KPK memastikan, pemeriksaan bos PT Hardaya Inti Plantations Siti Hartati Murdaya sudah final. Kini, berkas perkara tersangka kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu itu masuk tahap penuntutan.
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo meÂngatakan, pemeriksaan Hartati pada Jumat lalu (19/10), ditÂuÂjuÂkan guna melengkapi berkas perÂkara. Dia menyatakan, berkas perÂkara tersangka juga sudah maÂsuk tahap final. Artinya, peÂnyiÂdikan akan ditingkatkan ke tahap penuntutan.
Peningkatan status penanganan kasus ini, otomatis bakal memÂperÂcepat proses persidangan terÂhaÂdap Hartati. Dikemukakan, intensitas pemeriksaan bos PT Hardaya Inti Plantations (HIP) itu untuk memperkuat sangkaan KPK, bahwa Hartati menyuap BuÂpati Buol Amran Batalipu. Sangkaan tersebut nantinya akan diÂbuktikan di persidangan. NaÂmun, dia belum bisa memastikan, kapan persidangan Hartati bakal digelar. “Kita berharap kasus ini segera tuntas,†katanya.
Kendati begitu, Johan tidak mau memaparkan pemeriksaan Hartati secara mendetail. PaÂsalÂnya, materi pemeriksaan meÂruÂpaÂkan kewenangan penyidik.
Indikasi keterlibatan Hartati dalam kasus suap Bupati Buol, antara lain terlihat dalam surat dakwaan terhadap General MaÂnager Supporting PT Hardaya Inti Plantations Yani Ansori. Dalam dakwaan itu, pada 15 Juni 2012, staf financial controller PT HIP Arim diperintahkan Direktur UtaÂma PT HIP Siti Hartati Murdaya dan Direktur PT HIP Totok LisÂtiyo berangkat ke Buol untuk meÂngambil uang Rp 1 miliar dari Seri Shiritorn, General Manager Finance PT HIP. Pada 20 Juni 2012, berdasarkan dakwaan ini, Hartati dan Totok memerintahkan Arim kembali menyiapkan dana Rp 2 miliar. Intinya uang Rp 3 miliar itu untuk menyuap Amran.
Hartati yang dikonfirmasi soal pemeriksaannya menolak bicara panjang lebar. Dia hanya meÂnyaÂtaÂkan, pemeriksaan masih berÂkutat seputar peran dirinya. HarÂtati bersikukuh, dalam perkara yang melibatkan sejumlah anak buahnya, dia dalam posisi seÂbaÂgai obyek pemerasan. “Materi peÂmeriksaan masih seperti sebÂeÂlumnya,†jelasnya.
Dia bersikukuh, tuduhan bahÂwa dirinya terlibat suap Rp 3 miÂliar, dipaksakan. KPK meÂnyangÂka Hartati memberi suap pada Amran Batalipu agar hak guna usaha perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah segera terÂbit. Atas perbuatan itu, Hartati diÂjerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 Undang UnÂdang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kuasa hukum tersangka, Patra M Zein menyatakan, Hartati suÂdah menyampaikan pembÂeÂlaan. Isinya, menyebutkan bahwa dia sama sekali tidak pernah memeÂrintahkan anak buahnya untuk menyuap Amran Batalipu. TiÂnÂdaÂkan suap, sambungnya, dilakÂsaÂnaÂkan atas inisiatif anak buahnya, Gondo Sudjono dan Yani Anshori yang sudah disidang di PengaÂdiÂlan Tipikor Jakarta.
“Keterangannya sudah disamÂpaiÂkan di pengadilan. Juga diÂsamÂpaikan kepada penyidik KPK,†tegasnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini kliennya merasa bahwa perusahaannya menjadi obyek pemerasan Bupati Buol.
Menyinggung soal pemeÂrikÂsaÂan Hartati, bekas Direktur YLBHI itu mengaku, kliennya semÂpat diÂsinggung mengenai keterÂlibatan Artalita Suryani alias Ayin. Tapi, Patra menolak memÂbeberkan apa keterangan yang disampaikan Hartati mengenai Ayin.
Menurutnya, hal paling krusial dalam persoalan ini adalah, baÂgaiÂmana tim kuasa hukum memÂbuktikan bahwa Hartati tidak terÂkait proses suap-menyuap seÂperti yang disangkakan penyidik KPK. Dia bilang, untuk menepis tuduhan tersebut, pihaknya sudah meÂnyiapÂkan bukti-bukti pendukung.
Bukti-bukti itu antara lain, keÂsaksian Direktur PT HIP, Totok LisÂtiyo yang mengaku telah meÂngamÂÂbil tindakan sepihak. Dia meÂngaku mengeluarkan dana sebesar Rp 2 miliar untuk Bupati Buol, AmÂran Batalipu. Apalagi pada keÂsaksiannya, Hartati memÂbeÂnarkan, pernah memberi uang Rp 1 miliar kepazda anak buahnya, Arim untuk diberikan kepada warga.
Hartati beralasan, pemberian uang bertujuan agar warga tidak mengganggu keamanan perusaÂhaan. Namun, perintah pemÂbeÂrian itu justru digunakan Arim unÂtuk memberikan uang kepada Amran Batalipu. Fakta-fakta seÂperti inilah yang tegas Patra akan dijadikan sebagai pembelaan untuk kliennya. “Hal itu harus diÂbuktikan oleh penyidik KPK,†katanya.
REKA ULANG
Anak Buah Hartati Dituntut 2 Tahun Enam Bulan Penjara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan KoÂrupsi (KPK) menuntut anak buah Hartati Murdaya di PT Hardaya Inti Platation (HIP), Gondo SudÂjono dua tahun enam bulan penÂjara dan pidana denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Direktur Operasional PT HIP itu didakwa menyuap Bupati Buol Amran Batalipu untuk meÂlancarkan pengurusan sertifikat hak guna usaha (HGU) peÂrÂkeÂbuÂnan PT HIP di kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
“Menuntut terÂdakÂwa pidana penÂjara dua tahun enam bulan, denda Rp 50 juta subsider tiga buÂlan kurungan,†kata jaksa Eva Yustisiana, saat memÂbacakan tuntutan di Pengdilan Tipikor Jakarta pada Kamis (18/10).
Dalam menjatuhkan tuntutan, jakÂsa memperhatikan hal-hal yang meringankan dan membÂeÂratÂÂkan terÂdakwa. Hal yang memÂberatkan, kata jaksa, terdakwa tidÂak menÂduÂkung upaya pemerinÂtah dalam pemÂberantasan tindak pidana koÂrupsi. Sedangkan hal yang meÂringankan, yakni terÂdakÂwa bukan aktor intelektual, berÂsikap sopan dalam persidangan dan masih meÂmiliki tanggungan keluarga.
Gondo Sudjono didakwa ikut menyuap Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu sebesar Rp 3 miliar. Tujuan pemberian uang agar Amran menerbitkan suÂrat rekomendasi izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan sawit PT Cipta Cakra Murdaya dan PT Hardaya Inti Plantation.
Atas perbuatannya, Gondo dan General Manager Supporting PT Hartati Inti Plantations Yani AnÂsori dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang Undang Pemberantasan TinÂdak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Patra M Zein, kuasa hukum kedua terdakwa menyatakan, klien mereka semestinya dituntut bebas. Soalnya, jaksa melihat Gondo dan Yani hanya anak buah yang disuruh. Apalagi, Patra menambahkan, selama proses persidangan terungkap bahwa pemberian uang terhadap Bupati Buol tidak terkait penerbitan suÂrat-surat hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. “Jaksa sepakat bahwa Yani dan Gondo itu hanya kurir, jadi tidak sepanÂtasÂnya mereka dituntut pidana. Seharusnya jaksa menuntut bebas keduanya,†tegasnya.
Menurut Patra, jaksa memakÂsakan tuntutan tersebut. “Orang yang disuruh melakukan tanpa tahu maksud dan tujuan pembeÂriÂan uang, tidak dapat dipidana,†kata Patra seusai sidang.
Bantahan Akan Dibandingkan Dengan Alat Bukti
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari meminta penyidik KPK optimal dalam menyelesaikan perkara suap yang melilit pengusaha Siti HarÂtati Murdaya.
Silang pendapat antara pihak tersangka dan pihak KPK, meÂnuÂrutnya layak dikaji kebeÂnaÂranÂnya melalui proses hukum yang pasti. “Proses hukum kaÂsus ini harus dilaksanakan seÂsuai konstitusi. Perbedaan penÂdapat antara tersangka dan peÂnyidik merupakan hal yang wajar,†katanya.
Setiap pihak, diyakini memÂpunyai argumen sendiri-sendiri. Nantinya, tinggal bagaimana hakim menilai dan menyikapi perbedaan tersebut. Jadi, samÂbungnya, proses persidangan kaÂsus ini menjadi kunci dalam menjawab semua perbedaan tersebut.
“Akan terlihat dalam perÂsidangan, siapa yang benar dan siapa yang salah,†katanya.
Hakim, menurutnya, mesti jeli dalam menilai keterangan dan barang bukti. Artinya, keteÂrangan saksi dan barang bukti akan sangat membantu hakim dalam menarik kesimpulan seputar keterlibatan seseorang.
“Mekanisme yang paling tepat dalam menjawab semua persoalan yang ada tentu ada di pengadilan. Makanya, kasus ini perlu segera dilimpahkan ke pengadilan.â€
Masuknya perkara ke pengaÂdilan, kata Eva, akan menjawab seÂgala persoalan yang muncul. Soalnya, dalam persidangan yang ideal, semua keterangan, keÂÂsaksian atau bantahan terdakÂwa akan diukur dan dibanÂdingÂkan dengan bukti-bukti yang ada. Dari situ, dapat terlihat apa dan bagaimana peran seseorang dalam sebuah perkara.
“Persidangan akan mengÂhasilÂkan kepastian hukum yang jelas. Apapun putusan hakim, tentu didasari argumen hukum yang pasti,†ucap anggota DPR dari PDIP ini.
Dakwaan Tentu Berdasarkan Bukti Konkret
Fadli Nasution, Ketua PMHI
Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution menilai, proses huÂkum terhadap pengusaha Siti HarÂtati Murdaya sudah optimal. Segala tuduhan yang dialamatÂkan kepada Hartati tentu diÂdasari bukti-bukti konkret.
“Penyidik KPK tentu punya dasar dalam menentukan tuduÂhan. Karena itu, tidak ada alasan untuk menggantung penunÂtaÂsan perkara tersebut,†katanya.
Dia meminta semua kalangan mendukung upaya KPK untuk menyelesaikan kasus ini. SoalÂnya, dukungan masyarakat keÂpaÂda KPK akan menguatkan kinerja KPK dalam menyingÂkap perkara-perkara korupsi.
Fadli pun mengapresiasi langÂkah tersangka yang berÂupaÂya menepis sangkaan penyidik. “Itu adalah hal yang sah. Yang paling penting nantinya, apakah tersangka bisa membuktikan pembelaannya itu,†tandasnya.
Ia menyatakan, tuntutan dan putusan hukuman pada anak buah Hartati di Pengadilan TiÂpiÂkor sesungguhnya bisa meÂnunÂjukkan arah kasus ini. SeÂjauhmana keterlibatan Hartati dalam kasus ini.
“Sekalipun Hartati sudah memÂberi kesakÂsian berisi pemÂbelaan diri, hal itu tetap harus diuji lagi oleh hakim,†ucapnya.
Fadli menambahkan, jika berkas perkara atas nama HarÂtati masuk ke pengadilan, haÂkim bisa memanggil kembali saksi-saksi yang pernah diÂmintai keterangan seputar hal ini. Apabila jaksa kasus ini cerÂmat, mereka pun tentu akan menÂÂcari dan menghadirkan sakÂsi lain yang dianggap sÂebagai kunci dalam membuktikan tuduhannya.
“Kita lihat apa langkah jaksa di sini. Jika mereka punya keÂyakinan bahwa Hartati terlibat kasus suap, pasti mereka akan menghadirkan saksi yang diÂangÂgap kunci,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: