Pemburu Koruptor Baru Sekadar Koordinasi Dengan Negara Lain

Tak Kunjung Bekuk Terpidana Djoko Tjandra

Kamis, 27 Desember 2012, 09:34 WIB
Pemburu Koruptor Baru Sekadar Koordinasi Dengan Negara Lain
Djoko Tjandra
rmol news logo Perburuan terpidana kasus cesie Bank Bali Djoko Tjandra masih macet. Kejaksaan Agung belum berhasil menyeret buronan itu kembali ke Tanah Air. Padahal, pemerintah Papua Nugini sudah menginformasikan bahwa Djoko menetap di Singapura.

Ketua Tim Pemburu Koruptor Darmono menyatakan, pihaknya sudah intensif melakukan pela­cakan. Pelacakan jejak buronan ini, dilaksanakan lewat koor­di­nasi dengan pemerintah Papua Nu­gini. Menurutnya, koordinasi tim dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan.

Maksudnya, pelacakan Djoko di Papua Nugini selama ini, men­dapat bantuan penuh dari negara itu. Pasalnya, pemerintah Papua Nugini juga merasa punya ke­pen­tingan dengan Djoko. Soalnya, buronan yang meninggalkan In­donesia pada Juni 2010 itu, ma­suk negara tersebut dengan cara melanggar hukum.

Pemerintah Papua Nugini, kata dia, menilai, dokumen imigrasi yang digunakan Djoko palsu. “Ada penyalahgunaan dokumen yang dilakukan Djoko Tjandra,” kata Wakil Jaksa Agung ini.

Oleh sebab itu, Papua Nugini merasa berkepentingan dengan buronan tersebut. Tapi, upaya melacak jejak buron ini di Papua Nugini tak menemukan hasil. Dia bilang, pemerintah Papua Nugini justru menginformasikan, Djoko yang beralih status kewar­ga­ne­ga­raan Papua Nugini, justru tidak tinggal di negara tersebut.

Buronan ini, disebut sudah me­ninggalkan negara tetangga In­do­nesia tersebut. Djoko me­ning­gal­kan Papua Nugini ke Singapura. “Informasi keberadaannya di Singapura sudah diperoleh tim,” ucapnya. Tapi, Darmono belum mau membeberkan lokasi bu­ro­nan tersebut.

Yang jelas, pengejaran Djoko di­laksanakan bersama-sama de­ngan otoritas keamanan Papua Nu­gini. Darmono mengaku, usa­ha melacak dan membawa pulang Djoko dari Singapura tidak mu­dah. Hal ini dilandasi belum ada­nya perjanjian ektradisi Indonesia dengan Singapura. Tapi, dia op­timistis timnya bisa menemukan dan mengupayakan pemulangan buronan itu. Dia bilang, lobi-lobi dengan pemerintah Singapura sudah dilaksanakan.

“Kita upayakan bertemu de­ngan otoritas Singapura. Surat dan dokumen untuk itu sudah di­la­yangkan,” tuturnya.

Sejauh ini, tim pun masih me­nunggu informasi lanjutan dari pemerintah Singapura. Di­ha­rap­kan, pada awal 2013, sudah ada hasil signifikan mengenai hal ter­sebut. Oleh sebab itu, Dar­mono op­timistis, tim terpadu yang di­pim­pinnya akan dapat membawa pulang Djoko.

Lagi-lagi, hal itu di­latari ada­nya pelanggaran hu­kum yang di­lakukan buronan itu saat masuk dan mengubah ke­war­gane­ga­ra­an­nya di Papua Nugini. Apalagi, pe­merintah Papua Nu­gini sudah memberi lampu hijau alias per­se­tujuan untuk menyeret Djoko ke jalur hukum.

Dengan begitu, upaya d­e­por­tasi yang diupayakan timnya, jadi celah yang dapat dimanfaatkan untuk membawa Djoko kembali ke Tanah Air.  “Langkah ini te­ngah dimaksimalkan,” tandasnya.

Saat disinggung mengenai aset buronan yang disita kejaksaan, Darmono menginformasikan, jak­sa tak bisa melakukan pe­nyi­ta­an aset yang bersangkutan. Soal­nya, kerugian negara dalam perkara Cesie Bank Bali Rp 546 miliar, sudah dibayar.

Maksudnya,  rekening Djoko di Bank Bali telah dirampas dan te­lah ditransfer ke kas negara pada Juni 2009. Uang itu sebagai pem­bayaran kerugian negara. “S­e­hu­bungan dengan perkara ini, tidak ada perampasan aset,” katanya.

Yang ada hanya kewajiban yang bersangkutan membayar uang denda Rp 15 juta. Uang itu merupakan uang denda seperti amar putusan  kasasi Mahkamah Agung (MA).

Jadi, lanjutnya, identifikasi aset-aset Djoko Tjandra di dalam negeri maupun di luar negeri seperti Hongkong dan Thailand, dilakukan tim sekadar memantau kemungkinan keberadaan bu­ro­nan tersebut. Bukan ditujukan untuk tujuan penyitaan aset.

Penyitaan aset, lanjutnya, baru bisa dilaksanakan apabila bu­ro­nan ini terbukti melakukan tindak pidana lain. “Dia punya banyak aset. Tapi kami tidak bisa main sita,” katanya.

REKA ULANG

Joe Chan Jadi Warga Papua Nugini

Djoko Tjandra merupakan be­kas Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Dia me­ning­galkan In­do­ne­sia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perda­na­ku­sumah, Jakarta ke Port Moresby pada 10 Juni 2009. Kepergiannya itu dilakukan sehari sebe­lum Mah­kamah Agung (MA) me­nge­luar­kan putusan perkaranya.

MA menyatakan Djoko Tjan­dra bersalah dan divonis dua ta­hun penjara serta harus mem­ba­yar denda Rp 15 juta, uangnya di Bank Bali pun, Rp 546.166.116.369 harus dirampas untuk negara.

Untuk mengejar Djoko, Tim Pemburu Koruptor yang diketuai Wakil Jaksa Agung Darmono pergi ke Papua Nugini. “Pak Dar­mono sore ini tiba di Jakarta,” kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta pada Jumat, 14 Desember lalu. Namun, saat itu, Basrief be­lum membeberkan apa saja ca­paian tim terpadu yang berangkat ke Papua Nugini pada Selasa, 11 Desember lalu itu.

Hal senada disampaikan Ke­pala Pusat Penerangan dan Hu­kum Kejaksaan Agung Setia Un­tung Arimuladi. Dia mengaku be­lum dapat informasi apapun. “Mungkin Senin nanti akan di­sampaikan hasil pertemuan itu,” katanya saat itu.

Komite Penasihat Imigrasi dan Kewarganegaraan Papua Nugini memberi kewarganegaraan ke­pada sejumlah warga asing se­perti Djoko Tjandra pada Juni lalu. Otoritas Papua Nugini me­nilai, Djoko layak mendapat st­a­tus warga negara Papua. Namun belakangan, otoritas Papua me­ngetahui bahwa Djoko adalah bu­ronan yang masuk Papua Nugini dengan identitas palsu.

Adapun nama yang digunakan Djoko adalah Joe Chan. Nama ini­lah yang kemudian dipakai Djo­ko bepergian Papua Nugini-Si­ngapura. Nama tersebut di­bu­ku­kan dalam paspor nomor B330971.

Berdasarkan catatan Imigrasi PNG, Djoko sedikitnya empat kali masuk Papua Nugini pada Ja­nuari, April, Juli, September  2012. Dari koordinasi dengan Imigrasi Papua Nugini, diiden­ti­fikasi bahwa Djoko tidak me­mi­liki tempat tinggal di Papua Nu­gini. Jadi selama berada di negara tersebut, buronan itu menginap di hotel. “Tempat tinggal yang ber­sangkutan diperkirakan di Si­ngapura,” kata Ketua Tim Pem­buru Koruptor Darmono.

Pemerintah Papua Nugini, lan­jutnya, juga telah mengakui ada­nya pelanggaran hukum serta penyimpangan prosedur pem­berian status kewarganegaraan Djoko Tjandra.

Keputusan pemberian status kewarganegaraan seharusnya ditandatangani lima anggota tim di bawah Kementerian Luar Ne­geri Papua Nugini. Namun, dua ang­gota tim itu tidak hadir dan ti­dak menyetujui pemberian status.

Selain itu, Djoko Tjandra juga be­lum memenuhi persyaratan pe­ngajuan kewarganegaraan, yakni harus tinggal di Papua Nugini minimal delapan tahun berturut-turut, menguasai salah satu ba­hasa, mendapat persetujuan salah satu suku dari 800 suku di PNG, disetujui pemerintah daerah, ber­kelakuan baik serta tidak ada ma­salah hukum pidana.

Darmono berharap pemerintah PNG segera melakukan langkah hukum dengan mencabut paspor atas nama Joe Chan itu, lantaran Djoko melakukan pelanggaran imigrasi. “Kalau yang bersang­kutan me­langgar keimigrasian, bisa di­de­por­tasi,” ujar Wakil Jak­sa Agung ini.

Informasi ini pun dikem­bang­kan. Selain berkoordinasi dengan Papua Nugini, tim kejaksaan juga berencana menemui otoritas Si­ngapura.

Mulus Kabur Ke Luar Negeri Karena Dibekingi

Neta S Pane, Ketua Presidium LSM IPW

Ketua Presidium LSM In­do­nesia Police Watch (IPW) me­nilai, upaya pencegahan orang-orang yang bermasalah dengan hukum masih lemah. Ke­le­ma­han ini acap dimanfaatkan un­tuk melarikan diri ke luar negeri.

“Saya rasa masih ada ke­le­ma­han. Soal pencegahan ke luar negeri sebenarnya menjadi kun­ci dalam masalah ini,” katanya.

Jadi, apabila faktor cegah itu su­dah berjalan baik, kemung­ki­nan buronnya seseorang men­jadi minim. Atau paling tidak, bisa diantisipasi sedini mung­kin. Dia menambahkan, ke­le­mahan di sektor tersebut me­nun­jukkan bahwa upaya pen­cegahan masih lemah.

Dia menggarisbawahi, buro­nan yang kabur ke luar negeri, umumnya adalah pelaku keja­hatan yang profesional.

Selain itu, mereka juga d­i­ke­tahui memiliki aset yang besar. Dua faktor itu, seringkali juga di­perkuat dengan adanya ok­num yang membekingi mereka. Oleh sebab itu, pelarian para buronan tersebut menjadi lancar atau mulus. “Nyaris tidak ada hambatan berarti,” tuturnya.

Persoalannya, ketika para pe­laku kejahatan itu buron, pe­ne­gak hukum di sini baru kelim­pu­ngan melacak keberadaan me­reka. “Sebelumnya biasa-biasa saja. Tidak terlihat usaha pencegahan dan sebagainya. Kan aneh, kalau dicekal ketika mereka sudah buron,” katanya.

Dia menambahkan, sederet bu­ron yang bercokol di luar ne­geri saat ini, jelas-jelas be­ru­saha melawan langkah hukum. Hal iniah yang makin me­nyu­litkan penegak hukum mem­bawa pulang dan menarik aset mereka dari luar negeri ke Ta­nah Air.

Masalah Buronan Persoalan Klasik

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa menyatakan, perburuan buronan di luar ne­geri selalu menjadi persoalan kla­sik. Belum adanya kerja­sama atau kesepakatan ek­stradisi dengan beberapa negara lain, membuat persoalan bu­ro­nan makin pelik. “Oleh sebab itu harus ada terobosan-terobo­san,” ujarnya.

Selain mengupayakan pe­mu­langan buronan lewat tata cara ekstradisi, mekanisme deportasi dan lainnya hendaknya juga di­lakukan. Jadi menurut dia, usa­ha seperti deportasi dan lainnya, menjadi celah yang harus di­manfaatkan. Karena itu, dibu­tuh­kan usaha ekstra keras dari penegak hukum dalam me­ngu­payakan pemulangan para bu­ro­nan tersebut.

“Perlu dalil-dalil hukum yang mampu menjamin pemulangan buronan dari negara-negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan kita.

Apalagi, otoritas negara lain me­miliki kepentingan dengan buronan tersebut,” ujar anggota DPR dari Partai Gerindra ini.

Dia menyebutkan, Singapura, Australia seringkali menjadi target pelarian buronan. Mereka sengaja memilih negara terse­but karena memang yakin men­dapat perlindungan di sana.

Dia menyebutkan, ketika para buron itu membayar bea ma­suk atau pajak, mereka men­dapatkan perlindungan hukum. “Para buronan itu me­man­faat­kan hal tersebut sebagai usaha pro­teksi dari jangkauan pe­ne­gak hukum Indonesia.”

Lagi-lagi dia pun meminta, pe­merintah serius menye­le­sai­kan persoalan ekstradisi. Sebab, tanpa kesungguhan dan niat yang besar, perburuan para bu­ro­nan ke luar negeri selalu kla­sik. Karena persoalannya se­nan­tiasa terbentur masalah eks­tradisi. Serta pelik, lantaran ha­rus mencari-cari jalan atau ce­lah hukum lain yang ke­mun­g­kinan menangnya kecil atau tipis. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA