Jaksa memutar rekaman telepon antara Komisaris Independen PT Bhakti Investama Antonius Z Tonbeng dengan konsultan pajak James Gunaryo. Jaksa juga menunjukkan bukti dugaan keterlibatan Tonbeng, saat mengurus pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya cabang Wonocolo, Jawa Timur.
Rekaman sadapan telepon ini diÂputar dalam sidang perkara suap pengurusan pajak PT Bhakti deÂngan terdakwa petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno. Tommy adalah pegawai KPP Sidoardjo, Jawa Timur. Tommy didakwa meÂÂnerima suap Rp 280 juta dari terÂÂpidana James Gunaryo.
Guna memperoleh kepastian penerimaan suap berikut asal-usul uang suap, jaksa penuntut umum (JPU) Medi Iskandar dkk menghadirkan saksi Antonius Tonbeng. Kehadirannya dinilai penÂting dalam mengungkap dÂuÂgaaÂn keterlibatan orang dalam PT Bhakti. Apalagi, selama ini TonÂbeng mengaku tidak kenal deÂngan terpidana James.
Substansi rekaman ini berisi renÂcana penyerahan komisi Rp 340 juta kepada Tommy. Percakapan via telepon itu terjadi pada 24 Mei 2012. Dalam rekaman, terÂdeÂngar terpidana James menyaÂtaÂkan, “Itu kan 10 persen, Pak. Kita kan selama ini minta Rp 330 juta. Kalau 10 persen naik jadi Rp 340 juta. Nanti saya ngomong ke sana Rp 330 juta. Yang 10 kita baÂgi dua, mau nggak, Pak?â€
Tonbeng menimpali, “Itu kebaÂnyakan Rp 330 juta.†Namun JaÂmes balik mengatakan, “Justru meÂreka sudah ngomong begitu.†Maksudnya, sudah ada keseÂpaÂkatan fee untuk pengurusan pajak PT Bhakti dengan Tommy.
Tonbeng pun mengatakan keÂpada James agar dirinya tak perlu diberi jatah komisi. “Kalau saya tiÂdak usah.†Namun, James meÂnyaÂÂtakan, “Nggak apa-apa, kan BaÂÂpak juga perlu.†Mendengar pernyataan tersebut, Tonbeng meÂÂÂngatakan, “Harusnya Lu ngamÂÂbil lebih besaran.†James meÂÂnimpali “Nggak apa-apa sih.â€
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin siang (17/9), Tonbeng membantah kenal dengan James dan Tommy. Dia juga menyebutkan, selama ini biasa dipanggil Tonbeng.
Jadi, kaÂtanya membela diri, aneh bila daÂlam rekaman telepon, James meÂmanggilnya dengan sebutan Anton.
Kurang puas dengan paparan rekaman tersebut, jaksa pun meÂnunjukkan tandatangan Tonbeng dalam pengurusan pajak perusaÂhaan Mobile 8 dan Smartfren di KPP Wonocolo, Surabaya, Jawa TiÂmur kepada majelis hakim.
Lalu, jaksa Medi bertanya keÂpada Tonbeng ikhwal pembaÂyaÂran bea konseling bersama mitra bisnisnya PT Jaya Nusantara (JN) di KPP Surabaya cabang WonoÂcolo. “Apa benar dalam dokumen bea konseling dengan petugas KPP Surabaya Wonocolo Nina Juniarsih itu, adalah tandatangan saudara?â€
Tonbeng menjawab, “Ya, itu tanÂdatangan saya.†Padahal sebeÂlumnya, Tonbeng mengaku tidak pernah mengurus pajak Mobile 8 di KPP Surabaya Wonocolo, tapi dalam dokumen ada tandataÂnganÂnya. Tonbeng juga membantah pernah bertemu Nina Juniarsih, seÂlaÂku petugas pajak yang memÂberikan konseling kepada TonÂbeng saat penjualan barang MoÂbile 8 ke PT JN.
“Saya enggak ketemu dengan Nina. Kalau tandatangan itu kan bisa dititipkan. Saya lupa tanÂdaÂtangannya kapan,†tepisnya.
Dia berulangkali mengatakan tak pernah mengurusi pajak MoÂbile 8 dan Smartfren di KPP SuraÂbaya Wonocolo, karena provider telekomunikasi itu sudah dijual kepada pihak lain. Dia mengakui, Mobile 8 pernah di bawah keÂmuÂdi Global Mediacom, anak usaha PT Bhakti.
Namun Medi tidak mau kalah. Ia mengungkapkan, saksi TonÂbeng pernah ke KPP Surabaya WoÂnocolo. Karena setelah konÂselÂing dengan petugas pajak, sakÂsi meÂnandatangan bea konseling. “Tandatangannya tidak bisa diÂwaÂkili pihak lain,†tegasnya.
REKA ULNG
Cerita Tentang Tonbeng Di Wonocolo
Kesaksian Nina Juniarsih, petugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya Wonocolo, Jawa Timur pada pekan lalu di PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta, lagi-lagi meÂnyeret nama petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno.
Nina menceritakan, Tommy daÂtang ke KPP Wonocolo SuraÂbaya pada 21 Maret 2012. Dia daÂtang bersama petugas KPP MulÂyorejo, Hamsah yang sudah meÂngenal Nina. Hamsah meÂngeÂnalÂkan Tommy ke Nina, dan bawaÂhanÂnya Rizal Rahmat Hidayat.
Saat menemui Nina dan Rizal, Tommy menerangkan, kedaÂtaÂnganÂnya untuk mengurus pajak traÂnsaksi penjualan antara Mobile 8 dan PT Jaya Nusantara (JN) seÂnilai Rp 298 miliar. Soalnya, PT JN merupakan wajib pajak di baÂwah KPP Surabaya Wonocolo.
“Dia menjelaskan akan meÂnyelesaikan transaksi PT Jaya NuÂsantara dengan Mobile 8. Dia tidak membawa surat tugas, tidak membawa surat kuasa,†katanya.
Setelah pencarian informasi soal pajak PT JN ditolak Nina, Tommy datang untuk kedua kalinya ke KPP Wonocolo pada 24 Mei 2012. Saat itu Nina langÂsung menanyakan surat kuasa kepada Tommy. Ia bahkan terÂkejut, kenapa Tommy tahu soal pajak PT JN.
Karena tak membawa surat kuasa, Tommy pulang dan tak kembali lagi mencari informasi ke KPP Surabaya Wonocolo. NaÂmun dari pertemuan itu, Nina tahu bahwa di belakang Mobile 8, yang berurusan pajak dengan PT JN, adalah MNC.
Saksi Rizal pun menjelaskan, ada transaksi antara Mobile 8 dan PT JN. Mobile 8 menjual barang kepada PT JN, dan mengaku telah membayar pajak pertambahan nilai pembelian barang. Namun daÂlam laporan pajak, PT JN tidak menyebutkan hal itu. Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan KPP Surabaya Wonocolo.
Nina, lalu meminta kepada IsÂwati, utusan PT JN untuk meÂnunÂjukkan faktur retour barang jika memang tidak membeli barang dari Mobile 8. Ia mengancam, jika PT JN tak bisa menunjukkan fakÂtur retour, KPP Surabaya WoÂnÂoÂcolo menganggap transaksi deÂngan Mobile 8 memang benar ada.
Nina pun menjanjikan akan meÂmanggil Antonius Z Tonbeng dari Mobile 8 untuk diÂperÂteÂmuÂkan dengan Iswati dari PT JN. Ia mengaku tidak tahu menahu poÂsisi Antonius di Mobile 8. Tapi keÂmudian, keduanya datang ke KPP Surabaya Wonocolo mengÂhadap Nina pada 4 Juni 2012, diÂteÂmani Rizal dan atasannya.
“Selama ini Pak Anton, yang meÂngurus masalah perpajakan (Mobile 8). Saya bilang terus teÂrang ke dia, Pak, Anda tidak boÂleh menyuruh orang pajak seÂbaÂgai konsultan,†katanya. Dia meÂnerangkan, konsultan yang diÂmakÂsud adalah Tommy.
Anton yang belakangan dikeÂtahui sebagai Komisaris InÂdeÂpenÂden PT Bhakti Investama, memÂberi alasan kenapa minta tolong Tommy yang bertugas di bagian pengawasan dan konsultasi KPP Sidoarjo Selatan. “Selama ini kaÂlau di Jakarta saya turun sendiri, Bu. Tapi ini di Surabaya,†kata Nina menirukan pernyataan Tonbeng saat itu.
Saksi Dharma Putrawati, salah satu Direktur PT Bhakti InÂvesÂtama pun membenarkan bahwa Mobile 8 merupakan anak peruÂsaÂhaan Bhakti. Namun peruÂsaÂhaÂan tersebut sudah dijual tiga samÂpai empat tahun lalu. Ia meÂnyaÂtaÂkan, Antonius adalah Komisaris Independen PT Bhakti, tapi tak mengurusi pajak.
Menurut jaksa Medi Iskandar, kesaksian Nina dan Rizal cukup membuktikan bahwa terdakwa Tommy mengurusi pajak di baÂnyak perusahaan, salah satunya Mobile 8, dan Antonius Tonbeng tahu hal ini. Tapi, Tonbeng memÂbantah mengenal Tommy.
KPK Sudah Tahu Siapa Lagi Yang Terlibat
Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono meminta seÂmua piÂhak menjunjung obyekÂtifitas huÂkum. Artinya, apa dan bagaiÂmana peran seseorang dalam kaÂsus hukum, hendaknya ditaÂngaÂni secara proporsional.
Dia menilai, kasus suap terÂhaÂdap petugas Ditjen Pajak TomÂmy Hindratno masuk kaÂteÂgori persoalan yang koÂmÂpleks. Masalahnya, kasus ini diduga tak sebatas masalah suap Rp 280 juta. Melainkan, diduga ada konspirasi pajak yang lebih besar lagi.
Rindhoko mencermati, berÂdaÂsarkan fakta dan kesaksian yang ada, peran komisaris indeÂpenden di sini sangat tidak kreÂdibel. Menurutnya, komisaris independen itu punya posisi memberi masukan pada direkÂtur. Dia memiliki peran doÂmiÂnan saat rapat umum pemegang saÂham atau rapat umum peÂmeÂgang saham luar biasa diÂlaÂkuÂkan. “Jadi, patut diduga ada kongÂkaÂliÂkong di sini,†tandasnya.
Tapi, lanjut dia, permainan atau konspirasi seperti ini bukan hal yang aneh. Dia mÂengÂinÂforÂmasikan, banyak komisaris peÂrusahaan yang turun ke laÂpaÂngan. Mereka mengambil peran sebagai lobiis. Bahkan, banyak juga komisaris yang bisa meÂngeluarkan surat perintah kerja. “Jadi perannya melebihi diÂrekÂtur,†katanya.
Hal seperti ini, papar dia, bisa terjadi dalam kasus korupsi. Dia yakin, KPK dan hakim yang menangani skandal ini sudah tahu apa yang harus dilakukan. Intinya, Rindhoko berharap KPK berani mengambil teroboÂsan dalam menentukan kelanÂjutan pengusutan kasus ini.
Bukan sekadar menunggu fakÂta-fakta yang berkembang di persidangan. “Saya rasa KPK suÂdah tahu, siapa lagi yang terÂlibat dalam kasus ini. Karena itu, saya mendorong KPK agar mengambil tindakan hukum lebih tegas dalam menyikapi perÂsoalan tersebut,†tandas angÂÂgota DPR dari Partai HaÂnura ini.
Yang Terpojok Biasanya Berikan Perlawanan
Alfons Leomau, Purnawirawan Polri
Kombes (Purn) Alfons LeoÂmau mengingatkan, KPK perlu mencermati fakta persidangan kasus suap petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno. Jika sudah memiliki bukti-bukti yang cuÂkup, dia yakin KPK akan meÂneÂtapkan tersangka baru kasus ini.
“Penetapan status tersangka harus didasari dua alat bukti yang cukup. Tidak bisa semÂbaÂrangan. FakÂta-fakta perÂsiÂdaÂngan harus dikolaborasi dengan data dan bukti-bukti lainnya,†ujar dia, kemarin.
Menurut Alfons, penyidik KPK memiliki pedoman dalam melaksanakan tugas penyidiÂkan tersebut. Dari pengalaÂmanÂnya seÂlama ini, terdakwa, saksi atau orang yang terpojok kaÂsus huÂkum, akan memÂberiÂkan perÂlaÂwanan.
“Itu sudah naluri dasar maÂnusia. Karena itu, menjadi keÂwajiban penyidik untuk mengÂkombinasikan keÂteÂraÂngan, bukÂti-bukti dan fakta perÂsidaÂngan deÂngan pasal yang ada,†katanya.
Dari situ, lanjut Alfons, nanÂtinya dapat ditentukan, apakah seseorang, atau saksi seperti daÂlam kasus ini bisa ditingÂkatkan statusnya menjadi tersangka atau tidak. “Di sinilah kepiaÂwaiÂan penyidik diuji,†ucapnya.
Dia menambahkan, naluri mempertahanan diri saksi, seÂringkali mengalahkan nuraniÂnya. Karenanya, dia mengiÂngatÂkan, penegak hukum harus benar-benar mampu menelaah dan mencermati semua rangÂkaian yang ada.
Hal ini penting, apalagi dituÂjukan untuk meÂngungkap dugaÂan keterlibatan pihak lain. Atau lebih dikenal dengan istilah beÂking suatu perÂkara. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: