Setor Rp 150 Juta, Saksi Seret Pengurus Partai

Sidang Lanjutan Kasus Korupsi Proyek Solar Home System

Kamis, 13 Desember 2012, 09:36 WIB
Setor Rp 150 Juta, Saksi Seret Pengurus Partai
Jacob Purwono
rmol news logo Dua saksi mengaku pernah menerima perintah agar menyetor komisi atau uang pelicin. Sementara dua saksi lain, diperiksa terkait peranan sejumlah nama penting dalam proyek Solar Home System (SHS) di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Saksi-saksi itu diperiksa untuk terdakwa Jacob Purwono, bek­as Dir­jen Listrik dan Pe­man­faatan Ener­gi (LPE) di Ke­men­terian ESDM dan Kosasih Abas, bekas pejabat pem­buat komitmen proyek SHS di ESDM.

Dalam ke­saksian­nya, Sri Wah­yuni, bekas sek­retaris ter­dakwa Jacob Pur­wo­no mem­be­­nar­kan ada­nya per­te­muan se­jum­lah orang penting de­ngan atasannya.

Namun dia tidak tahu, apa ke­per­luan orang-orang itu bertemu dengan atasannya. “Nggak tahu, kan di ruang tertutup,” timpalnya. Lalu jaksa mengarahkan per­t­a­nya­an pada saksi Victor Matius Joha, Direktur PT Tri Unggul (TU). Victor yang ditanya soal per­ke­na­lannya dengan sejumlah pejabat penting mem­bantah hal itu. Dia justru tak ingat apa me­mang per­nah ada per­temuan yang dimak­sud saksi Sri.

“Saya tidak ingat dan setahu saya belum pernah.” Keterangan itu membuat jaksa makin men­ce­car Victor. Tapi saksi ini tetap keu­keuh. Dia menepis adanya per­nyataan Kosasih yang me­nye­but, keuntungan proyek SHS akan diserahkan pada seorang pe­jabat. “Itu tidak benar.”

Sebelumnya, saksi Rustini,  Di­rut PT Sundaya memaparkan, saat rencana penentuan rekanan atau mitra kerja proyek SHS, anak buahnya memberitahu ikh­wal permintaan dana.

“Saya di­be­ritahu oleh marke­ting pe­ru­sa­ha­an soal permintaan dana,” katanya.

Ketua Majelis Hakim  Sudjat­miko pun mencecar saksi. Ia ber­tanya, siapa orang yang dimaksud sebagai peminta dana tersebut.  Rustini memastikan, permintaan datang dari pejabat pembuat ko­mit­men proyek, yakni Kosasih. Lalu tanya hakim,

“Apa respon saksi menanggapi hal tersebut.” Saksi menimpali,  karena kuatir tak mendapat alokasi kontrak kerja, maka dia meminta manajer keuangan untuk meloloskan permintaan tersebut.

Dibeberkan, permintaan dana itu berkaitan dengan rencana kon­trak kerja  PT Sundaya dengan PT Pancuranmas Jaya. “Pak Kosasih minta uang, kalau tidak barang akan dialihkan ke perusahaan lain. Saya takut rugi. Untuk itu saya trans­fer uang,” imbuh Rustini.

Tapi sebut saksi, pihaknya tak memberi dana sebesar Rp 200 juta. “Waktu itu permintaan ko­misi, memang Rp 200 juta, tapi jum­lah yang ditransfer hanya Rp 100 juta.” Dia menegaskan, hanya satu kali mengirim uang pada ter­dakwa Kosasih. Kepada majelis hakim, saksi mengaku siap me­nyerahkan bukti transferan itu.

Saksi lain, bekas Manajer Mar­keting PT Sundaya, Vina Lola me­nyebutkan, pernah menyetor Rp 50 juta kepada Kosasih. Pe­nyetoran dana itu dilakukan tanpa sepengetahuan Rustini. Disebut­kan Vina, sesuai per­janjian de­ngan Kosasih, dana ter­sebut baru disampaikan PT Sun­daya setelah pekerjaan alias pro­yek selesai.

“Kami sebagai produsen akan di­jodohkan dengan Pa­n­co­ra­n­mas,” sebutnya. Dia meng­ka­tegorikan, pemberian uang Rp 50 juta ini sebagai kompensasi atau kebijakan kantor.

Lagipula, sambungnya,  pe­nge­luaran uang diketahui  pimpinan perusahaan lainnya, yakni Moris. Mendengar pernyataan itu, Sud­jatmiko menyimpulkan, dari ke­te­rangan dua saksi tersebut, ter­dapat  sedikitnya Rp 150 juta yang diterima terdakwa Kosasih.

Angka tersebut, dinilainya ma­sih sangat kecil bila dibandingkan dengan total dugaan korupsi kasus SHS yang mencapai angka Rp 144,8 miliar. Apalagi dalam kasus ini, kedua terdakwa diduga memiliki pera­nan strategis yakni, mengatur re­kanan pelaksana ke­giatan dan me­ngumpulkan dana dari reka­nan atas pengadaan dan pe­­ma­sa­ngan SHS.

REKA ULANG

Ridwan Sanjaya Divonis Lebih Dulu

KPK menahan tersangka Kosa­sih, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementerian ESDM dalam kasus suap pengadaan atau pemasangan pembangkit listrik tenaga surya berupa Solar Home System (SHS) di Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) di Kementrian ESDM.

“KPK melakukan penahanan ter­hadap K dalam kasus penga­da­an solar home system di Ke­men­terian ESDM, 2007-2008, ditahan di Rutan Cipinang,” ujar Jubir KPK Johan Budi SP,  Jumat (15/6).

Johan menambahkan, Kosasih selaku PPK diduga melakukan korupsi secara bersama-sama de­ngan Jacobus Purwono, bekas Dir­jen Listrik dan Pemanfaatan Energi Listrik yang lebih dulu ditahan dalam kasus ini. KPK menjerat Kosasih dengan Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 dan atau pasal 5 dan atau pasal 11 Undang-un­dang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi.

Selanjutnya, Kosasih menegas­kan, Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Purnomo Yusgiantoro, ti­dak mengetahui penyelewengan dalam proyek tersebut.

 Dugaan korupsi proyek SHS di Kementerian ESDM yang me­rugikan negara hingga Rp 269 mi­liar tersebut, menurutnya, di­kepalai bekas Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Ke­menterian ESDM Jacobus Pur­wono, tanpa sepengetahuan Pu­rnomo.

“Atasan saya hanya Pak Pur­wono. Menteri ESDM ti­dak me­ngetahui korupsi ini,” ujar­nya,  Rabu (5/9/).

Selain menetapkan tersangka pada Jacobus dan Kosasih, KPK juga menetapkan status tersangka pada Ridwan Sandjaya, bekas PPK proyek SHS kedua.

Ridwan telah divonis enam tahun penjara di Pengadilan Tin­dak Pidana Ko­rupsi Jakarta, be­be­rapa waktu lalu.

Modus yang diduga dilakukan Jacobus dalam kedua proyek itu adalah dengan melakukan mark-up harga barang. Ia dan tersangka lainnya diduga bekerja sama de­ngan pihak penjual untuk me­naik­kan harga. Tiap unit alat SHS ini dinaikkan harganya antara Rp 1 juta dan Rp 2 juta.

Pada kasus tersebut, KPK telah memeriksa dua anggota DPR, yak­ni Sutan Bhatoegana dan Her­man Hery sebagai saksi.  KPK sebelumnya juga memeriksa Andri Syahreza, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Semua saksi menegaskan, ti­dak terlibat perkara tersebut.

Satu Saksi Saja Belum Cukup

Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Demokrat Daday Hudaya mengingatkan agar saksi tidak sembarangan memberikan keterangan. Soal­nya, Ketidakbenaran ke­t­era­ngan saksi tersebut, bisa berefek buruk pada pengusutan perkara.

“Saksi-saksi itu disumpah. Jadi jangan sampai kesaksian me­reka justru menimbulkan per­soalan atau polemik,” kata­nya. Sekalipun begitu, kata dia, kesaksian saksi kasus dugaan korupsi proyek Solar Home Sys­tem (SHS) Kementrian ESDM, harus tetap ditindaklanjuti.

Dia percaya, hakim yang menangani kasus ini memiliki pandangan luas. Artinya, mem­pu­nyai pertimbangan-per­tim­ba­ngan hukum yang bisa men­jadikan kesaksian-kesaksian tersebut menjadi alat bukti yang meyakinkan.

Dia mengingatkan, kesaksian satu saksi saja tidak bisa dija­dikan sebagai alat bukti. Oleh se­bab itu, jangan sampai ketera­ngan saksi di persidangan lantas dijadikan sebagai pedoman un­tuk menindak pihak lainnya. “Ha­rus ada minimal dua alat bukti yang sah. Itu jika kita me­ru­juk pada atu­ran KUHAP,” jelasnya.

Kesaksian atau keterangan saksi yang tidak benar, bisa ber­dampak hukum pada saksi. Bisa saja sebutnya, saksi dik­a­te­go­ri­kan memberi keterangan palsu. Jika ini yang terjadi, saksi bisa mendapatkan sanksi hukuman.

Lebih parahnya, keterangan saksi yang tidak benar atau ti­dak berdasarkan bukti, dapat me­rusak atau mencemarkan nama baik seseorang. “Bisa juga dikategorikan sebagai fit­nah. Itu berbahaya,” tandasnya.

Oleh se­bab itu, dia meminta ha­kim ma­upun penyidik yang me­na­nga­ni perkara ini benar-benar mampu memilah. Atau setidak­nya membuktikan kebe­na­ran dari keterangan saksi-sak­si tersebut.

Tunjukkan Sikap Seorang Ksatria

Marwan Batubara, Koordinator KPKN

Koordinator LSM Ko­mite Penyelamat Kek­a­ya­an Ne­gara (KPKN) Marwan Batubara meminta, nama se­deret tokoh yang disebut terkait perkara ko­rupsi terketuk hati nuraninya. Hal ini menurut dia, jadi modal dasar untuk me­nying­kap dug­a­an keterlibatan me­reka dalam suatu perkara.

“Kita berharap orang-orang yang disebut namanya itu ter­ketuk hati nuraninya. Sehingga mereka mau datang dan mem­berikan keterangan yang benar pada penyidik,” ujarnya.

Komitmen atau kesadaran seperti ini, jelasnya, masih ku­rang di sini. Oleh sebab itu, di­perlukan sikap ksatria para elit untuk menunjukkan kesadaran dan kepatuhannya pada hukum. Hal tersebut, kata dia, dengan sendirinya bisa menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat dalam mematuhi hukum.

Dia pun mengingatkan, KPK hendaknya tidak tinggal diam dalam menanggapi per­kem­ba­ngan perkara. Maksudnya, fak­ta-fakta persidangan idealnya di­tindaklanjuti dengan pe­nye­li­di­kan dan penyidikan yang pro­porsional.

Bukan sebaliknya, mengang­gap pengusutan per­ka­ra selesai begitu berkas perkara su­dah ma­suk tahap persidangan.

“Perkara korupsi itu selalu berangkai. Tidak boleh berhenti hanya sampai titik tertentu. Apa­lagi di situ masih ada du­gaan keterlibatan pihak lainnya.” Dia pun mengapresiasi langkah KPK yang memintai kete­ra­ngan elit politik atau anggota DPR dan saksi penting lainnya. Hal itu, idealnya terus diintensifkan.

Masalahnya saat ini, beber dia, kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum lain lemah. Tingkat keper­ca­ya­an masyarakat pada KPK yang masih relatif di atas lembaga pe­negak hukum lain inilah, yang idealnya dimanfaatkan un­tuk mengusut perkara hingga be­nar-benar tuntas.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA