Lama tak terdengar perkembangannya, kasus korupsi perjalanan dinas Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kembali digarap Kejaksaan Agung.
Tim penyidik Kejaksaan Agung memeriksa lima saksi perkara korupsi perjalanan dinas KemenÂterian Lingkungan Hidup (KLH) tahun anggaran 2009.
Menurut Kepala Pusat PeÂneÂrangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, lima sakÂsi itu yakni Staf Bagian KeÂuangan Biro Umum KLH Suarsih binti Enos, Staf Bagian Akutansi Mayda Awvia Zaich, Staf Biro Umum Endah Lisyowati, Staf Biro Umum Munadjib dan KeÂpala Bagian KeÂuangan Sugeng Yos Budiarso.
“Posisi mereka sebagai saksi pembuat, pelaksana dan penaÂngÂgung jawab perjalanan dinas pada anggaran tahun 2009 di KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup,†kata bekas Asisten Khusus Jaksa Agung ini.
Kejaksaan Agung telah meÂnetapkan tiga tersangka kasus ini, yaitu Ahmad Syukur, SuÂlaiÂman dan Puji Hastuti. Ketiganya diteÂtapkan sebagai tersangka terÂkait pengolaan, perÂtangÂgungÂjaÂwaÂban, hingga verifikasi biaya perjaÂlaÂnan dinas tahun anggaran 2007 hingga 2009. Ketiganya diÂjerat Pasal 2 dan Pasal 3 UnÂdang UnÂdang Nomor 31 Tahun 2009 tenÂtang Pemberantasan Tindak PiÂdana Korupsi.
Pada tahun anggaran 2009, di Biro Umum Sekretariat KLH terÂdapat DIPA APBN Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri deÂngan Pagu Rp 9.474.713.000 deÂngan realisasi Rp 9.474.397.410. Tapi dalam pelaksanaannya, diÂduga terdapat kegiatan yang tidak dilaksanakan alias fiktif.
Perkara korupsi biaya perjaÂlanan dinas ini, muncul setelah BaÂdan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan peÂlanggaran. Kasus tersebut ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,2 miliar.
Ketiga tersangka dianggap berÂpeÂran terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan perÂtangÂgungÂjawaban (LPJ) fiktif yang meÂngaÂkibatkan kerugian keÂuangan neÂgaÂra. Terkait perkara ini, Kejaksaan Agung telah mengorek keterangan lebih dari 40 saksi.
Menurut Sekretaris KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi ini, sebetulnya hanya kesalahan adÂÂministrasi. Terkadang, kata HerÂmin, para pegawai KLH terÂpaksa melanggar ketentuan adÂministrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan dinas karena tugas kantor yang mendadak. MisalÂnya, ketika berangkat dengan tiÂket Jakarta-Manado, pegawai haÂrus mengubah rute karena tiba-tiba harus bertugas ke Gorontalo.
Jika hal seperti itu terjadi, meÂnurut Hermin, pegawai harus meÂnyesuaikan jadwal tugas dengan pindah ke maskapai penerbangan lain, meski sudah booking. “TiÂdak ada unsur kesengajaan, apaÂlagi untuk memperkaya diri senÂdiri atau orang lain,†tegasnya.
Sebagai catatan, kasus ini suÂdah cukup lama ditangani KeÂjakÂsaan Agung. Kejagung meÂneÂtapÂkan tiga pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Lingkungan Hidup sebagai tersangka. Ketiga tersangka dianggap berperan terÂhadap bocornya dana dan veÂriÂfiÂkasi laporan pertanggungjawaban (LPJ) fiktif yang mengakibatkan keÂrugian keuangan negara. Akan tetapi, mereka tidak ditahan.
Modus operandi para tersangka itu adalah memalsukan laporan pertanggungjawaban dan meÂnenÂtuÂkan besaran tarif perjalanan diÂnas tidak sesuai fakta. Apalagi, peÂngelolaan dana perjalanan diÂnas diatur secara otonom di setiap satuan kerja. Namun, kebijakan otonom itu justru mengakibatkan penyimpangan penggunaan angÂgaran negara. Ujung-ujungÂnya, terjadi kerugian keuangan negara.
Amat Sukur ditetapkan sebagai tersangka karena dia yang menÂcairkan dana. Sedangkan SuÂlaeÂman berperan dalam memÂveÂriÂfiÂkasi LPJ perjalanan dinas.
REKA ULANG
Belum Jadi Terdakwa Meski Disidik Sejak Oktober 2011
Proses penyidikan terhadap tiga tersangka kasus ini, dimulai pada Oktober tahun lalu. Lebih dari 40 saksi sudah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung, tapi Bagian Penyidikan belum meÂlimpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan.
Kepala Pusat Penerangan HuÂkum Kejaksaan Agung terdahulu Adi Toegarisman beralasan, proÂses pengusutan perkara ini masih berlangsung. Selain, karena beÂlum diperoleh hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meÂngenai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.
“Kami telah meminta BPK unÂtuk menghitung kerugian negara daÂlam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil pengÂhitungan dari BPK terseÂbut,†katanya di Gedung KeÂjakÂsaan Agung, Jalan Sultan HaÂsaÂnuddin, Jakarta Selatan pada JuÂmat, 20 Juli lalu.
Pria yang kini menjabat seÂbaÂgai Direktur Penyidikan KÂeÂjakÂsaan Agung itu menambahkan, penyidik masih mendalami kasus tersebut untuk memperkuat bukÂti-bukti dalam pemberkasan. “TeÂlah diperiksa sekitar 40 saksi. KeÂmudian, sudah dilakukan tinÂdaÂkan hukum berupa penyitaan terÂhadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti pertanggungÂjaÂwaÂban yang diduÂga fiktif,†kata Adi.
Kasus ini terjadi pada tahun angÂgaran 2009 di Biro Umum SekÂretariat Kementerian LingÂkuÂngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan realisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam peÂlaksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas itu terdapat keÂgiatan yang tidak diÂlaksanakan,†jelasnya.
Kemudian, lanjut Adi, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan VeÂrifikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka memÂbuat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi peÂngeÂluaran anggaran. Perbuatan SuÂlaeÂman dalam membuat peÂrÂtangÂgungjawaban fiktif tersebut, kataÂnya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku KuaÂsa Pengguna Anggaran dan KÂeÂpala Bagian Keuangan KLH AÂmat Syukur selaku Pejabat PemÂbuat Komitmen I. “Kerugian keÂuangan negara yang ditimbulkan akibat perbuaÂtan mereka diduga sekitar Rp 1,2 miliar,†tandasnya.
Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap penyiÂdikan pada Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus terÂseÂbut tidak ditahan.
Penyidik Kejaksaan Agung suÂdah menetapkan tiga tersangka kaÂsus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan LingÂkuÂngan Deputi 7 Pudji Astuti, berÂdaÂsarkan Surat Perintah PenyiÂdiÂkan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
Kedua, Sulaeman, Kasubbag VeÂrÂÂifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH berdasarkan SuÂrat Perintah Penyidikan NoÂmor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tangÂgal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur KeÂuangan KLH (Bekas Kabag Keuangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
Tidak Boleh Mengambang
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR DeÂding Ishak berharap KejakÂsaÂan Agung menuntaskan kasus korupsi yang ditanganinya ini. Apalagi, perkara yang ditangani itu masuk kategori kasus lawas.
“Tidak boleh dibiarkan meÂngambang. Tuntaskan semua perkara secara cepat dan cerÂmat. Kecepatan dan kecermatan ini merupakan hal yang krusial. Supaya, orang-orang yang terÂsangkut perkara itu memiliki status hukum jelas. Tidak diÂganÂtung-gantung,†kata angÂgota DPR dari Partai Golkar ini.
Dengan begitu, orang-orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tidak merasa terÂsanÂdera. Kepastian hukum, samÂbungÂnya, menjadi kunci dalam menentukan kepercayaan pubÂlik kepada institusi kejaksaan.
Lantaran itu, Deding meÂngiÂngatkan, jaksa idealnya tidak boÂleh bersantai-santai dalam meÂnangani perkara. Hal itu nanÂtinya menjadi tolok ukur atau parameter dalam menilai keÂberÂhasilan Korps Adhyaksa memÂbenahi institusinya.
Dia menambahkan, jika suÂdah ada audit dari Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK), keÂjakÂsaÂan hendaknya mengambil tinÂdakan tegas. Pelimpahan berkas perkara dari tingkat penyidikan ke penuntutan, tidak boleh diÂtunda-tunda.
“Apalagi, bukti-bukti awal suÂdah cukup. Segera saja limÂpahÂkan ke penuntutan agar maÂsuk tahap pembuktian atau perÂsidangan,†katanya.
Jadi, pengusutan perkara tiÂdak lagi terkesan berputar-putar alias hanya berkutat pada perÂsoaÂlan yang tidak perlu. Dia meÂnambahkan, anggapan jaksa dan tersangka yang menilai perÂkara secara berbeda, menjadi hal yang wajar.
Hal tersebut, pesan dia, henÂdakÂnya menÂdapatkan porsi yang proporsional. “Untuk itu, peÂnaÂnganan kasus ini di kejakÂsaan idealnya dilaksanakan seÂcara tranÂsparan,†tandasnya.
Target Pengusutan Mesti Terukur
Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator Gerak Indonesia
Koordinator LSM GeÂraÂkan Rakyat Anti Korupsi (GeÂrak) Indonesia, Akhiruddin MahÂjuddin menyatakan, meÂkaÂnisme penyidikan, pemÂberÂkaÂsan perÂkaÂra dan tuntutan idealÂnya menÂdaÂpat perhatian semua pihak.
Hal itu mesti dilakukan agar target pengusutan perkara menÂjadi jelas dan terukur. “Kasus koÂrupsi harus diselesaikan seÂcara proporsional. Apalagi, peÂngelolaan anggaran dinas rawan tindakan manipulatif,†katanya.
Akhiruddin menegaskan, diÂperlukan ketentuan atau standar pelaksanaan yang jelas dan baku mengenai perjalanan diÂnas. KeÂterangan yang meÂnyeÂbut, perÂjaÂlanan dinas sewaktu-wakÂtu beÂrubah tujuannya, henÂdakÂnya diÂikuti bukti-bukti yang konÂkret. BuÂkan keterangan semata.
Perubahan tujuan perjalanan dinas, lanjutnya, harus diÂduÂkung fakta seputar kepentingan dan korelasinya dengan tugas pokok seseorang. “Jika tidak ada kaitan dengan tugas pokok seseorang, tentu perjalanan diÂnas itu menjadi hal yang memÂboroskan keuangan negara,†ucapnya.
Menurut Akhiruddin, korupsi biaya perjalanan dinas selama ini agak sulit dideteksi. SoalÂnya, terdapat beragam alasan yang bisa dijadikan tameng. Akan tetapi, menurutnya, peÂneÂgak hukum tidak boleh kalah. Rangkaian pemeriksaaan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas hendaknya dilaksanakan secara teliti.
Akhiruddin mengÂgaÂrisÂbaÂwaÂhi, pengusutan perkara seperti ini tidak boleh berhenti sampai tingkatan kepala biro keuangan saja. Tapi harus diusut hingga samÂpai tingkat yang lebih tinggi. “Jika perlu, menteri yang berÂsangkutan dimintai keteÂrangan. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pimÂpinan,†ujarnya.
Dia pun mengingatkan, buÂkan tidak mungkin, manipulasi nota perjalanan dinas juga terÂjadi di instansi pemerintah lainnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: