Hakim menolak permohonan terpidana James Gunaryo agar tak jadi saksi bagi terdakwa Tommy Hindratno. Hakim pun menilai, kesaksian James tak masuk akal.
Anggota majelis hakim kasus suap restitusi pajak PT Bhakti InÂvestama sebesar Rp 340 juta, meÂraÂgukan kesaksian James. Hakim meÂnilai, keterangan saksi jangÂgal. Pasalnya, James mengaku memÂberi uang kepada pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sidoardjo, Jawa Timur, Tommy Hindratno seÂbagai pembayaran utang.
Padahal dalam surat dakwaan, jelas disebutkan bahwa uang terÂsebut diberikan sebagai fee. KoÂmisi disampaikan karena Tommy membantu James mencairkan restitusi (kelebihan pembayaran) pajak PT Bhakti Investama.
Tapi pada sidang beragenda menÂdengar keterangan saksi, keÂmarin, James bersikukuh. MeÂnuÂrutÂnya, uang itu bukan sebagai bentuk suap pengurusan restitusi pajak PT Bhakti. Hakim pun langÂsung mencecar James.
AngÂgota Majelis Hakim AnÂwar meÂminta James meÂnunÂjukÂkan bukti-bukti bila uang itu adaÂlah uang pemÂbayaran utang pada Tommy. Soalnya hakim menilai, sejak awal tidak ada korelasi utang-piÂuÂtang antara Tommy dan James.
James yang diberi kesempatan membuktikan utang-piutang itu, tidak bisa menunjukkan bukti-bukÂti utang tersebut. “Tidak ada kuitansinya,†jawab James. Lalu hakim meminta James menÂjeÂlasÂkan, kapan utang-piutang dengan Tommy terjadi. Akan tetapi, JaÂmes mengaku lupa.
Masalahnya, sebut James, dirinya seringkali meminta utang dari Tommy. “Baik benar itu, di bank saja ada bukti-buktinya,†timpal hakim Anwar.
Hakim juga mencecar James seÂputar asal-usul uang untuk memÂbeli mobil Toyota Harier miliknya. Menurut James, uang pembelian mobil itu berasal dari utang juga. Tapi tak berapa lama, pria berkemeja putih ini menyeÂbut, dana yang digunakan memÂbeli mobil berasal dari penjualan rumah seluas 200 meter.
Hasil penjualan rumah itu, katanya, nominalnya mencapai Rp 350 juta. Uang itulah yang kemudian dipakai untuk mencicil utang dan tambahan membeli mobil. Akan tetapi, ketika hakim menanyakan, “Berapa NJOP ruÂmah yang dijual?†James tak bisa menjelaskan. “Wah saya lupa,†alasannya “Mana ada luas rumah segitu harganya Rp 350 juta. SemÂÂbaÂraÂngan saja jawabnya,†cetus hakim Anwar. Tak kalah sengit, James meÂnimpali, “Ada.â€
James kemudian tertunduk. KeÂtua Majelis Hakim DharmaÂwati Ningsih meminta saksi memÂberi keterangan yang benar dan masuk akal. Dharmawati meÂngancam, jika James terus-teruÂsan memberikan kesaksian boÂhong, majelis hakim tidak segan-segan mengenakan saksi seÂkaÂliÂgus terpidana ini, pasal memÂbeÂrikan keterangan palsu.
Dia menduga, keterangan JaÂmes yang tidak masuk akal diÂlaÂtari penolakan hakim atas perÂmohonan James agar tak dijaÂdiÂkan saksi kasus ini. Majelis haÂkim pun beranggapan, berkas perkara James berbeda dengan berkas perkara Tommy. Karena itu, hakim punya alasan menolak permohonan James.
Dharmawati menambahkan, undang-undang mengatur, hanya orangtua, istri dan suami yang diÂperbolehkan mengundurkan diri jadi saksi. “Sesuai peraturan perÂundangan, mereka mendapat peÂngecualian. Lagipula, berkas perÂÂkara saksi dengan terdakwa juga berbeda.â€
Tidak puas pada tanggapan haÂkim, James pun menolak diambil sumpah. Geregetan melihat polah James, hakim anggota SudjatÂmiÂko pun menekankan, semua saksi wajib diambil sumpah.
Alhasil, James tidak bisa memÂbantah lagi. Dengan berat hati, pria yang terÂtangÂkap tangan tim KPK saat memÂberikan uang keÂpada TomÂmy di rumah makan di kawaÂsan TeÂbet, Jakarta Selatan itu pun meÂnuruti pendapat hakim.
REKA ULANG
“Kalau Berhasil, Ada lah...â€
Senin (29/10), Petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno ditetapÂkan sebagai tersangka kasus peÂneÂrimaan suap dari staf pembuÂkuan/advicer PT Agis Electronik James Gunaryo. Suap diduga unÂtuk pengurusan restitusi pajak PT Bhakti Investama.
Pengacara Tommy, Tito HaÂnanÂta Kusuma mengatakan, tim jaksa KPK mendakwa Tommy dengan pasal-pasal penerimaan suap. Namun, menurut Tito, dakÂwaan jaksa KPK salah alamat. Menurutnya, Tommy tidak meÂneÂrima suap, melainkan mendapat gratifikasi atau pemberian berupa uang Rp 280 juta. Pemberian itu pun, mÂeÂnuÂrutÂnya, sudah dilaporÂkan ke KPK daÂlam waktu kurang dari 30 hari seÂtelah Tommy dan JaÂmes terÂtangÂkap tangan penyiÂdik bebeÂrapa waktu lalu.
Dalam kasus ini, James sudah diÂnyatakan bersalah dan divonis tiga tahun enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. James, menurut hakim, bersama-sama Komisaris IndeÂpenÂden PT Bhakti Investama Antonius Z Tonbeng menyuap Tommy.
Kasus suap pengurusan resÂtitusi pajak PT Bhakti ini, diduga melibatkan pegawai pajak lain. Dalam surat dakwaan James GuÂnaryo, terungkap bahwa Tommy menghubungkan pihak PT Bhakti dengan tiga pegawai pajak yang bertugas sebagai pemeriksa pajak perusahaan tersebut.
Dakwaan yang disampaikan jaksa KPK Agus Salim, Medi Iskandar dan Sigit Waseso itu menyebutkan bahwa James alias Jimy, baik bertindak sendiri-senÂdiri atau bersama-sama deÂngan Antonius Z Tonbeng memberikan sesuatu berupa uang Rp 280 juta kepada Tommy.
Pemberian tersebut dilakukan karena Tommy telah memberikan data atau informasi hasil pemeÂrikÂsaan Direktorat Jenderal Pajak atas klaim Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) lebih bayar pajak (resÂtitusi) PT Bhakti. “Sehingga diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan dilakukan pembayaran kepada PT Bhakti Investama,†kata jaksa Medi Iskandar.
Tommy diyakini mengetahui bahÂwa membocorkan informasi hasil pemeriksaan Ditjen Pajak ke pihak luar, melanggar peraturan. Dijelaskan dalam surat dakwaan tersebut, pada Januari 2012, AnÂtoÂnius bersama James melakukan perÂtemuan dengan Tommy di kanÂtin MNC Tower, Kebon Sirih, JaÂkarta Pusat. Dalam pertemuan terÂseÂbut, JaÂmes dan Antonius meÂminta TomÂmy membantu penyeÂlesaian klaim SPT lebih bayar paÂjak PT Bhakti. Saat itu, Antonius meÂnyamÂÂpaikan kepada Tommy, “KaÂlau berÂhasil, ada lah,†dan dijawab Tommy dengan kalimat “Saya lihat dulu.â€
Adapun SPT lebih bayar pajak PT Bhakti Investama yang diÂajuÂkan itu terdiri dari Pajak PeÂngÂhasilan (PPh) Badan 2010 sebesar Rp 517 juta, dan Pajak PerÂtamÂbahan Nilai (PPn) dari tahun 2003 sampai dengan 2010 sebeÂsar Rp 3,2 miliar.
Sebagai tindak lanjut perteÂmuÂan di kantin MNC Tower terÂseÂbut, Tommy yang menjabat KeÂpaÂla Seksi dan Pengawasan KanÂtor Pelayanan Pajak (KPP) PraÂtama Sidoarjo itu menghubungi rekannya, Ferry Syarifuddin yang berkerja di KPP Perusahaan MaÂsuk Bursa di Jakarta. Kepada Ferry, dia meminta informasi soal perkembangan proses pemeÂrikÂsaan klaim lebih bayar pajak yang diajukan PT Bhakti.
Kemudian Tommy bertemu deÂngan Agus Totong, selaku keÂtua tim pemeriksa klaim PT Bhakti. Lalu pada 24 April 2004, diterÂbitÂkanlah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atas SPT PPn PT Bhakti senilai Rp 517 juta dan SPT PPn sebesar Rp 2,9 miÂliar. SKPLB tersebut ditinÂdakÂlanjuti dengan diterbitkannya SuÂrat Perintah Membayar KeÂleÂbiÂhan Pajak (SPMKP) terhadap waÂjib pajak PT Bhakti dengan nilai toÂtal Rp 3,4 miliar.
Setelah pengembalian pajak seÂÂbesar Rp 3,4 miliar itu masuk ke reÂkening PT Bhakti di BCA, AnÂtoÂnius menyampaikan kepada JaÂmes akan dikeluarkan uang Rp 350 juta sebagai imbalan untuk Tommy dan pegawai pajak lain.
“Terdakwa James atas perÂminÂtaan Antonius Tonbeng pada 5 Juni sekitar jam empat sore, daÂtang ke MNC Tower dengan mengendarai Toyota Harrier untuk menerima uang Rp 340 juta,†kata jaksa Sigit.
Setelah menerima uang terseÂbut, James menyerahkan Rp 280 juta kepada Tommy, sedangkan Rp 60 juta sisanya diambil James. Saat penyerahan uang di Restoran Sederhana, TeÂbet, Jaksel, James dan Tommy ditangkap KPK.
Hakim Bisa Menilai Tingkat Kebenaran Keterangan Saksi
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyeÂbutkan, upaya saksi mengaÂburÂkan keterangan bisa berakibat fatal. Sekalipun demikian, dia yakin bahwa hakim bisa meÂniÂlai tingkat kebenaran atas keÂterangan saksi.
“Saksi yang terlibat dalam suatu perkara biasanya ingkar. Dia akan berupaya menutup-nuÂtupi keterlibatannya di dalam perkara. Hal tersebut meruÂpaÂkan hal lumrah dalam perÂsiÂdaÂngan,†katanya.
Akan tetapi, sebutnya, keteÂrangan saksi yang tidak benar memiliki risiko tersendiri. Jika haÂkim atau jaksa tidak puas, sakÂsi bisa dikenai pasal memÂbeÂrikan keterangan palsu. Maka itu, dia menyarankan agar saksi-saksi memberikan keterangan yang jujur. Sehingga tidak meÂngesankan, mengaburkan fakta persidangan. Menurut Eva, keÂteÂrangan saksi idealnya memÂbantu penegak hukum dalam mencari kebenaran. “Bukan maÂlah sebaliknya,†ucap dia.
Lebih jauh, menanggapi keÂsakÂÂsian James ini, Eva meyaÂkini bahwa hakim memiliki peÂdoman dalam menilai keÂteÂraÂngan saksi. “Saya rasa hakim sudah punya pedoman dalam menentukan sikapnya,†kata politisi PDIP ini.
Dengan begitu, Eva juga yaÂkin, dugaan kebohongan saksi bisa dibongkar hakim. Apalagi, saksi yang dimintai keterangan ini adalah terpidana dalam kaÂsus yang sama. Jadi, dari hasil persidangan sebelumnya, haÂkim maupun jaksa sudah meÂmiliki pegangan dalam menilai kebenaran keterangan saksi terÂsebut. Kalaupun belakangan sakÂsi ini ingkar, hakim memÂpuÂnyai kompetensi untuk memÂberikan tindakan hukum kepada saksi tersebut.
Agar Saksi Tidak Seenaknya Beri Keterangan
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI
Sekjen Perhimpunan MagisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan meminta hakim tidak ragu-ragu memberi sanksi tambahan pada saksi.
Hal itu diÂtuÂjukan agar saksi tiÂdak seeÂnakÂnya dalam meÂnyamÂpaikan keÂteÂrangan di perÂsidangan. “MeÂnyiÂmak keÂsakÂsian James, ini sangat terkesan main-main,†katanya.
Bagaimana mungkin, keÂsakÂsian seseorang yang terlibat perÂkara yang disidangkan tersebut, minim temuan-temuan baru. KuaÂlitas kesaksian saksi kali ini, nilainya, bisa dikategorikan sebagai orang yang mengÂhinÂdari tanggungjawab hukum.
Hal itu dilakukan saksi, deÂngan tujuan beragam. PerÂtama sebut dia, untuk meÂnyeÂlaÂmatÂkan diri sendiri. Kedua, lanjut Iwan, kemungkinan untuk meÂnutupi dugaan keterlibatan piÂhak lain. Terlebih, sebutnya, dalam kasus ini masih ada pihak petinggi PT Bhakti Investama yang diduga terlibat.
“Kemungkinan saksi lebih cenÂderung ingin melindungi pihak lain yang diduga terlibat. KaÂrena itu, dia memberikan kesaksian yang tidak masuk akal alias terkesan main-main,†katanya.
Atas kesaksian yang tidak berÂkualitas tersebut, dia berhaÂrap, hakim mampu menelaah perkara ini secara komÂpreÂhenÂsif. Sehingga, siapa pun yang terlibat perkara suap pajak ini bisa diseret ke pengadilan.
“Bisa dimintai perÂtangÂgungÂjaÂwaban secara hukum. Untuk hal ini, hakim tidak perlu ragu-ragu mengambil tindakan teÂgas,†tandasnya.
Menurut Iwan, ketegasan siÂkap hakim sangat penting. SeÂtidaknya bisa memberikan gamÂbaran agar saksi tidak main-main dalam memberikan keteÂraÂngannya. Apalagi keteÂraÂngan tersebut disampaikan pada perÂsidangan. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: