2 Tersangka Kasus Chevron Belum Ke Pengadilan Tipikor

Padahal, Lima Tersangka Lain Sudah Disidang

Selasa, 25 Desember 2012, 10:14 WIB
2 Tersangka Kasus Chevron Belum Ke Pengadilan Tipikor
PT Chevron Pasific Indo­nesia

rmol news logo Lima dari tujuh tersangka kasus Chevron telah menjalani sidang  perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta. Tapi, dua tersangka lainnya belum.

Dua tersangka yang belum bisa di­sidang itu adalah General Ma­na­ger Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pasific Indo­nesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah dan General Manajer Sumatera Light North (SLN) Operation PT CPI Alexiat Tirtawidjaja.

Berkas Bachtiar belum leng­kap, karena hakim Pengadilan Ne­geri Jakarta Selatan memutus pe­netapan tersangkanya tidak sah. Putusan itu adalah buah dari gugatan praperadilan yang di­aju­kan Bachtiar. Kejaksaan Agung kini menempuh upaya hukum, yak­ni mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Sedangkan Alexiat belum bisa diajukan ke persidangan dengan alasan masih menemani suami­nya yang sakit di Amerika Se­ri­kat. Bahkan, Alexiat sama sekali belum pernah diperiksa sebagai tersangka.

Saat dihubungi, kemarin, Ke­pa­la Pusat Penerangan Hukum Ke­jaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi menyatakan, belum ada perkembangan signifikan un­tuk memeriksa Alexiat.

“Belum ada kehadirannya, tapi masih kami upayakan. Saat ini, kami ma­sih konsentrasi untuk me­ngurus terdakwa yang disi­dang­kan terlebih dahulu, karena cukup berat,” alasannya.

Sedangkan untuk tersangka Bach­tiar, lanjut bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Se­latan ini, masih dalam proses pemberkasan.

Direktur Penyidikan Kejak­saan Agung Adi Toegarisman me­­nga­ku berkomitmen mem­bawa se­mua tersangka perkara Chevron ke Pengadilan Tindak Pi­dana Ko­rupsi. Lima dari tujuh tersangka ka­sus ini sudah dilim­pahkan kejak­saan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.

Lima tersangka yang telah di­limpahkan ke Pengadilan Tipikor itu adalah Manajer SLN dan SLS PT CPI Endah Rubiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Pro­vinsi Riau PT CPI Widodo, Team Leader SLS Migas PT CPI Ku­kuh Kertasafari, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herland dan Di­rektur PT Green Planet In­do­nesia Ricksy Prematuri. Pe­lim­pahan lima tersangka itu ber­da­sar­kan surat pelimpahan tanggal 11 Desember 2012.

Sebelumnya, para tersangka dari Chevron itu telah me­nga­ju­kan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, para hakim itu hanya memutus pe­na­hanan mereka yang tidak sah, bu­kan penetapan tersangkanya. Se­hingga, kasus mereka tetap be­r­gu­lir ke Pengadilan Tipikor, ken­dati para tersangka itu di­ke­luar­kan Kejagung dari rumah tahanan.

Sedangkan hakim yang me­nangani praperadilan Bachtiar, me­mutus bahwa penetapan ter­sangka terhadap Bachtiar tidak sah. Sehingga, Kejagung belum bisa membawa Bachtiar ke Pe­ngadilan Tipikor.

Kasus Chevron bermula ketika PT CPI yang bergerak di sektor mi­nyak dan gas, menganggarkan biaya proyek lingkungan di selu­ruh Indonesia sebesar 270 juta dolar AS (sekitar Rp 2,43 triliun) un­tuk kurun waktu 2003-2011. Sa­lah satunya adalah proyek bio­remediasi atau pemulihan kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi minyak.

Salah satu proyek bioremediasi itu dilakukan di Duri, Riau. Pro­yek di Riau itu dikerjakan PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Namun, saat diselidiki Kejagung, dua pe­ru­sahaan itu tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi sebagai perusahaan yang berge­rak di bidang pengolahan limbah.

Kedua perusahaan itu hanya perusahaan kontraktor umum, se­hingga tidak layak melaksanakan proyek bioremediasi. Proyeknya juga tidak dikerjakan alias fiktif. Padahal, dana bioremediasi itu te­lah dicairkan BP Migas. Se­hing­ga, menurut Kejagung, be­r­da­sar­­kan hasil audit BPK, keru­gian ne­gara dalam kasus ini se­kitar Rp 100 miliar.

REKA ULANG

Tersangka Minta Kasus Chevron Dihentikan

Kuasa hukum tersangka dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Ma­qdir Ismail meminta Ke­jak­saan Agung menghentikan kasus dugaan bioremediasi fiktif ini.

Permintaan itu dilontarkan Maq­dir setelah empat hakim tung­­gal Pengadilan Negeri Ja­karta Selatan mengabulkan seba­gian gugatan praperadilan yang di­ajukan empat tersangka dari pi­hak Chevron.

“Ka­sus ini harus di­hentikan, karena alasan pe­ne­ta­pan tersangka itu tidak ada,” ka­ta­nya seusai si­dang putusan ha­kim praperadilan pada Selasa, 27 November lalu.

Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat kar­yawan Chevron agar Ke­ja­gung menghentikan penyidikan kasus ini. Namun, katanya, hakim me­nya­takan penetapan tersangka dan penahanan tersangka itu tidak sah, se­hingga penyidikan harus digugurkan.

“Kalau tidak sah jadi tersang­ka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus ditu­tup, kecuali kejaksaan punya ter­sangka baru. Menurut hakim, pe­netapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,” tandasnya.

Sedangkan menurut Jaksa Agung Basrief Arief, ketetapan ha­kim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan yang di­a­jukan empat tersangka dari PT CPI itu, bermasalah.

 Hakim menetapkan, salah seorang tersangka, penetapan status tersangkanya tidak sah. Dan, empat tersangka dari Chev­ron itu ditetapkan agar segera di­lepaskan dari rumah tahanan.

“Ada satu tersangka, diantara empat tersangka itu, yang putu­san hakimnya mengenai pe­ne­ta­pan tersangka yang tidak sah,” kata Basrief di Gedung Kejak­saan Agung, Jakarta, Jumat, 30 November lalu.

Lantaran itu, Basrief meme­rin­tahkan anak buahnya untuk me­meriksa semua proses pra­per­a­dilan tersebut. Soalnya, pe­ne­ta­pan status tersangka, bukan ranah prapera­dilan. “Yang punya ke­we­nangan da­lam menetapkan ter­sangka itu adalah penyidik,” tan­das bekas Jak­sa Agung Muda Intelijen ini.

Kejaksaan Agung menilai, yang bermasalah itu adalah putu­san hakim Sukoharsono atas pra­peradilan yang diajukan ter­sang­ka Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South (SLS) PT CPI.

Begini ceritanya, dalam putu­san yang dibacakan serentak di empat ruang sidang PN Jaksel pada Selasa, 27 November lalu, empat hakim tunggal me­nya­ta­kan penahanan terhadap empat tersangka oleh penyidik Ke­ja­gung tidak sah, karena tidak di­da­s­ari bukti yang cukup seba­gai­mana diatur Pasal 183 KUHAP.

Yang menimbulkan keberatan Kejagung, salah satu dari empat ha­kim tunggal, yakni Suko­har­sono juga mengabulkan per­mo­honan Bachtiar agar penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah. Bukan sekadar pena­ha­nan­nya yang tidak sah.

Sedangkan menurut Kejagung, sah atau tidaknya penetapan ter­sangka, bukan ranah prape­ra­di­lan. Soalnya, penetapan ter­sang­ka itu menyangkut materi perkara yang harus dibuktikan di penga­di­lan, bukan praperadilan.

Sedangkan tiga hakim yang me­nangani permohonan tiga ter­sangka lain, hanya menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik yang tidak sah.  Bukan penetapan tersangkanya.

Empat hakim tunggal yang menangani praperadilan ini, yak­ni M Samiadji menangani permo­honan tersangka Widodo, Suko Harsono menangani permohonan tersangka Bachtiar Abdul Fatah, Haryono menangani permohonan tersangka Kukuh Restafari, dan Ari Jiwantara menangani per­mo­honan tersangka Endah Ru­m­bi­yan­ti. Empat hakim itu memu­tus­kan menerima sebagian dari per­mohonan praperadilan yang di­ajukan keempat pemohon itu.

Menurut Basrief Arief, Keja­gung tidak berhenti menangani ka­sus yang diduga merugikan negara hampir Rp 100 miliar ini. Dia me­nyatakan, Kejagung tetap berupa­ya membawa para ter­sang­ka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. “Kalau sudah se­lesai se­mua pem­berkasan, tentu akan kami lim­pahkan. Sekarang ma­sih tahap pemberkasan,” ujar­nya saat itu.

Mestinya Sigap Dan Gerak Cepat

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­ngingatkan kejaksaan agar tidak setengah hati menangani kasus Chevron. Soalnya, kejaksaan baru melimpahkan lima ter­sang­ka ke Pengadilan Tipikor Ja­karta. Padahal, tersangka ka­sus ini tujuh orang.

Salah seorang tersangka, yakni Alexiat Tirtawidjaja hing­ga kini masih berada di Ame­rika Serikat. Dia tak kunjung ha­dir ke Indonesia untuk men­jalani pemeriksaan dan pem­ber­kasan. “Dia kan sudah janji akan datang setelah enam bu­lan. Jika sampai kini tak datang, maka harus dilakukan upaya serius, seperti pemanggilan pak­sa,” tandas Andi.

Menurutnya, tersangka se­perti Alexiat tidak begitu saja akan datang hanya karena telah berjanji. Karena itu, lanjut dia, seharusnya Kejaksaan Agung sigap dan bertindak cepat. “Ja­ngan sampai masyarakat me­li­hat ada yang tidak beres. Yang lain mulai disidangkan, tapi ada yang dibiarkan begitu saja. Ini akan menimbulkan kecurigaan masyarakat,” katanya.

Bagi Andi, semua tersangka semestinya diperlakukan sama. Yakni, diperiksa, diberkas dan diadili. “Juga perlu dilakukan upaya penahanan seperti ter­sangka lain yang sudah dita­han,” ujarnya.

Sejauh ini, Andi menilai, ke­jak­saan seperti berpuas diri bisa membawa beberapa tersangka ke persidangan. Tentu saja hal itu bisa menimbulkan kecu­ri­ga­an publik, kenapa ada tersangka yang tak kunjung dibawa ke pengadilan, bahkan belum per­nah diperiksa.

“Harusnya kejaksaan mela­ku­kan upaya apapun untuk me­nangkap tersangka dan mem­buk­tikannya di pengadilan. Se­hingga, masyarakat tidak curiga bahwa kejaksaan tidak me­mi­li­ki itikad baik menuntaskan se­mua kasus ini,” ujarnya.

Lantaran itu, Andi berharap Kejaksaan Agung mengusut se­mua yang terlibat dalam kasus ini. “Segera tangkap tersangka yang masih berkeliaran,” tan­dasnya.

Semua Tersangka Mesti Diperiksa

Alex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung Muda

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya yakin, setiap orang yang telah ditetapkan se­ba­gai tersangka, bisa dipanggil untuk diperiksa. Termasuk ter­sangka Alexiat Tirtawidjaja, Ge­neral Manajer Sumatera Light North (SLN) Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang kini berada di Ame­rika Serikat.

Prosedur resminya, lanjut Alex, yakni membuat surat pe­manggilan terhadap tersangka terlebih dahulu, kemudian me­mo­hon Kementerian Luar Ne­geri untuk berkoordinasi de­ngan Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat. “Asal jelas di mana alamatnya, di mana ke­beradaannya, statusnya seperti apa, dia pasti bisa dipanggil se­cara resmi,” ujar pria yang 40 ta­hun bekerja sebagai jaksa ini.

Setelah dilakukan pemang­gi­lan secara resmi, tapi yang bersangkutan tak kunjung hadir, tentu akan dilakukan upaya pak­sa. “Perlu diingat, bila sete­lah dua kali pemanggilan di­la­ku­kan secara patut namun tak datang, tentu ada upaya pen­jem­putan atau pemanggilan pak­sa oleh kejaksaan,” tandasnya.

Menurutnya, pemanggilan paksa itu dilakukan jika tak ada itikad baik dan tak ada kemauan tersangka untuk memenuhi pang­gilan. “Tersangka seperti itu, mesti diberlakukan sebagai buronan dengan memasukkan namanya ke daftar pencarian orang. Untuk urusan ini, kerja­sa­manya dengan Interpol,” kata pria asal Gorontalo ini.

Dia menambahkan, keha­di­ran Alexiat sebagai tersangka di­perlukan untuk pemeriksaan dan pemberkasan. Sehingga, kasus ini bisa ditangani sampai tuntas. Apalagi, katanya, Ale­xiat pernah berjanji akan hadir ke Indonesia setelah enam bu­lan penetapannya sebagai ter­sangka. “Jika semua prosedur sudah dilaksanakan, tapi  yang bersangkutan tak juga datang, maka harus ada tindakan tegas,” tandasnya.

Mengingat lima tersangka ka­sus ini sudah memasuki pro­ses persidangan di Penga­dilan Ti­pikor Jakarta, lanjutnya, maka sangat mencurigakan bila seorang tersangka dibiarkan ti­dak menjalani pemeriksaan dan pemberkasan.

“Segeralah ambil tindakan,” ujar Ketua Umum Ke­satuan Aksi Pemuda Pelajar Indone­sia Sumatera Selatan Angkatan 66 ini.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA