2 Pemilik Perusahaan Manajer Investasi Dituntut Lebih Ringan

Sidang Kasus Pembobolan Askrindo Rp 442 Miliar

Sabtu, 15 Desember 2012, 09:45 WIB
2 Pemilik Perusahaan Manajer Investasi Dituntut Lebih Ringan
PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo)

rmol news logo Tuntutan pada terdakwa kasus pembobolan dana PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) Markus Suryawan dan Beni Andreas lebih rendah dibanding tuntutan pada terdakwa lainnya. Kewajiban menyetor uang pengganti pun masih jauh di bawah angka kerugian negara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diketuai Esther P Sibuea, me­­nuntut Markus dan Beni lima tahun penjara. JPU juga baru me­nyita uang kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 60 miliar.

“Terdakwa satu dan terdakwa dua dituntut lima tahun penjara. Terdakwa juga diwajibkan meng­ganti keuangan negara Rp 60 mi­liar,” ujarnya dalam sidang di Pe­ngadilan Tipikor Jakarta.

Jaksa mempertimbangkan, tuntutan lima tahun penjara di­da­sari bukti kerugian negara RP 280 miliar. Dana tersebut, diperoleh ter­dakwa melalui pencairan kre­dit dari Askrindo.  Aliran dana kre­­­dit tersebut, oleh terdakwa di­kelola dalam perusahaan manajer investasi.

Tiga perusahaan investasi yang dikelola terdakwa adalah PT Ja­karta Aset Manajemen (JAM), PT Jakarta Investmen (JI), dan PT Ja­karta Securitas (JS). Ketiga pe­ru­sahaan manajer investasi ter­sebut, tambah jaksa, mengalirkan dana kredit ke PT Vitron, PT In­do­wan,  PT MMI dan PT Tranka Kabel (TK).

Namun dalam praktiknya, PT Vitron, Indowan dan MMI tidak mampu membayar kewa­ji­ban­nya. Justru pemilik PT Vitron me­larikan diri. Akibat tindakan ke­tiga perusahaan tersebut, kedua ter­­dakwa gagal memenuhi ke­wa­jiban mengembalikan dana ke­pada Askrindo.  Dalam kasus ini, PT TK  saja yang menurut jaksa memenuhi kewajibannya Rp 60 miliar.

Dana Rp 60 miliar ini, oleh jak­sa dianggap sebagai uang pe­ng­ganti kerugian Askrindo. “Tindak pidana itu dilakukan bersama-sama. Oleh karenanya, jaksa me­mohon agar hakim menjatuhkan hukuman sesuai tuntutan jaksa.”

Menanggapi hal tersebut, ke­dua terdakwa berniat mengajukan nota pembelaan pada sidang pe­kan depan.

Terpidana bekas Direktur Ke­uangan Askrindo Zulfan Lubis me­rasa terkejut dan kecewa men­dengar tuntutan jaksa. Dia me­ni­lai, tuntutan jaksa kurang fair. Soalnya, JPU hanya mengajukan tuntutan lima tahun terhadap Beni dan Markus.

Sedangkan dirinya dituntut hu­kuman 13 tahun pen­jara.  “Me­re­ka berdua tidak m­en­gem­balikan dana Askrindo Rp  280 milyar,” sebutnya, kemarin. “Perkara hu­kum ini tidak akan terjadi se­an­dainya mereka menyetorkan pem­bayaran nasabahnya kepada Askrindo,” tambahnya.

Zulfan mengingatkan, tuntutan tersebut jauh berbeda dengan tuntutan terhadap terdakwa lain yang berperan sebagai pekerja di perusahaan manajer investasi penerima dana Askrindo tersebut. Dia membandingkan, tuntutan terhadap Ervan Fajar dan Tengku Helmy, jauh di atas tuntutan terhadap Beni dan Markus.

“Ervan dan Tengku Helmy itu bu­kan pemilik perusahaan mana­jer investasi. Mereka juga tidak menerima dana Askrindo sebesar terdakwa Beni dan Markus,” tandasnya.

Oleh sebab itu, dia meng­ha­rap­kan, semua pihak yang memiliki kompetensi pengawasan terhadap kinerja jaksa, mengawasi per­si­dangan kasus ini. Jangan sampai, lanjut dia, tuntutan kali ini  tak merepresentasikan upaya sun­g­guh-sungguh dalam me­ngem­ba­likan kerugian Askrindo yang men­capai nominal Rp 400 miliar lebih. “Siapa yang harus menang­gung kerugian Askrindo  jika tun­tu­tan uang pengganti pada kedua terdakwa hanya disandarkan ke­pada pengembalian nasabah yang membayar,” tuturnya.

Dia menilai, jaksa belum terli­hat berupaya maksimal dalam mengembalikan kerugian ke­ua­ngan negara, mengingat Askrindo be­rada di bawah Badan Usaha Mi­lik Negara (BUMN).

Usaha jaksa, sebutnya, hanya mengan­dal­kan pembayaran dari  PT TK.  Dia pun berharap, ma­je­lis hakim memutus perkara ini se­cara adil.

REKA ULANG

Rp 407 M Belum Kembali Ke Kas Negara

Berdasarkan dakwaan jak­sa, perkara korupsi Askrindo mu­lai terungkap ketika perusahaan manajer investasi milik terdakwa Markus Suryawan dan terdakwa Beni Andreas, yaitu PT Jakarta Aset Managemen (JAM), PT Ja­karta Investment (JI) dan PT Ja­karta Securitas (JS) memperoleh penempatan dana dari Askrindo lebih dari Rp 280 miliar.

Dana tersebut ditempatkan As­krindo ke perusahaan manajer in­vestasi itu dalam bentuk kontrak pengelolaan dana, repo saham dan obligasi. Namun saat m­e­ma­suki jatuh tempo, kedua terdakwa tidak mampu mengembalikan dana milik BUMN tersebut.  

Belakangan diketahui, dana Askrindo itu digunakan para terdakwa untuk membeli se­jum­lah aset berupa apartemen mewah dan sejumlah saham-saham yang tidak jelas. Bahkan, uang pem­ba­ya­ran dari para pengguna dana atau para nasabah manager in­vestasi, juga tidak disetorkan dua terdakwa itu kepada Askrindo. Se­hingga, Askrindo merugi ra­tu­san miliar rupiah.

Ketua Majelis Hakim Pa­nge­ran Na­pitupulu menegaskan, para ter­dak­wa penerima dana As­­krindo ha­rus mem­per­tang­gung­jawabkan pe­ngembalian dana yang dite­rimanya.

Dia menyebutkan, dari dana investasi Rp 442 miliar, manajer investasi baru mengembalikan Rp 35 miliar. Masih sekitar Rp 407 miliar yang belum kembali ke kas PT Askrindo. “Dana yang belum kembali adalah kerugian PT As­krindo. Karena sahamnya milik pemerintah, maka keuangan PT Askrindo adalah keuangan ne­gara,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, para terdakwa kasus Askrindo sudah menjalani persidangan di Pe­nga­dilan Tipikor Jakarta. Bahkan, lima dari tujuh terdakwa telah dijatuhi hukuman.

Bekas Direktur Keuangan PT Askrindo Zulfan Lubis dan bekas Direktur Investasi PT Askrindo Rene Setiawan, adalah dua orang pertama yang berstatus sebagai ter­pidana dalam kasus ini. Me­nu­rut majelis hakim, Zulfan dan Rene terbukti melakukan tindak pi­dana korupsi pengelolaan dana investasi perusahaan asuransi di bawah BUMN itu.

“Menyatakan terdakwa terbuk­ti secara sah dan me­ya­kin­kan me­la­k­ukan tindak pidana ko­rupsi se­cara bersama-sama. Ken­dati ter­dakwa tidak terbukti mem­per­ka­ya diri sendiri, namun yang di­la­ku­kan terdakwa menyalahi aturan sehingga menyebabkan kerugian negara,” ujar Pangeran Napi­tu­pu­lu saat membacakan vonis untuk Zulfan, Kamis, 5 Juli 2012.

Kedua terdakwa itu dijatuhi hu­­kuman lima tahun penjara, ken­­dati jaksa menuntutnya 13 ta­hun pen­jara. Mereka juga dikenai denda Rp 1 miliar, atau jika tidak mampu membayar, mereka wajib meng­gantinya dengan hukuman enam  bu­lan kurungan. Dalam vo­nis ter­se­but, majelis tidak me­netapkan uang pengganti pada kedua terdakwa.

Tujuan PT Askrindo menya­lur­kan dana kepada manajer inv­es­tasi Rp 442 miliar adalah untuk mem­peroleh pendapatan bunga yang lebih besar dibandingkan bunga de­posito yang berlaku pada bank umum­nya. Namun, para ma­najer inves­tasi, yakni dari PT Ja­karta Asset Management, PT Ja­karta Inves­t­ment, PT Re­liance Asset Ma­na­ge­ment, Ja­kar­ta Se­curitas dan PT Harvestindo Asset Ma­nagement tidak dapat mengem­balikan dana ke PT Askrindo.

Pola Kasus Askrindo Sangat Profesional

M Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago mengingatkan agar pengusutan kasus pem­bo­bolan dana PT Askrindo dil­aku­kan secara hati-hati. Selain me­libatkan pelaku profesional, si­fat dari perkara seperti ini masif dan terstruktur.

“Polanya sangat profesional. Ada koordinasi antara pihak-pihak tertentu dalam merancang ini. Karena itu, polemik tun­tu­tan jaksa terhadap dua terdakwa yang lebih ringan dibanding tuntutan kepada terdakwa lain, harus disikapi secara jernih,” katanya.

Menurut dia, jaksa mem­pu­nyai pedoman dalam me­nen­tu­kan tuntutan. Hal ini idealnya ­diapresiasi secara positif. N­a­mun demikian, dia merasa he­ran, kenapa Markus Suryawan dan Beni Andreas selaku pe­mi­lik perusahaan manajer in­ves­tasi justru dituntut lebih ringan dibanding terdakwa se­be­lum­nya. “Padahal, terdakwa-ter­dak­wa lain, bukan pemilik perusahaan manajer investasi,” tandasnya.

Oleh sebab itu, kata Taslim, persoalan ini harus dicermati se­cara proporsional. Hakim yang dalam waktu dekat akan menentukan putusan, idealnya memperhatikan semua aspek yang ada dalam perkara ini.

Tuntutan jaksa yang lebih ri­ngan kali ini, lanjut Taslim, ten­tu dapat mengundang kecu­ri­ga­an. Tapi apapun yang te­r­jadi, dia meminta agar semua ka­la­ngan menahan diri. Jangan sam­pai pro­blem seperti ini justru meng­hambat penuntasan perkara.

Menurutnya, selain me­nin­dak pelaku, yang krusial dalam penanganan kasus ini adalah ba­gaimana mengembalikan ke­rugian negara dalam jumlah be­sar itu secepatnya.

Di sini peran hakim sangat me­nentukan. Ter­lebih pada si­dang sebelumnya, majelis ha­kim sudah me­nya­ta­kan, masih ada dana Rp 407 mi­liar yang di­duga belum kembali ke kas As­krindo atau negara.

Fungsi Pengawasan Masih Lemah

Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator Gerak Indonesia

Koordinator LSM Gera­kan Rakyat Anti Korupsi (Ge­rak) Indonesia Akhiruddin Mah­juddin menilai, substansi per­kara Askrindo harus jelas. Jadi, bukan hanya berkutat pada persoalan be­rapa lama dan upaya me­ngem­balikan kerugian negara.

“Idealnya juga memberikan dampak signifikan terhadap pe­ru­sahaan jasa pengelola ke­ua­ngan. Hal ini penting, lantaran kasus ini menunjukkan masih ada celah atau pengawasan yang lemah,” nilainya.

Soalnya, lanjut Akhiruddin, adanya kepastian hukum ter­hadap pelaku berikut upaya pe­ngembalian keuangan negara akan sia-sia tanpa adanya usaha meningkatkan pengawasan di sektor ini. Jadi, tandasnya, lem­baga-lembaga yang bertugas me­ngontrol perusahaan mana­jer investasi seharusnya juga mau belajar dari kasus ini.

“Jangan sampai, kasus seperti ini terus terulang. Berulangnya perkara seperti ini, akan ber­dam­pak buruk pada sektor per­ekonomian negara. Ini yang ha­rus dijaga. Stabilitas ekonomi ne­gara bisa jadi taruhan akibat sistim pengawasan yang le­mah,” ingatnya.

Akhiruddin berharap, kasus pidana kelas tinggi ini bisa di­selesaikan sampai tuntas. Mak­sudnya, jangan sampai perkara ini hanya mampu menyentuh pelaku kelas kecil. “Semua yang terlibat hendaknya diung­kap­kan. Apa, bagaimana dan se­jauh­mana peran mereka,” tegasnya.

Menurutnya, apabila pe­ngu­sutan perkara ini dilakukan se­ca­ra serius, masih ada pihak-pi­hak lain yang bisa dimintai per­tanggungjawaban. Pihak lain itu, selain kreditur yang buron, bisa juga berasal dari lembaga yang memiliki oto­ri­tas pada pem­berian dan pe­nga­wasan kredit.

“Apalagi, sejak awal kasus ini diungkap, sudah ada ke­te­rangan bahwa pencairan kredit Askrindo kepada perusa­haan manajer investasi, menyalahi pro­sedur.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA