Kartu Jakarta Sehat (KJS) Rawan Jebol Kocek Pemda

Sabtu, 16 Maret 2013, 08:59 WIB
Kartu Jakarta Sehat (KJS) Rawan Jebol Kocek Pemda
ilustrasi, Kartu Jakarta Sehat
rmol news logo Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bermasalah di lapangan. Buruknya sarana dan prasarana rumah sakit dan pengawasan menjadi titik lemah pelaksaan KJS.

Pengamat kebijakan publik Uni­versitas Trisakti Yayat Su­priat­na menilai, program KJS  te­lah me­nim­bulkan sejumlah ma­salah. Se­tidaknya ada em­pat ma­­­sa­lah men­dasar pro­gram KJS.

Pertama, masalah penga­wa­san. Lemahnya pengawasan mem­­buat peng­­gu­naan KJS kerap salah sa­saran.

KJS, kata dia, membuka ce­lah di­gu­nakan orang mampu. “Aki­bat pengawasan lemah, KJS itu bisa di­pindah tangan, yang akhir­nya ti­dak tepat sasaran,” ka­tanya, kemarin.

Kedua, masalah anggaran. Peng­gunaan KJS bisa mengaki­bat­­kan alokasi anggaran kese­ha­tan pemerintah DKI Jakarta jebol.

Pasalnya, penggunaan KJS yang berlebihan dan me­lam­paui batas mengakibatkan beban pemerin­tah DKI Jakarta untuk menalang­inya menjadi tinggi. “Ini bisa mengakibat­kan angga­ran jebol,” ujarnya.

Ketiga, masalah sosial. Kata dia, KJS bisa memanjakan war­ga. Karena pola pikir masya­rakat de­ngan adanya program KJS men­jadi berbeda. Sebelum ada KJS, orang berpikir seribu kali un­tuk dirawat. Setelah mem­punyai KJS dan syaratnya mu­dah, orang yang awalnya tidak per­lu dirawat ma­lah pingin di­ra­wat. Hal ini tentu bisa ber­pe­nga­ruh pada anggaran.

“Hal-hal kecil seperti ini yang perlu diperhatikan. Bisa-bisa peng­­gunaan KJS berlebihan. Kartu sehat seharusnya untuk men­dorong orang hidup se­hat. Cara hidup orang harus beru­bah,” katanya.

Keempat, masalah etika. Dia menilai masalah ini harus dicer­mati dengan baik. Jika tidak diawasi, penerapan KJS akan membuat persepsi masyarakat tentang ke­sehatan menjadi serba gratis.

“Bu­­daya dan tanggung jawab un­tuk hidup sehat dari masyara­kat bisa menurun, karena adanya KJS,” ingatnya.

Anggota Pengurus Harian Ya­yasan Lembaga Konsumen Indo­nesia, Tulus Abadi mengkritik program KJS. Pasalnya, pemerin­tah DKI tidak menerapkan mela­kukan sosialisai KJS ke rumah sakit sebagai mitra.

Kata dia, dari 88 rumah sakit yang memiliki kesepahaman de­ngan Dinas Kesehatan DKI, ma­yoritas belum mengetahui secara baik prosedur dan siste­matika KJS.

“Ini program tak matang. koor­dinasi Dinas Kesehatan dengan Rumah Sakit buruk,” kritiknya, kemarin.

Pendapat berbeda diungkapkan Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning. Menurutnya, program yang diusung Jokowi tersebut positif. Hanya saja perlu sedikit perbaikan agar bisa terlaksana secara baik.

Ribka menilai, mandeknya pe­laksaan KJS banyak disebabkan ketidakpahaman rumah sakit dalam melayani pasien. Ia me­lihat, masih banyak rumah sa­kit yang nakal dan tidak bertang­gung jawab, tega menolak pasien pengguna KJS.

“Di samping itu, memang ma­sih banyak fasilitas rumah sakit yang kurang. Terutama kamar pasien,” katanya.

Saran politisi PDIP ini, peme­rintah DKI tetap melanjutkan pro­gram KJS. Pemda tidak perlu ‘ke­bakaran jengot’ dikritik banyak pi­hak terkait pelaksanaan KJS. “Pro­gram ini menunjukan pe­me­rin­tah DKI memperhatikan ke­se­hatan masyarakat,” pung­kasnya.

Mimin, Ada Pasien KJS Dicuekin

Pengguna KJS ini bilang, petugas rumah sakit kerap memberikan perhatian seadanya kepada pasien yang menyodorkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) saat ingin menda­patkan fasilitas dan layanan kesehatan.

“Coba saja pakai KJS ke rumah sakit. Waktu pendaftaran, baru dikasih surat KJS sudah kelihatan perubahan ekspresi petugasnya,” ungkap Mimin (41), warga RT 02 RW 10 Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

Pengalaman berkali-kali men­dampingi pasien KJS membuat wanita ini mafhum, ada sikap yang berbeda terhadap mereka yang mendatangi rumah sakit berbekal KJS.

“Kata ditolak tidak pernah disam­paikan langsung. Tapi, dari pelayanan dan cara pe­nanganan suster-susternya, kami jadi tahu, kami berbeda,” ujar Mimin.

Walaupun sama-sama berstatus pasien, ada sikap berbeda yang diterima pasien dengan KJS dan pasien non-KJS. “Untuk tebus obat di apotek, saya harus tunggu dari jam 11 sampai jam 3 sore. Itu pun karena saya coba tiga kali tanya ke petugasnya. Ibu tua di sam­ping saya malah sudah tung­gu sejak jam 9 pagi. Hitung saja su­dah berapa lama dia di situ hanya untuk nungguin obat,” tutur Mimin, mengisahkan apa yang dialaminya pekan lalu.

Joko Widodo, Kita Akan Koreksi Dan Evaluasi

Gubernur DKI Jakarta ini ber­janji, akan mengevaluasi Kar­tu Jakarta Sehat (KJS) akhir Ma­ret ini.  Selain itu, akan mela­ku­kan uji publik.

“Nanti tanggal 27 Maret akan dievaluasi,” kata Jokowi di Ba­laikota DKI Jakarta, kemarin.

Menurutnya, Pemda akan me­ngundang dokter, pasien dan Lem­baga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam proses evaluasi ter­sebut. â€Kami akan perbaiki dan benahi KJS,” katanya.

Jokowi menyebut, evaluasi ber­pangkal pada masalah yang se­ring dikeluhkan warga, seperti dis­­tribusi fasilitas dan jasa. “Da­lam sistem baru pasti ada keku­ra­ngan, dan itu perlu koreksi serta evaluasi,” katanya.

Dia yakin, program yang ke­luar pada 10 November 2012 itu, akan lebih baik dalam waktu enam bulan, dan dijanjikannya menjadi lebih sempurna.

Perlu diketahui, APBD DKI 2013 menyiapkan dana Rp 1,2 triliun untuk menopang program ini. KJS diluncurkan Jokowi pertama kali pada 10 November 2012. Dengan kartu ini, seluruh war­ga ber-KTP DKI bisa men­dapat layanan kesehatan gratis di Puskesmas, dan rawat inap di kelas III rumah sakit yang bekerja sama.

Targetnya, 4,7 juta warga DKI yang masuk kategori mis­kin. Namun, di tengah berja­lan­nya program ini, KJS memicu me­lonjaknya jumlah pasien di rumah sakit mencapai 70 persen. Bun­tutnya, ruang-ruang rawat inap menjadi penuh dan banyak warga tak tertampung.

Menurut dia, melonjaknya pa­sien di rumah sakit salah satu­nya dipicu perilaku masyarakat yang meloncati mekanisme program KJS. Apalagi semua warga peme­gang KJS dapat ke rumah sakit dengan bekal surat rujukan dari puskesmas.

Namun, hal itu tak diindahkan. Masyarakat mencari cara untuk langsung mendapatkan layanan ru­mah sakit tanpa membawa su­rat rujukan dengan cara datang ma­lam hari dan memberi alasan puskesmas sudah tutup.

Nafsiah Mboi, Harus Diperbaiki, Karena Warga Masih Banyak Yang Ngomel


Menteri Kesehatan ini meng­kritik pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) oleh Gu­bernur DKI Jakarta Joko Wido­do. Kartu tersebut dinilai masih memiliki masalah dalam hal jumlah dan sistem penerapan­nya.

“Masyarakat saja masih ngo­mel, jelas masih harus terus diperbaiki,” katanya di Jakarta, kemarin.

Dia menyatakan, dalam pe­nerapan KJS, pemerintah dae­rah hendaknya menyam­paikan informasi yang lebih baik dan detail. Perspektif masyarakat bah­wa KJS adalah jaminan obat gratis, kerap men­jadi persoalan karena pada ke­nyatannya tidak gratis untuk se­mua penyakit. “Ini seperti asu­ransi, ketika sehat bayar dan keti­ka sakit ada biaya untuk obat.”

Nafsiah juga meminta Pe­merintah Daerah DKI Jakarta gencar mempromosikan tent­ang hidup sehat. Dengan be­gitu, diharapkan jumlah orang sakit bisa ditekan. Selain itu, ka­ta Nafsiah, diperlukan sosia­li­sasi pemahaman pelayanan kese­hatan dasar.

KJS belakangan disorot kare­na ada pasien yang meninggal akibat tidak mendapat penanga­nan rumah sakit. Pasalnya, ruang perawatan kelas III di banyak rumah sakit kini penuh. Jokowi sendiri juga berencana melaku­kan evaluasi di akhir Maret 2013 atas program yang menjadi an­dalannya saat kampanye pilkada lalu itu.

Poempida Hidayatolah, Rumah Sakit Banjir Pasien

Anggota Komisi IX DPR ini me­nilai, program Kartu Jakarta Se­hat yang tidak diser­tai ke­siapan infrastruktur, me­mun­cul­kan sejumlah masalah da­lam pelaksa­naannya.

Masalah yang muncul di­ an­taranya, minimnya infras­truk­tur seperti ruang perawatan, koor­­dinasi antar rumah sakit ruju­kan, hingga tunggakan pemba­yaran dana jaminan oleh peme­rintah daerah yang me­nyebab­kan tagihan utang yang ditang­gung rumah sakit me­lon­jak hing­ga puluhan miliar rupiah.

Poempida mengatakan,  lang­­kah perbaikan yang men­desak dilakukan adalah pene­rapan sistem jen­jang ruju­kan pe­la­yanan ke­se­hatan untuk men­cegah penum­pukan pasien di rumah sakit seperti yang saat ini banyak terjadi.

“Masyarakat yang hendak berobat, sebaiknya tidak lang­sung ke rumah sakit, jadi ada ting­katannya mulai dari Pus­kesmas, kalau per­lu dirujuk ke ru­mah sakit umum daerah setelah itu bisa juga ke rumah sakit swasta,” ujarnya.

“Sekarang ini peserta-peserta Kartu Jakarta Sehat kan lang­sung ke rumah sakit. Akibatnya, penyakit-penyakit ringan semua masuk rumah sakit. Tidak semua pasien itu gawat, kalau cuma batuk pilek, panas biasa, harusnya rujukan pertamanya Puskesmas.”

Dia bilang, masyarakat juga perlu diberi pemahaman soal pe­layanan KJS yang benar, se­perti bagaimana prosedur pena­nganan pasien hingga pencarian rumah sakit rujukan yang sesuai dengan keluhan sakitnya.

Tanpa sosialisasi ini, peluang munculnya kabar tak sedap se­pu­tar pelaksanaan KJS akan se­makin banyak.

Dampaknya akan sangat kontraproduktif. Rumah sakit merasa di­sudutkan, sementara publik ragu terhadap kesunggu­han pelaya­nan yang dijanjikan pemerintah DKI.

Okky Asokawati, Program KJS Menunjukkan Kualitas Pelayanan Kesehatan Di Jakarta Buruk

Anggota Komisi IX ini me­ni­lai, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tidak memper­tim­­bangkan sarana dan prasa­rana rumah sakit di ibukota ke­tika memberlakukan pro­gram Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Menurut dia, program KJS baru sebatas program diatas ker­tas. SOalnya, pelaksanaan di lapangan masih terkendala ka­rena ketersediaan fasilitas ru­mah sakit untuk golongan kelas III masih minim.

Seharusnya, kata Okky, se­be­lum menjalankan program KJS pemerintah DKI Jakarta penyediaan sarana dan prasa­ra­na pelayanan kesehatan di dae­rah secara baik. “Ini pro­gram populis sebenarnya, na­mun aki­bat tidak dipersiapkan matang justru membuka borok pela­yanan kesehatan di Ja­karta,” katanya.

Okky bilang, banyaknya pa­sien pemegang KJS ditolak ru­mah sakit hingga menim­bulkan korban jiwa menunjukan bu­ruknya layanan kesehatan di ru­mah sakit ibukota.  “Program bagus kalau tidak bisa di im­ple­mentasikan sama saja bohong,” sesalnya.

Politisi PPP ini menyesalkan pernyataan Kepala Dinas Kese­hatan DKI Jakarta, yang menya­takan bahwa sarana dan prasa­rana pelayanan kesehatan ibu­kota sudah lebih dari cukup dan sangat memadai. “Fakta di la­pangan, masih banyak rumah sa­kit yang terpaksa tidak me­nerima pasien karena seluruh tempat tidurnya sudah penuh dan juga tenaga dokter yang ada ma­sih kurang,” cetusnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA