Penyidik KPK Belum Tetapkan Tersangka Baru Kasus Deplu

Setelah Tiga Manager Hotel Dipanggil Sebagai Saksi

Senin, 18 Maret 2013, 09:08 WIB
Penyidik KPK Belum Tetapkan Tersangka Baru Kasus Deplu
Komisi Pemberantasan Korupsi
rmol news logo .Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan saksi kasus korupsi pengelolaan dana sidang internasional Departemen Luar Negeri.

Kali ini giliran tiga bos hotel yang dipanggil sebagai saksi, ya­itu General Manager (GM) Grand Hyatt Jakarta, GM Hotel Atlet Century Park dan GM Inter­con­tinental Jakarta Midplaza Hotel. Tiga saksi itu dipanggil sebagai saksi bagi tersangka Sudjadnan Par­nohadiningrat (SP), bekas Sekretaris Jenderal Deplu.

“Ketiganya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SP,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, Ja­lan Rasuna Said, Kuningan, Ja­karta Selatan, Jumat (15/3).

Dia tak menjelaskan alasan, ke­na­pa tiga bos hotel itu tidak di­se­butkan namanya ke publik. “Ha­nya disebut jabatannya. Pe­nyidik yang lebih tahu untuk itu,” ujarnya.

Dalam pemeriksaan tersebut, bos Hotel Grand Hyatt Jakarta ti­dak bisa memenuhi panggilan. Sedangkan dua saksi lain datang ke Gedung KPK. Johan pun tidak memberikan keterangan alasan ketidakhadiran bos hotel yang berlokasi di dekat Bundaran Ho­tel Indonesia itu.

Menurut Johan, penyidik ma­sih melengkapi berkas pe­me­rik­saan kasus yang merugikan ne­ga­ra Rp 18 miliar itu. KPK juga be­lum menetapkan pihak lain yang diindikasikan terlibat da­lam kasus tersebut. “Belum ada gelar per­kara lagi. Penyidik ma­sih fo­kus untuk menyelesai­kan berkas per­kara untuk ter­sangka SP,” ucapnya.

Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa beberapa saksi dari pi­hak duta besar, pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan De­partemen Luar Negeri (kini Ke­menterian Luar Negeri) maupun anggota DPR.

Awal Januari lalu, KPK me­me­­riksa Duta Besar Indonesia untuk Rusia Djauhari Orat­ma­ngun. Se­belumnya, KPK me­me­riksa Duta Besar Indonesia un­tuk Kanada, Dienne Hardianti Moehari. Djau­hari dan Dienne diperiksa karena dianggap tahu seputar pen­ye­lenggaraan sidang internasional sepanjang 2004 hingga 2005 itu.

KPK juga pernah memeriksa bekas Menteri Luar Negeri Has­san Wirajuda dan musisi Erwin Gu­tawa sebagai saksi. Hassan di­periksa selama 8 jam di Gedung KPK.

Seusai pemeriksaan, Has­san mengaku ditanya alasan ke­napa Kemenlu sering me­nga­da­kan konferensi internasional se­panjang 2004-2005. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, Ke­menlu melaksanakan 15 hingga 17 konferensi internasional.

Hassan menjelaskan, kondisi In­donesia saat itu terpuruk, se­hingga membutuhkan dukungan internasional. Hasan mengaku tak tahu menahu mengenai ada­nya praktik korupsi.

“Saya sa­m­pai dengan ditemu­kan­nya proses intern, jadi dua ta­hun kemudian baru saya me­nge­tahui ada pe­langgaran,” katanya.

Hassan mengaku penggunaan anggaran konferensi inter­na­sio­nal itu sudah diaudit badan pe­nga­wasan internal maupun lem­baga pengawasan pemerintah. “Pengawasan intern yang dila­ku­kan Inspektorat Jenderal, tapi ada juga pengawasan pemerintah ya­itu audit BPKP. Kita tidak boleh berprasangka ada korupsi, tapi sampai ditemukan kita baru tahu,” katanya.

Kasus ini naik dari tahap pe­nye­lidikan ke penyidikan pada No­vember 2011.

Sudjadnan kem­bali menjadi tersangka, setelah se­belumnya terjerat kasus ko­rup­si yang lain. Dalam penyidikan kasus ini, KPK menetapkan Sudjadnan selaku bekas Sekjen Deplu sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen sebagai tersangka. KPK menyangka Sudjadnan me­nyalahgunakan wewenang ketika menjabat sebagai Sekjen Deplu.

Penyalahgunaan wewenang itu terkait dengan sejumlah ke­giatan di Deplu, antara lain se­minar dari kurun waktu 2004-2005. KPK menyangka ada se­lisih peng­gu­na­an anggaran, se­hingga merugikan negara hingga Rp 18 miliar.

KPK menjerat Sudjadnan de­ngan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 ta­hun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Reka Ulang
Dari Proyek KBRI Hingga Seminar Internasional

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami kasus korupsi pengelolaan dana kegia­tan sidang internasional di De­partemen Luar Negeri (kini Ke­menterian Luar Ne­geri). Pada 16 Januari 2013, KPK kembali me­manggil bekas Sek­retaris Jen­deral Deplu Sud­jadnan Parnoha­diningrat yang telah ditetapkan sebagai ters­ang­ka kasus tersebut.

“SP diperiksa sebagai ter­sang­ka,” kata Kepala Bagian Pem­be­ritaan dan Informasi KPK, Pri­harsa Nugraha, Rabu (16/1) lalu.

Sudjadnan telah beberapa kali diperiksa KPK terkait kasus ini. Selain Sudjadnan, KPK juga te­lah memanggil sejumlah nama da­lam kapasitas sebagai saksi. Be­berapa saksi yang telah di­pang­gil untuk diperiksa antara lain be­kas Menteri Luar Negeri Has­san Wirajuda, Duta Besar untuk Ka­nada Dienne Hardianti Moe­hari, Duta Besar untuk Rusia Djo­hauri Oratmangun serta mu­sisi Erwin Gutawa.

Sudjadnan yang merupakan bekas Duta Besar untuk Amerika Serikat ini, disangka KPK me­nya­lahgunakan wewenangnya se­bagai Pejabat Pembuat Ko­mit­men (PPK) yang mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp 18 miliar. Penyalahgunaan we­we­nang itu berkaitan dengan se­jum­lah ke­giatan di Departemen Luar Ne­geri, antara lain  seminar yang di­lak­sa­nakan pada 2004 hingga 2005.

Sudjadnan bukan hanya di­sangka korupsi pengadaan se­minar. Sebelumnya, Sudjadnan telah dibawa KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena kasus korupsi lain.

Menurut majelis hakim, Sud­jad­nan terbukti melakukan ko­rup­si proyek perbaikan gedung kantor Kedutaan Besar Re­pub­lik Indonesia (KBRI), Wisma Duta Besar, Wisma DCM dan ru­mah-rumah dinas KBRI di Si­ngapura pada tahun 2003.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun 8 bulan penjara kepada Sudjadnan dalam kasus korupsi yang terjadi pada kurun 2003 hingga 2004 ini.

“Terdakwa dihukum penjara satu tahun delapan bulan dan denda Rp 100 juta subsider dua bu­lan kurungan,” kata Ketua Ma­jelis Hakim Jupriyadi saat mem­ba­cakan vonis di Penga­dilan Ti­pi­kor Jakarta, Selasa (18/1/2011).

Vonis ini lebih rendah dari tun­tutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman tiga tahun pen­jara. JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.

Menurut majelis hakim, Sud­jad­nan terbukti menyetujui pe­nge­luaran anggaran untuk reno­vasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada perset­u­juan dari Menteri Keuangan.

Se­lain itu, dia terbukti telah me­ne­ri­ma uang sebesar 200 ribu dolar AS atau setara Rp 1,8 miliar dari bekas Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mochamad Slamet Hidayat.

Penyuapan itu terjadi dalam ku­run waktu Agustus 2003 sam­pai September 2004, ketika Sla­met Hidayat masih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dan Sudjadnan Sekjen Deplu. Ber­kaitan dengan pemberian ter­sebutlah, Sudjadnan mencairkan dana renovasi di lingkungan Ke­du­bes RI untuk Singapura se­belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Sejumlah proyek perbaikan ge­­dung di wilayah KBRI Si­ngapura itu tanpa melalui proses pe­le­langan, tanpa proses nego­siasi harga dan tidak membuat gambar rencana dan rincian item peker­jaan. Akibat per­bua­tan ini, negara dirugikan sebesar Rp 8,4 miliar.

Majelis memutus, terdakwa te­lah melanggar Pasal 3, junto Pasal 18 Undang Undang Tipikor Nomor 20 tahun 2001, junto Pa­sal 56 ke-2 KUHP.

Publik Pasti Heran, KPK Kok Seperti Berjalan Di Tempat

Boyamin Saiman, Ketua MAKI

Ketua LSM Masyarakat An­tikorupsi Indonesia (MAKI) Bo­­yamin Saiman heran, kenapa Komisi Pemberantasan K­o­rupsi (KPK) belum juga me­nye­le­sai­kan kasus korupsi pe­ngelolaan dana sidang inter­na­sional di De­partemen Luar Ne­geri (kini Ke­menterian Luar Ne­geri).  Pa­dahal, kasus ter­se­but sudah ha­mpir dua tahun be­rada di meja pe­nyidik KPK.

“Publik jadi bertanya, untuk kasus ini, KPK sebenarnya be­kerja atau tidak,” ujar Boyamin.

Dia menilai, KPK tidak se­rius dalam mengungkap kasus yang merugikan negara Rp 18 miliar itu. Menurut Boyamin, sebaiknya KPK jangan hanya melihat besar kecil kerugian negara dalam mengusut se­buah kasus.

Jika kasusnya besar dan me­nyita perhatian publik seperti kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di K­eme­n­tan, lanjut Boyamin, KPK ter­lihat giat dan cepat dalam me­nyelesaikannya. Sedangkan da­lam menyelesaikan kasus yang tidak menjadi perhatian publik, KPK berjalan lambat. “Malah KPK seperti terlihat jalan di tem­pat,” sindirnya.

Boyamin juga heran kenapa KPK belum menetapkan ter­sangka lain dalam kasus ter­se­but. Padahal, lanjut Boyamin, tindak pidana korupsi biasanya dilakukan bersama-sama. Se­lain pihak internal Departemen Luar Negeri, diduga ada pihak eksternal yang memuluskan ter­jadinya tindak pidana ko­rupsi. “Kewajiban KPK untuk menelusuri siapa pihak-pihak lain itu untuk segera ditetapkan jadi tersangka,” ucapnya.

Dalam mengusut perkara ko­rupsi seperti ini, ingatnya, di­per­lukan komitmen dan ke­pro­fesionalan KPK untuk segera menjerat tersangka lainnya. “Dengan bukti-bukti yang te­lah mereka kumpulkan, bisa se­gera menetapkan tersangka lain,” ucapnya.

Kecil Kemungkinan Tersangka Dari Deplu Beraksi Sendirian
Desmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Des­mond J Mahesa meminta KPK bersikap profesional me­ngusut kasus korupsi di De­par­temen Luar Negeri. Ia berharap KPK segera mendapatkan alat bukti baru agar bisa me­ne­tap­kan tersangka baru kasus tersebut.

Menurutnya, kecil ke­mung­kinan bekas Sekjen Deplu Sud­jadnan Parnohadiningrat me­la­kukan korupsi sendirian. “Ba­gaimana mungkin mengurus dan mengatur seminar seorang diri,” ucap politisi Partai Ge­rindra ini.

Pengumpulan berkas perkara yang berlarut-larut, lanjut Des­mon, bisa menyebabkan ke­percayaan publik kepada KPK menurun. “Menjadi pertanyaan publik, ada apa ini, kok pe­ngusutannya berjalan lama,” tandasnya.

Desmond menyampaikan, KPK harus mengusut kasus ini secara tuntas dan utuh. Di­an­taranya memeriksa saksi-saksi yang mengetahui kasus ini. Baik dari pihak Kementerian Luar Negeri maupun pihak eksternal guna menelusuri du­gaan adanya pihak-pihak lain yang terlibat kasus ini.

Menurut Desmond, publik akan menilai bahwa Sudjadnan adalah pihak yang dikorbankan karena hanya satu-satunya ter­sangka kasus ini. “Karena tak mungkin mengurus seminar dan menggelapkan dana itu sen­dirian,” tandasnya.

Ia juga meminta KPK agar pro­ aktif menelusuri dugaan ko­rupsi di Kemenlu.

Pasalnya, se­lain ditetapkan sebagai te­r­sangka kasus pengelolaan dana sidang dan seminar, Sudjadnan telah divonis dalam kasus ko­rupsi lain di Kementerian Luar Negeri.

“Jika sudah me­ne­mu­kan in­dikasi adanya korupsi dalam ka­sus lain, KPK wajib mene­lu­su­rinya,” kata Desmon. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA