Neneng Pengontrol Keuangan Perusahaan Nazaruddin

Perkara Korupsi Proyek PLTS Kemenakertrans

Minggu, 16 Desember 2012, 09:01 WIB
Neneng Pengontrol Keuangan Perusahaan Nazaruddin
Neneng Sri Wahyuni

rmol news logo Saksi kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menyebut, Neneng Sri Wahyuni menjadi penentu proyek yang diikuti PT Alfindo Nuratama Perkasa (ANP).

Yulianis, bekas Direktur Ke­uangan PT Anugerah Nusantara menyebutkan, perusahaan itu adalah anak dari PT Anugerah Nu­santara (AN) milik M Na­za­rud­din, suami Neneng. Dalam kesaksian­nya, ia mengisahkan awal pertama mengenal sosok Neneng.

Katanya, ia pertama bergabung dengan PT AN pada akhir Agus­tus 2008. Saat itu, ia mulai kenal de­ngan terdakwa Neneng. Bah­kan, dia sempat menilai, Neneng se­bagai pemilik PT AN. Ke­sim­pulan itu diambil lantaran melihat pe­ran Nenang yang sangat vital dalam perusahaan.

Kesaksian ini jelas-jelas ber­beda dengan keterangan Neneng yang selama ini mengaku sebagai ibu rumah tangga. “Anggapan saya, dia itu sebagai pemililik pe­ru­sahaan, karena sebuah per­se­tu­juan harus diketahui dia dan di­te­ruskan kemudian ke Pak Na­zar,” katanya.

Lalu majelis hakim me­lan­jut­kan, sepengetahuan saksi, peran signifikan apa yang dilakukan Ne­neng? Yulianis menyatakan, Ne­neng dan Nazaruddin selalu terlibat penandatanganan per­se­tuj­uan pengeluaran uang PT AN.

Termasuk, pengeluaran uang un­tuk mengurusi proyek PLTS Ke­menakertrans 2008 yang be­la­kangan bermasalah. Dia me­nam­bahkan, proyek PLTS ini awalnya diajukan oleh Oktarina Furi kepadanya.

Yulianis pun mengecek data mengenai proyek tersebut. Begitu data proyek dianggap valid, dia meneruskan data tersebut kepada Neneng. “Saya yang me­mu­tus­kan data tersebut benar atau ti­dak,” ucapnya.

Akan tetapi, sambung dia, be­gitu masuk tahun 2009, peran Ne­neng di perusahaan mulai ber­kurang. Bahkan sebutnya, Ne­neng sudah tidak pernah ikut cam­pur tangan mengurusi pro­yek. “Hanya memantau ke­uangan,” tandasnya.

Mekanisme pemantauan ke­uangan dilakukan Neneng lewat cara menelepon. Kadang sebut dia, Neneng yang menelepon, tapi kadang sebaliknya, Yulianis yang menelepon memberi lapo­ran keuangan perusahaan. Dia mengaku tidak tahu, kena­pa Ne­neng lebih memilih me­man­tau keuangan perusahaan me­lalui telepon.

Saksi lain, staf Keuangan PT AN Oktarina Furi menyebutkan, tugasnya hanya memberi laporan ke­pada Yulianis. Hal yang dila­porkan dalam perkara PLTS ini berkaitan dengan data proyek.

“Semua saya laporkan kepada ata­san saya,” terangnya. Akan te­tapi, dia tak mengetahui m­e­ka­nisme pembayaran yang diterima dan dilakukan PT ANP saat me­ngurusi proyek PLTS.

Penjelasan saksi Oktarina ini diamini oleh saksi Timas Ginting, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek PLTS-Kemena­ker­tans. Dia menyebutkan, be­ker­ja­sama de­ngan perusahaan rekanan Ke­me­n­akertrans yakni, PT ANP.  Dia pun mengenal Neneng seba­gai sa­lah satu orang dari PT ANP ya­ng me­ngurusi proyek PLTS.

REKA ULANG

Neneng: Saya Ibu Rumah Tangga

Neneng Sri Wahyuni didakwa mengintervensi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan panitia pengadaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya Kemen­te­rian Tenaga Kerja dan Trans­mig­rasi tahun anggaran 2008. Inter­vensi ditujukan agar PT Alfindo Nuratama Perkasa (ANP) me­me­nangkan proyek tersebut.

Jaksa mendakwa Neneng dan suaminya, M Nazaruddin mem­per­kaya diri sendiri sebesar Rp 2,2 miliar dalam proyek ini. Selain aliran dana pada terdakwa, PPK proyek ini, Timas Ginting juga mendapat Rp 77 juta dan 2000 dolar Amerika Serikat.

Jaksa menyebutkan, panitia proyek kasus ini antara lain, Hardy Benry Simbolon mene­rima dana sebesar Rp 5 juta dan 10 ribu dolar Amerika, Sigid Mus­tofa Nurudin mendapat  Rp 10 juta dan 1000 dollar Amerika, Agus Suwahyono Rp 2,5 juta dan 3500 dolar Amerika, Sunarko Rp 2,5 juta dan 3500 dolar Amerika, Ari­fin Ahmad Rp 40 juta, dan Kar­min, utusan dari PT Nuratindo mendapat Rp 2,5 juta.

Jaksa Ahmad Burhanuddin mendakwa, tindakan terdakwa jelas-jelas merugikan keuangan negara hingga Rp 2,729 miliar.  Neneng didakwa ikut menga­lih­kan pekerjaan utama dari PT Alfindo Nuratama ke PT Sun­da­ya dalam proses pengadaan dan pemasangan PLTS.

PT Alfindo dipinjam bendera perusahaannya oleh PT Anugerah Nusantara yang juga bagian dari Grup Permai. “Telah memper­ka­ya diri terdakwa atau Nazaruddin atau PT Anugerah Nusantara Rp 2,2 miliar,” sebut jaksa.

Perbuatan Neneng diancam pidana Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman dalam kasus tersebut, 20 tahun penjara.

Tapi, Neneng membantah. Dia mengaku tidak menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Anugerah Nu­santara. “Status pekerjaan saya bukan Direktur Keuangan, saya ibu rumah tangga,” katanya seusai mendengar pembacaan dakwaan.

Dia menjawab, mengerti dak­waan yang disusun penuntut umum dari KPK. “Saya mengerti tapi menolak dakwaan,” ujarnya.

Kuasa hukumnya, Elza Syarief pun menekankan, dakwaan pada kliennya cacat hukum. “Secara akte maupun factual, dia bukan di­rektur. Berarti surat dakwaan itu sudah cacat hukum,” tegasnya.

Dia pun menyoal, kenapa KPK ti­dak menjadikan Yulianis ter­sang­ka. Padahal dalam BAP Yu­lianis tang­gal 1 Juni 2011, dia me­ngaku per­nah mengantarkan uang jutaan dolar ke oknum pejabat Kemenpora.

Kuasa hukum lainnya, Ju­ni­mart Girsang mengatakan dak­wa­an terhadap Neneng dipaksakan. “Sekarang buat apa tanda tangan kalau tidak masuk dalam akte, ti­dak ada gunannya. Jadi dakwaan itu dalam status pun sudah salah, kami berpendapat dakwaan itu di­p­aksakan,” imbuhnya.

Diketahui, dalam kasus ini, Ti­mas Ginting juga ikut dijerat se­ba­gai tersangka. Timas dianggap terbukti menyalahgunakan we­we­nang dalam menyetujui pem­bayaran supervisi PLTS kepada PT ANP.

Berharap Hakim Proporsional Menilai Saksi

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding menilai, ke­te­rangan saksi harus ditelusuri secara komprehensif.  Oleh se­bab itu, hakim hendaknya mam­pu memilah mana kesaksian yang mengandung kebenaran dan mana yang tidak.

“Pada sidang sebelumnya, ha­kim sudah pernah meminta jaksa untuk menjadikan saksi se­bagai tersangka,” katanya. Hal itu menunjukkan adanya ke­tegasan sikap hakim dalam membaca kesaksian seseorang.

Dia mengatakan, hakim yang menangani kasus ini adalah hakim yang punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Jadi dia yakin, penilaian hakim akan proporsional. Dia me­nga­kui, seringkali ada saksi yang punya motivasi tertentu. Oleh se­bab itu, ada beberapa kriteria saksi yang mesti diperhatikan.

Saksi-saksi ini tentu, adalah orang-orang yang mengetahui duduk perkara. Selain menge­ta­hui perkara, saksi juga bisa dikategorikan sebagai orang yang terlibat dalam perkara.

Dia mengharapkan, ketera­ngan saksi-saksi seperti Yu­lia­nis, Furi Oktarina dan Timas Gin­ting menjadi kunci dalam menyelesaikan persoalan ini.

Diingatkan, bila keterangan sak­si benar-benar mampu mem­­beri bantuan dalam me­nying­kap perkara, semua pihak hen­dak­nya tidak segan mem­be­ri­kan rekomendasi agar saksi mendapatkan perlindungan maksimal.

Dengan begitu, upaya pe­ne­gak hukum mencari kebenaran dapat berjalan secara wajar. “Berlangsung secara pro­por­sio­nal tanpa ada intervensi pihak luar,” katanya. Dia pun me­nam­bahkan, upaya hukum yang di­la­kukan pihak terdakwa, hen­daknya juga menjadi masukan atau pertimbangan dalam me­mutus perkara.

Keterlibatan Pihak Lain Belum Terungkap

Boyamin Saiman, Koordinator MAKI

Koordinator LSM Ma­sy­arakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman me­nilai, keterangan saksi yang ter­ungkap di persidangan menjadi petunjuk dalam menyelesaikan perkara ini. Lebih penting lagi, siapa pihak lain yang terlibat ka­sus ini hendaknya dapat di­kuak secara transparan.

“Masih ada dugaan keter­li­ba­tan pihak lain yang belum ter­ungkap. Peranan Yulianis yang sangat do­minan dalam kasus ini juga ma­sih terasa janggal,” katanya.

Karena itu, ia mem­per­ta­nya­kan langkah jaksa, hakim dan pe­nyidik kasus ini yang belum men­jadikan Yulianis sebagai ter­sang­ka. Dia yakin, hal itu ada dasarnya.

Dengan kata lain, penegak hukum mempunyai per­tim­ba­ngan atau pedoman dalam me­nentukan status seseorang. “Di sisi lain, hal itu harus dihormati. Itu kompetensi penegak hukum. Biar menjadi domain mereka,” terangnya.

Lebih jauh, dia berharap, per­si­dangan kasus PLTS bisa se­lesai secara proporsional. Selain memberikan hukuman yang setimpal pada pelakunya, juga di­harapkan mampu memberi efek jera pada pelaku lainnya.

Setidaknya, bilang dia, hakim maupun jaksa yang menangani kasus ini lebih mampu meng­ha­dirkan saksi-saksi yang kre­dibel. Dengan begitu, ke­sim­pulan atau kualitas putusan per­kara ini menjadi benar-benar profesional.

“Bisa benar-benar men­cer­min­kan azas keadilan bagi se­mua pihak. Terutama bagi pihak yang diduga sebagai pelaku ka­sus ini,” katanya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA