Komisi Yudisial (KY) merekomendasikan dua hakim ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) awal 2013. Salah satu dari hakim itu adalah perempuan yang dituduh selingkuh. Satu hakim lainnya diduga menerima uang suap dari pengacara.
Informasi yang dihimpun meÂnyebutkan, hakim perempuan yang dimaksud adalah hakim saÂlah satu Pengadilan Negeri (PN) di Sumatera Utara. TindaÂkan asuÂsila yang dituduhkan keÂpaÂdaÂnya, diduga terjadi tatkala hakim ini masih dinas di Pulau Jawa.
Hal tersebut diamini Juru BiÂcara KY Asep Rahmat Fadjar. Dia menyatakan, dugaan pelanggaran oleh hakim wanita ini sudah diÂidenÂtifikasi sebelum hakim terseÂbut dimutasi ke Sumatera.
Menurut dia, analisis terhadap laporan perkara selingkuh hakim ini, sudah dilakukan oleh KY. “KY sudah memeriksa pelapor, saksi-saksi dan hakim yang menÂjadi terlapor kasus ini,†ujarnya.
Dia menolak menyebutkan nama hakim wanita yang dimakÂsud. Asep juga tidak mau menÂjelaskan, dengan siapakah hakim tersebut berselingkuh.
Asep menyebutkan, rekomenÂdasi KY agar Mahkamah Agung (MA) menggelar MKH awal taÂhun 2013, dilaksanakan sesuai meÂkanisme yang ada. Intinya, apaÂbila KY sudah mereÂkoÂmenÂdasikan sanksi, berarti seluruh rangÂkaian proses di KY sudah seÂlesai. “Termasuk pemeriksaan seÂmua pihak,†ucapnya.
Ia menambahkan, bagaimana detail peristiwanya dan sanksi terhadap hakim ini, akan dibuka dalam sidang MKH. Masyarakat akan mengetahuinya melalui siÂdang tersebut. “MKH yang punya wewenang untuk mengungkap hal ini,†kata Asep.
Selanjutnya, Asep juga meÂngeÂmukakan, rekomendasi terkait dugaan pelanggaran hakim lainÂnya. Satu hakim yang diduga meÂlanggar kode etik dan profesi haÂkim itu, berjenis kelamin laki-laki. Menurutnya, dari peÂmeÂrikÂsaan KY, hakim yang dimaksud sampai saat ini masih bertugas di pengadilan wilayah Kalimantan.
Asep juga tidak menyebutkan identitas hakim ini secara speÂsifik. Tapi dia mengatakan, duÂgaÂan pelanggaran oleh hakim terÂseÂbut, terkait dugaan menerima uang suap dari seorang pengaÂcara. “Dia diduga menerima uang dari pengacara,†tandasnya.
Dia juga tidak merinci siapa peÂngacara yang memberikan uang kepada hakim itu, dan beÂrapa nominal uang yang diterima. Dia memastikan, penerimaan uang terkait dengan perkara yang ditangani hakim tersebut.
Dugaan penyelewengan ini, tambah dia, sudah diklarifikasi oleh KY. Rangkaian pemeriksaan terÂhadap pelapor, terlapor dan saksi-saksi sudah dilakukan. Jadi, menurutnya, bukti-bukti meÂnyangÂkut perkara hakim ini, suÂdah dikantongi KY.
Lantaran itu, KY berani mereÂkoÂmendasikan nama kedua haÂkim tersebut untuk dibawa ke sidang MKH. Dia mengeÂmuÂkaÂkan, dugaan pelanggaran kedua hakim itu masuk kategori berat. Maka, tandasnya, perlu diambil keputusan atau sanksi lewat meÂkanisme MKH.
“Jika pelangÂgaran dan sanksiÂnya masuk kÂaÂteÂgori berat, kita serahkan pada MKH. Tapi jika sanksi dan peÂlanggarannya riÂngan, bisa kita ambil keÂputusan sendiri,†tuturnya.
Wakil Ketua KY Imam AnsÂhori Saleh membenarkan kabar tersebut. Dia bilang, rekomendasi KY berupa pemecatan terhadap hakim-hakim itu telah diÂsamÂpaikan ke MA. “Akan diadili daÂlam sidang MKH pada awal JaÂnuari,†tuturnya.
REKA ULANG
Sudah Ada Yang Dipecat Karena Mesum
Pada November 2011, dua haÂkim dipecat Majelis KehorÂmaÂtan Hakim (MKH) dalam sidang etik di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, lantaran terbukti berbuat mesum.
Dua hakim yang dipecat karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Hakim itu adalah Dwi Djanuwanto, haÂkim Pengadilan Negeri YogyaÂkarta yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri Kupang dan Dainuri, hakim Mahkamah SyaÂriah Tapaktuan.
MKH memutuskan, hakim Mahkamah Syariah Tapaktuan, DaiÂnuri terbukti melakukan peÂlangÂgaran berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku haÂkim. Karena itu, dia dipecat. DaiÂnuri terbukti melakukan asusila terhadap Evi Kusuma, wanita yang sedang melakukan gugatan cerai. Gugatan itu ditangani Dainuri.
“Terlapor mengakui telah berÂmeÂsraan dengan Evi Kusuma. TerÂlapor menggosok-gosok pungÂgung Evi dalam keadaan telanjang di sebuah hotel tempat terlapor menginap,†kata Ketua MKH Imam Soebechi saat memÂbacakan pertimbangannya.
Untuk terlapor hakim Dwi Djanuwanto, MKH juga meÂmuÂtuskan pemberhentian. Sebab, Dwi terbukti sering meminta tiket pesawat kepada terdakwa kasus yang ditanganinya. Dwi juga perÂnah diberikan sanksi oleh MA kaÂrena tidak disiplin, karena itu dia dipindahkan ke PN Kupang.
Selain itu, Dwi terbukti melaÂkuÂkan perbuatan tercela. “MeÂngiÂrimkan SMS yang isinya tidak senonoh, yakni mengajak terÂdakÂwa menonton striptis yang lengÂkap dengan cewek yang bisa diÂpangku, dan disuruh mengisap-isap dengan bayaran Rp 500 ribu per jam,†ujar anggota MKH Abbas Said saat membacakan pertimbangan MKH.
Dwi, menurut MKH, juga saÂngat tidak disiplin, sering terÂlambÂat siÂdang karena bolak balik Kupang YogÂyakarta. “Bahkan tidak tahu jadwal persidanganÂnya. Sudah seÂring terjadi,†ujar Abbas Said.
MKH terdiri dari tiga unsur MA dan empat unsur KY. Dalam peÂmecatan dua hakim itu, MKH yang berasal dari MA adalah Imam Soebechi (Ketua MKH), Hamdan dan Surya Jaya. SeÂdangÂkan empat anggota MKH dari KY adalah Imam Anshori Saleh, Suparman Marjuki, Abbas Said dan Taufiqurrohman Syahruri.
MKH dengan ketua dan perÂsonel yang sama, juga menÂjaÂtuhÂkan sanksi bagi hakim Jonlar Purba. Tapi, hakim yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Wamena ini, hanya dijatuhi huÂkuman berupa pemotongan uang tunjangan selama tiga bulan seÂbesar 75 persen.
MKH tidak bisa membuktikan bahwa Jonlar berjanji memÂbeÂbaskan terdakwa dengan imbalan Rp 125 juta. Namun, Jonlar mengakui pernah berkomunikasi dengan terpidana kasus illegal logging Mulyadi Bantang lewat telepon. Hal itulah yang membuat MKH memutuskan, Jonlar telah melanggar kode etik hakim, kendati unsur penerimaan uang tidak terbukti.
“Hakim terlapor mengaku perÂnah menerima telepon dari terÂdakwa illegal logging bernama Mulyadi Bantang tanpa sengaja. Konteks perbincangan itu memÂberikan persangkaan, selama ini terjadi komunikasi kuat antara Mulyadi dan hakim terlapor di luar persidangan,†ujar anggota MKH Imam Anshori Saleh saat membacakan pertimbangan.
Dalam komunikasi via telepon itu, menurut Imam, Mulyadi meÂnyampaikan kepada Jonlar bahwa upaya banding yang dia lakukan sudah turun putusannya. HasilÂnya, putusan banding meÂnguatÂkan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim tingkat sebÂeÂlumnya. Mendengar keluhan itu, Jonlar mengeluarkan saran untuk Mulyadi. “Silakan ajukan kasasi jika tidak puas putusan banding,†ujar Imam mengutip saran Jonlar kepada Mulyadi.
MA Dan KY Mesti Tingkatkan Upaya Pencegahan
Aditya Mufti Ariffin, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Aditya Mufti Ariffin meÂngiÂngatÂkan, fungsi pencegahan oleh Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY) idealnya ditingkatkan. PeningÂkatan itu sangat perlu dÂiÂlaÂkuÂkan, mengingat masih banyak peÂlanggaran oleh hakim.
“Jadi menurut saya, pengaÂwaÂsan oleh MA dan KY tidak hanya mengoptimalkan bidang penindakan saja. MA dan KY hendaknya mau berkoordinasi untuk melakukan rangkaian pencegahan,†kata anggota DPR dari PPP ini.
Artinya, sebelum ada pelangÂgaran, sudah ada action yang konekret dari MA dan KY daÂlam mengantisipasi atau menÂceÂgahnya. Apalagi, dia meÂnamÂbahkan, mafia peradilan itu akan selalu ada. Hal ini sulit diÂberantas. Karena pada prinÂsipnya, semua orang tidak ingin dihukum.
Akan tetapi, pola-pola pemÂbeÂlaan ini seyogyanya dilaÂkuÂkan secara terukur. Hakim-haÂkim yang menjadi benteng terÂakhir dalam menegakkan huÂkum, semestinya bertindak proÂfesional. “Mengedepankan kode etik dan nuraninya,†tutur dia.
Selama hal tersebut tidak bisa diaplikasikan, bukan tak mungÂkin, nasib penegakan hukum menjadi berantakan alias porak-poranda. Selalu, sambungnya, mafia peradilan akan berupaya mendominasi wajah hukum di sana-sini.
“Dengan dalih tertentu, perÂsoalan selingkuh hakim dan suap akan selalu terjadi secara berkesinambungan. Karena itu, seluruh komponen masyarakat mesti mengawal langkah peÂneÂgakan hukum dari hulu hingga hilir,†katanya.
Keterbukaan Jadi Amunisi Perangi Mafia
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI
Sekjen Perhimpunan MagisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan menyatakan, peÂnindakan terhadap hakim nakal hendaknya tak menunggu rekomendasi Komisi Yudisial (KY). Soalnya, Mahkamah Agung (MA) memiliki komÂpeÂtensi untuk mengambil tindakan serta menjatuhkan sanksi pada hakim-hakim nakal.
“Di sini masih terlihat ada keÂlemahan dari Mahkamah Agung. Mereka kebanyakan baru meÂnindaklanjuti persoalan hakim nakal setelah ada rekomendasi dari KY,†katanya.
Hal itu, menurut Iwan, tidak seÂpenuhnya salah. Namun, alangkah bijaksananya jika biÂdang pengawasan di MA, juga mau transparan atau bertindak proporsional dalam menyikapi persoalan tersebut. Bukan maÂlah menyembunyikan persoalan hakim-hakim ini dari publik.
Dia menekankan, keterbÂuÂkaÂan MA sangat dinantikan maÂsyaÂrakat. Dari keterbukaan ini, masyarakat dapat memperoleh gambaran mengenai penguÂsuÂtan perkara dan profesionalisme hakim. Dari keterbukaan ini pula, harap dia, masyarakat atau publik mendapat amunisi untuk memerangi mafia peradilan.
Iwan meyakini, MA bukan tiÂdak mampu menangani perÂsoaÂlan seperti ini. Melainkan meÂrasa tidak enak atau sungkan dalam menindak hakim-hakim nakal. “Kerap ada anggapan jeruk kok makan jeruk. AnÂgÂgapan tersebut mungkin masih berlaku,†ujarnya.
Tapi, jika hal tersebut diÂlesÂtaÂrikan, maka sangat disÂaÂyangÂkan. Kredibilitas hakim-hakim yang bagus menjadi sia-sia akiÂbat polah oknum-oknum hakim nakal, tapi tidak ditindak.
Hal ini menjadi faktor yang mengÂganjal kemandirian haÂkim. Mau tidak mau, kondisi terÂsebut membuat penilaian masyarakat pada lembaga peradilan ikut tergerus.
“Di sinilah tantangannya. BaÂgaimana MA mampu meÂnyiÂkapi persoalan mengenai haÂkim-hakim nakal secara proÂporÂsional dengan mengedepankan keterbukaan,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: