, dengan pasal tersebut, KPK bisa melakukan penelusuran dan melakukan penyitaan terhadap aset bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang disangka KPK diperoleh dari hasil korupsi itu.

Selain itu, Boyamin juga meminta KPK agar menelusuri pihak-pihak yang diduga ikut serta dalam melakukan tindak pidana pencucian uang ini. Dia yakin, dengan ditelusurinya kasus tersebut, KPK bisa melacak adanya kasus lain. “Patut diduga ada tindak korupsi lain selain kasus pengurusan kuota impor daging sapi,” tandasnya.

Akan tetapi, Boyamin mewanti-wanti KPK agar tidak melupakan kasus primernya, yakni perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi. Menurut dia, dengan hanya menetapkan empat tersangka, KPK belum tuntas dalam menangani kasus tersebut.

“Ada pihak swata, ada pihak legislatifnya, tinggal pihak eksekutifnya,” kata dia.

Sebab itu, lanjut Boyamin, KPK seharusnya tidak hanya memfokuskan pemeriksaan kepada keempat tersangka, tapi juga mendalami pemeriksaan ke proses pemberian kuota impor daging sapi dari pihak Kementerian Pertanian ke pihak importir.

Menurut dia, dengan mendalami proses tersebut, bisa diketahui siapa saja yang terlibat “pat gulipat” guna mendapatkan jatah kuota impor. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA