Dua saksi mengaku pernah menerima perintah agar menyetor komisi atau uang pelicin. Sementara dua saksi lain, diperiksa terkait peranan sejumlah nama penting dalam proyek Solar Home System (SHS) di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Saksi-saksi itu diperiksa untuk terdakwa Jacob Purwono, bekÂas DirÂjen Listrik dan PeÂmanÂfaatan EnerÂgi (LPE) di KeÂmenÂterian ESDM dan Kosasih Abas, bekas pejabat pemÂbuat komitmen proyek SHS di ESDM.
Dalam keÂsaksianÂnya, Sri WahÂyuni, bekas sekÂretaris terÂdakwa Jacob PurÂwoÂno memÂbeÂÂnarÂkan adaÂnya perÂteÂmuan seÂjumÂlah orang penting deÂngan atasannya.
Namun dia tidak tahu, apa keÂperÂluan orang-orang itu bertemu dengan atasannya. “Nggak tahu, kan di ruang tertutup,†timpalnya. Lalu jaksa mengarahkan perÂtÂaÂnyaÂan pada saksi Victor Matius Joha, Direktur PT Tri Unggul (TU). Victor yang ditanya soal perÂkeÂnaÂlannya dengan sejumlah pejabat penting memÂbantah hal itu. Dia justru tak ingat apa meÂmang perÂnah ada perÂtemuan yang dimakÂsud saksi Sri.
“Saya tidak ingat dan setahu saya belum pernah.†Keterangan itu membuat jaksa makin menÂceÂcar Victor. Tapi saksi ini tetap keuÂkeuh. Dia menepis adanya perÂnyataan Kosasih yang meÂnyeÂbut, keuntungan proyek SHS akan diserahkan pada seorang peÂjabat. “Itu tidak benar.â€
Sebelumnya, saksi Rustini, DiÂrut PT Sundaya memaparkan, saat rencana penentuan rekanan atau mitra kerja proyek SHS, anak buahnya memberitahu ikhÂwal permintaan dana.
“Saya diÂbeÂritahu oleh markeÂting peÂruÂsaÂhaÂan soal permintaan dana,†katanya.
Ketua Majelis Hakim SudjatÂmiko pun mencecar saksi. Ia berÂtanya, siapa orang yang dimaksud sebagai peminta dana tersebut. Rustini memastikan, permintaan datang dari pejabat pembuat koÂmitÂmen proyek, yakni Kosasih. Lalu tanya hakim,
“Apa respon saksi menanggapi hal tersebut.†Saksi menimpali, karena kuatir tak mendapat alokasi kontrak kerja, maka dia meminta manajer keuangan untuk meloloskan permintaan tersebut.
Dibeberkan, permintaan dana itu berkaitan dengan rencana konÂtrak kerja PT Sundaya dengan PT Pancuranmas Jaya. “Pak Kosasih minta uang, kalau tidak barang akan dialihkan ke perusahaan lain. Saya takut rugi. Untuk itu saya transÂfer uang,†imbuh Rustini.
Tapi sebut saksi, pihaknya tak memberi dana sebesar Rp 200 juta. “Waktu itu permintaan koÂmisi, memang Rp 200 juta, tapi jumÂlah yang ditransfer hanya Rp 100 juta.†Dia menegaskan, hanya satu kali mengirim uang pada terÂdakwa Kosasih. Kepada majelis hakim, saksi mengaku siap meÂnyerahkan bukti transferan itu.
Saksi lain, bekas Manajer MarÂketing PT Sundaya, Vina Lola meÂnyebutkan, pernah menyetor Rp 50 juta kepada Kosasih. PeÂnyetoran dana itu dilakukan tanpa sepengetahuan Rustini. DisebutÂkan Vina, sesuai perÂjanjian deÂngan Kosasih, dana terÂsebut baru disampaikan PT SunÂdaya setelah pekerjaan alias proÂyek selesai.
“Kami sebagai produsen akan diÂjodohkan dengan PaÂnÂcoÂraÂnÂmas,†sebutnya. Dia mengÂkaÂtegorikan, pemberian uang Rp 50 juta ini sebagai kompensasi atau kebijakan kantor.
Lagipula, sambungnya, peÂngeÂluaran uang diketahui pimpinan perusahaan lainnya, yakni Moris. Mendengar pernyataan itu, SudÂjatmiko menyimpulkan, dari keÂteÂrangan dua saksi tersebut, terÂdapat sedikitnya Rp 150 juta yang diterima terdakwa Kosasih.
Angka tersebut, dinilainya maÂsih sangat kecil bila dibandingkan dengan total dugaan korupsi kasus SHS yang mencapai angka Rp 144,8 miliar. Apalagi dalam kasus ini, kedua terdakwa diduga memiliki peraÂnan strategis yakni, mengatur reÂkanan pelaksana keÂgiatan dan meÂngumpulkan dana dari rekaÂnan atas pengadaan dan peÂÂmaÂsaÂngan SHS.
REKA ULANG
Ridwan Sanjaya Divonis Lebih Dulu
KPK menahan tersangka KosaÂsih, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementerian ESDM dalam kasus suap pengadaan atau pemasangan pembangkit listrik tenaga surya berupa Solar Home System (SHS) di Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) di Kementrian ESDM.
“KPK melakukan penahanan terÂhadap K dalam kasus pengaÂdaÂan solar home system di KeÂmenÂterian ESDM, 2007-2008, ditahan di Rutan Cipinang,†ujar Jubir KPK Johan Budi SP, Jumat (15/6).
Johan menambahkan, Kosasih selaku PPK diduga melakukan korupsi secara bersama-sama deÂngan Jacobus Purwono, bekas DirÂjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Listrik yang lebih dulu ditahan dalam kasus ini. KPK menjerat Kosasih dengan Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 dan atau pasal 5 dan atau pasal 11 Undang-unÂdang Pemberantasan Tindak PiÂdana Korupsi.
Selanjutnya, Kosasih menegasÂkan, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Purnomo Yusgiantoro, tiÂdak mengetahui penyelewengan dalam proyek tersebut.
Dugaan korupsi proyek SHS di Kementerian ESDM yang meÂrugikan negara hingga Rp 269 miÂliar tersebut, menurutnya, diÂkepalai bekas Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi KeÂmenterian ESDM Jacobus PurÂwono, tanpa sepengetahuan PuÂrnomo.
“Atasan saya hanya Pak PurÂwono. Menteri ESDM tiÂdak meÂngetahui korupsi ini,†ujarÂnya, Rabu (5/9/).
Selain menetapkan tersangka pada Jacobus dan Kosasih, KPK juga menetapkan status tersangka pada Ridwan Sandjaya, bekas PPK proyek SHS kedua.
Ridwan telah divonis enam tahun penjara di Pengadilan TinÂdak Pidana KoÂrupsi Jakarta, beÂbeÂrapa waktu lalu.
Modus yang diduga dilakukan Jacobus dalam kedua proyek itu adalah dengan melakukan mark-up harga barang. Ia dan tersangka lainnya diduga bekerja sama deÂngan pihak penjual untuk meÂnaikÂkan harga. Tiap unit alat SHS ini dinaikkan harganya antara Rp 1 juta dan Rp 2 juta.
Pada kasus tersebut, KPK telah memeriksa dua anggota DPR, yakÂni Sutan Bhatoegana dan HerÂman Hery sebagai saksi. KPK sebelumnya juga memeriksa Andri Syahreza, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Semua saksi menegaskan, tiÂdak terlibat perkara tersebut.
Satu Saksi Saja Belum Cukup
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Demokrat Daday Hudaya mengingatkan agar saksi tidak sembarangan memberikan keterangan. SoalÂnya, Ketidakbenaran keÂtÂeraÂngan saksi tersebut, bisa berefek buruk pada pengusutan perkara.
“Saksi-saksi itu disumpah. Jadi jangan sampai kesaksian meÂreka justru menimbulkan perÂsoalan atau polemik,†kataÂnya. Sekalipun begitu, kata dia, kesaksian saksi kasus dugaan korupsi proyek Solar Home SysÂtem (SHS) Kementrian ESDM, harus tetap ditindaklanjuti.
Dia percaya, hakim yang menangani kasus ini memiliki pandangan luas. Artinya, memÂpuÂnyai pertimbangan-perÂtimÂbaÂngan hukum yang bisa menÂjadikan kesaksian-kesaksian tersebut menjadi alat bukti yang meyakinkan.
Dia mengingatkan, kesaksian satu saksi saja tidak bisa dijaÂdikan sebagai alat bukti. Oleh seÂbab itu, jangan sampai keteraÂngan saksi di persidangan lantas dijadikan sebagai pedoman unÂtuk menindak pihak lainnya. “HaÂrus ada minimal dua alat bukti yang sah. Itu jika kita meÂruÂjuk pada atuÂran KUHAP,†jelasnya.
Kesaksian atau keterangan saksi yang tidak benar, bisa berÂdampak hukum pada saksi. Bisa saja sebutnya, saksi dikÂaÂteÂgoÂriÂkan memberi keterangan palsu. Jika ini yang terjadi, saksi bisa mendapatkan sanksi hukuman.
Lebih parahnya, keterangan saksi yang tidak benar atau tiÂdak berdasarkan bukti, dapat meÂrusak atau mencemarkan nama baik seseorang. “Bisa juga dikategorikan sebagai fitÂnah. Itu berbahaya,†tandasnya.
Oleh seÂbab itu, dia meminta haÂkim maÂupun penyidik yang meÂnaÂngaÂni perkara ini benar-benar mampu memilah. Atau setidakÂnya membuktikan kebeÂnaÂran dari keterangan saksi-sakÂsi tersebut.
Tunjukkan Sikap Seorang Ksatria
Marwan Batubara, Koordinator KPKN
Koordinator LSM KoÂmite Penyelamat KekÂaÂyaÂan NeÂgara (KPKN) Marwan Batubara meminta, nama seÂderet tokoh yang disebut terkait perkara koÂrupsi terketuk hati nuraninya. Hal ini menurut dia, jadi modal dasar untuk meÂnyingÂkap dugÂaÂan keterlibatan meÂreka dalam suatu perkara.
“Kita berharap orang-orang yang disebut namanya itu terÂketuk hati nuraninya. Sehingga mereka mau datang dan memÂberikan keterangan yang benar pada penyidik,†ujarnya.
Komitmen atau kesadaran seperti ini, jelasnya, masih kuÂrang di sini. Oleh sebab itu, diÂperlukan sikap ksatria para elit untuk menunjukkan kesadaran dan kepatuhannya pada hukum. Hal tersebut, kata dia, dengan sendirinya bisa menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat dalam mematuhi hukum.
Dia pun mengingatkan, KPK hendaknya tidak tinggal diam dalam menanggapi perÂkemÂbaÂngan perkara. Maksudnya, fakÂta-fakta persidangan idealnya diÂtindaklanjuti dengan peÂnyeÂliÂdiÂkan dan penyidikan yang proÂporsional.
Bukan sebaliknya, mengangÂgap pengusutan perÂkaÂra selesai begitu berkas perkara suÂdah maÂsuk tahap persidangan.
“Perkara korupsi itu selalu berangkai. Tidak boleh berhenti hanya sampai titik tertentu. ApaÂlagi di situ masih ada duÂgaan keterlibatan pihak lainnya.†Dia pun mengapresiasi langkah KPK yang memintai keteÂraÂngan elit politik atau anggota DPR dan saksi penting lainnya. Hal itu, idealnya terus diintensifkan.
Masalahnya saat ini, beber dia, kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum lain lemah. Tingkat keperÂcaÂyaÂan masyarakat pada KPK yang masih relatif di atas lembaga peÂnegak hukum lain inilah, yang idealnya dimanfaatkan unÂtuk mengusut perkara hingga beÂnar-benar tuntas. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: