Hanya Diperiksa 2,5 Jam, Irgan Ngaku Bukan Pelobi

KPK Panggil Saksi Baru Kasus Suap DPID

Jumat, 29 Maret 2013, 09:32 WIB
Hanya Diperiksa 2,5 Jam, Irgan Ngaku Bukan Pelobi
Irgan Chairul Mahfiz
rmol news logo Setelah Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Tjatur Sapto Edy, kemarin giliran Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz dan anggota Komisi IV DPR Hendra Singkaru diperiksa penyidik KPK.  

Mereka dipanggil sebagai saksi kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) untuk tersangka Andi Haris Surahman. Haris adalah kader Golkar yang disangka sebagai perantara suap dari terpidana Fahd A Rafiq ke terpidana Wa Ode Nurhayati.

Irgan tiba di Gedung KPK sekitar pukul 10 pagi. Mengenakan kemeja biru dan kacamata, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini enggan berkomentar. Ia hanya melambaikan tangannya sambil bergegas masuk lobi Gedung KPK.

Irgan diperiksa hampir 2,5 jam. Pukul 12.20 siang, ia keluar dari Gedung KPK. Saat ditanya soal pemeriksaannya, Irgan mengaku hanya membantu melengkapi keterangan yang diperlukan KPK. Menurut Irgan, pemeriksaannya itu untuk mengklarifikasi terkait namanya yang pernah disebut-sebut dalam persidangan oleh salah satu terpidana, yakni Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq. “Saya kan diundang untuk mengklarifikasi, ya sudah, saya jelaskan,” katanya sambil melangkah keluar dari Gedung KPK, kemarin.

Disinggung mengenai tudingan Fahd bahwa dirinya termasuk anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR yang jago lobi dalam mengurus anggaran, Irgan membantahnya. “Kalau jago, nggak akan diperiksa sedemikian singkat,” katanya, sambil bergegas masuk mobil Toyoya Alphard hitam. Irgan juga membantah telah mendapat tawaran dari Haris untuk mengurus proyek DPID. “Gak ada, gak ada,” akunya.

Sekadar mengingatkan, nama Irgan pernah disebut Fahd dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Fahd mengaku, sebelum dirinya bekerja sama dengan Wa Ode dalam proses alokasi DPID, dia pernah dikenalkan kepada Irgan oleh Haris Surahman.

Namun, karena Irgan dinilai kurang handal, akhirnya Haris memilih Wa Ode untuk membantu meloloskan alokasi DPID tahun anggaran 2011. Menurut Haris, meski Irgan hebat dalam melobi, Wa Ode lebih sakti dalam mengurus DPID.

“Waktu itu Haris pertama bilang Pak Irgan PPP. Dia bilang ini sakti bos buat urus itu (DPID). Ternyata Irgan slotnya sudah penuh, kita ganti orang lagi (Wa Ode), ini lebih sakti bos,” tutur Fahd saat memberikan kesaksian untuk terdakwa Wa Ode di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa 17 Juli 2012.

Sehari sebelum Irgan dimintai keterangan, Ketua Fraksi PAN Tjatur Sapto Edy diperiksa KPK dalam kasus yang sama. Tjatur diperiksa selama tiga jam.

Seusai diperiksa, Tjatur yang mengenakan batik warna coklat membantah mengenal tersangka Haris.

Tjatur mengatakan, dalam menugaskan Wa Ode sebagai anggota Banggar, dia tidak pernah melakukan koordinasi mengenai kasus DPID. Baik di dalam partai maupun di luar partai.

“Gak ada, udah itu aja ya. Memang gak ada,” ujarnya, sambil meninggalkan Gedung KPK dan masuk ke mobil Toyota Kijang Inova B 1606 SKZ.

Jika ditanya soal itu saja, kenapa lama? Tjatur menjelaskan, seusai diperiksa, ia mendengarkan masukan dari penyidik soal fasilitas gedung yang kurang.
“Saya cuma terima masukan saja dari penyidik. Soal gedung yang kurang, soal fasilitas yang kurang,” tandasnya.

KPK sebelumnya juga telah memanggil saksi-saksi dari kalangan anggota DPR dalam kasus suap senilai Rp 6,7 miliar ini. Diantara anggota DPR yang pernah dipanggil yakni, bekas pimpinan Banggar DPR Olly Dondokambey, Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Wa Ode Nurhayati, Anis Matta dan Tamsil Linrung.

Dalam kasus suap pengurusan DPID ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yaitu Wa Ode Nurhayati, Fahd El Fouz dan Haris. Wa Ode divonis 6 tahun penjara dan mengajukan banding. Sedangkan Fahd divonis 2,5 tahun penjara, dan saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Haris masih berstatus tersangka.

Haris ditetapkan sebagai tersangka pada November tahun lalu. Dalam persidangan terdakwa Fahd dan Wa Ode tergambar, Haris berperan sebagai penghubung Fahd dengan Wa Ode.

Fahd meminta tolong kepada Haris agar dikenalkan kepada anggota Banggar untuk untuk memasukkan tiga kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya dan Bener Meriah sebagai penerima DPID.

REKA ULANG
Berebut Fee Pencairan Anggaran DPID

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa sejumlah saksi kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Mulai dari pimpinan DPR, pimpinan dan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR sampai Pemerintah Daerah (Pemda) penerima alokasi DPID.

Pada Selasa (26/3), KPK memanggil tiga saksi kasus tersebut. Tiga saksi yang dipanggil adalah bekas Bupati Aceh Besar Anwar Ahmad, bekas Bupati Bener Meriah Tagore Abu Bakar dan Bupati Pidie Jaya Gede Salam.

“Bupati Aceh Besar Anwar Ahmad hadir, sementara yang lain tidak hadir,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, Jakarta.

Johan mengatakan, pemeriksaan tersebut antara lain untuk memvalidasi keterangan mengenai beberapa anggota DPR yang mendapatkan fee dalam mengurus pencairan anggaran DPID untuk tiga kabupaten di Provinsi Aceh.

Bupati dan dua bekas bupati yang diperiksa KPK itu, merupakan bupati dari kabupaten yang mendapatkan jatah DPID.

Johan mengatakan, belum ada tersangka baru dalam kasus tersebut. Saat ini, KPK masih mengembangkan apakah ada pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut.  Dalam perkara DPID, beberapa nama politisi dari beberapa partai politik diduga terlibat.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Fahd A Rafiq mengungkapkan, beberapa anggota DPR bersaing mengurus pencairan anggaran DPID untuk tiga kabupaten di Provinsi Aceh. Fahd pun mengakui memberikan uang Rp 6,7 miliar kepada Wa Ode Nurhayati selaku anggota Banggar DPR, melalui perantara Andi Haris Surahman.

Pada Jumat (15/3), KPK memeriksa Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Tamsil Linrung. Tamsil datang ke Gedung KPK pukul 9.30 pagi. Mengenakan batik warna coklat, politisi asal PKS ini tampil rapi dan tenang. Sebelum masuk Gedung KPK, Tamsil menjelaskan bahwa setiap anggota Banggar DPR punya hak untuk mengusulkan alokasi anggaran.

“Anggota Dewan ketika mengusulkan itu punya hak, malah disumpah. Ketika mengalokasikan dan kemudian minta fee (komisi), itu yang salah. Pokoknya buktikan sajalah. Kami menjalankan fungsi budgeting-nya, melakukan pengalokasian tidak ada yang salah, boleh mengusulkan karena itu clear,” kata Tamsil sebelum masuk Gedung KPK.

Tamsil menantang KPK untuk membuktikan fee kasus DPID yang menurut Wa Ode, mengalir ke pimpinan Banggar. kata dia, seharusnya yang terungkap menerima fee yang ditahan, bukan anggota DPR yang melaksanakan tugasnya. “Yang terungkap itulah yang ditangkap, ini buktinya ada yang sudah ditahan di penjara sana,” ujarnya.

Namun, Tamsil mengakui memang ada kode-kode yang terkait pimpinan Banggar.

Pengalokasian itu diusulkan fraksi melalui komisi, kemudian diusulkan anggota karena memang ada diskresi anggota untuk dapat mengusulkan. Ketika penerima DPID ada yang bukan daerah tertinggal, Tamsil beralasan, hal tersebut karena ada sistem cluster dan karena tidak ada proposalnya.

Saat ditanya apakah mengenal tersangka Haris, Tamsil mengakuinya. Menurut dia, Haris yang melaporkan anggota Banggar DPR Wa Ode Nurhayati ke pimpinan Banggar. Haris melaporkan Wa Ode dengan tuduhan menerima komitmen fee pengalokasian DPID.

KPK Kesulitan Mengumpulkan Alat Bukti
Yuna Farhan Shira, Sekjen FITRA

Sekjen LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan Shira mempertanyakan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini belum menetapkan tersangka baru kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

Terutama tersangka dari kalangan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Menurut dia, terpidana Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta menyebutkan, ada anggota Banggar rebutan mengalokasikan DPID.

“Saya lihat KPK seperti kesulitan mengumpulkan alat bukti. Padahal fakta di persidangan sudah jelas dan bisa dijadikan alat bukti untuk menjerat tersangka lain,” kata Yuna.

Yuna berharap, Wa Ode Nurhayati bukan orang terakhir yang dijadikan terpidana dari pihak Banggar dalam kasus tersebut. Menurut Yuna, dalam mengesahkan alokasi DPID, Banggar memutuskan secara bersama-sama. Apalagi, Wa Ode juga telah menyebut adanya aliran dana ke pimpinan Banggar.

Yuna menduga, alasan belum diseretnya pihak lain dalam kasus tersebut karena KPK ingin menjerat satu-satu. “Sepertinya KPK ingin menangkap satu-satu untuk dijadikan tersangka. Tapi justru dengan cara seperti itu, KPK akan kesulitan dan waktunya lama,” ucapnya.

Selain memeriksa kalangan Banggar, Yuna juga meminta KPK untuk memeriksa pihak kepala daerah yang menerima alokasi DPID. Setelah memeriksa pihak kepala daerah tersebut, lanjut Yuna, KPK bisa memeriksa motif pemberian alokasi DPID tersebut. “Apakah ada deal-deal dalam pemberian itu atau tidak,” ujarnya.

Selain itu, untuk mengungkap apakah alokasi tersebut sudah sesuai prosedur atau tidak. “Soalnya, ada juga daerah tertinggal yang tidak mendapat jatah DPID,” tandasnya.

Kasus DPID Rumit, Kita Tunggu Hasilnya

Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Deding Ishak meminta Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) bekerja profesional dan proporsional dalam menangani kasus suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

Deding menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada KPK. “Kita serahkan kepada KPK agar bisa bekerja. Lalu kita tunggu hasilnya,” kata Deding, kemarin.

Meski begitu, Deding meminta KPK agar menelusuri setiap informasi yang ada.

Menurut dia, KPK diberikan amanah dan kewenangan oleh undang-undang untuk menelusuri informasi. Apalagi informasi itu datang dari persidangan.

Deding menilai, jika proses penyidikan kasus DPID terkesan tersendat-sendat,  karena KPK sibuk mengumpulkan alat bukti. “Beri kesempatan KPK untuk bekerja. Birkan mereka melakukan penyidikan, karena kasus ini kasus rumit,” ujarnya.

Mengenai desakan kepada KPK agar segera menetapkan tersangka baru kasus tersebut, politisi Partai Golkar ini meminta KPK tetap bersandar pada alat bukti. Jika alat bukti belum mencukupi, jangan terburu-buru menetapkan tersangka baru. “Kalau memang belum ada, jangan buru-buru. Tapi kalau sudah cukup dan lengkap, jangan ditunda-tunda,” ujarnya.

Menurut Deding, kasus DPID merupakan salah satu perkara yang mendapat sorotan publik. Apalagi, kasus tersebut menyeret anggota Banggar DPR Wa Ode Nurhayati sebagai terpidana. Lantaran itu, kecepatan dan kejelian dalam mengusut kasus tersebut akan berdampak pada citra KPK sendiri. Jika dalam menyelesaikan kasus tersebut, KPK bisa bekerja secara profesional dan proporsional, maka dukungan publik kepada KPK akan tinggi. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA