WAWANCARA

Din Syamsuddin: Saya Sudah Presiden Muhammadiyah, Apa Masih Perlu Jadi Capres, Ha-ha-ha

Kamis, 13 September 2012, 09:28 WIB
Din Syamsuddin: Saya Sudah Presiden Muhammadiyah, Apa Masih Perlu Jadi Capres, Ha-ha-ha
Din Syamsuddin

rmol news logo “Saya mau konsisten menjadi pre­siden Muhammadiyah dan menjalankan amanah yang dibe­rikan kepada saya. Masalah cap-res nanti dulu,” kata Din Syam­sud­din kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Din menanggapi dingin hasil ber­bagai survei yang menye­but­­kan dirinya berpotensi men­jadi ca­pres atau cawapres Pemilu 2014.

”Saya ucapkan terima kasih dan alhamdulillah kalau ada yang menilai seperti itu. Tapi kan Mu­hammadiyah tidak da­lam posisi bisa mencalonkan,” ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Bagaimana kalau partai politik yang mencalonkan?

Kalau pun ada partai yang ingin melamar kader Muham­ma­diyah tentu banyak pilihannya. Bukan saya  saja. Di Muham­ma­di­yah ini banyak yang pintar dan cerdas.


Kenapa Anda merendah, bu­kan­kah siapa saja bisa menjadi ca­­pres asal memenuhi per­sya­ratan?

Begini ya, saya ucapkan al­­ham­dulillah kalau ada yang menilai saya  salah satu tokoh yang pantas menjadi calon pre­siden. Tapi saya tahu diri saja ka­rena bukan orang partai.


Kenapa?

Sebab berdasarkan Undang-undang, masalah pen­capresan adalah urusan partai. La­gi pula saya sudah menjadi pre­siden Mu­hammadiyah yang hampir sama kedudukannya se­ba­gai presiden, apa masih perlu menjadi capres, ha-ha-ha.


Umat Muhammadiyah  ba­nyak,  kenapa tidak maju saja?

Ya, memang umat Muham­ma­diyah banyak. Tapi kan kami ti­dak terlibat secara organisatoris pa­da politik kekuasaan. Kami juga tidak pada posisi boleh mencalonkan atau mendukung pencalonan presiden.


Apa Anda tidak percaya diri ya?

Bukan begitu. Saya hanya ber­pegang teguh pada pendirian or­ganisasi. Saya mau memberikan contoh kepada jajaran PP Mu­hammadiyah bahwa tidak meng­gunakan organisasi untuk kepen­tingan pribadi.

Saya ingin konsisten dengan Mu­hammadiyah, tidak mau terli­bat politik. Saya akan me­nahan diri  untuk tidak mengede­pankan hasrat  menjadi capres atau cawapres. Sikap ini contoh bagi umat Muhammadiyah.


Artinya umat Muhamma­di­yah tidak bisa menjadi capres?

Tidak begitu maksudnya. Ka­lau ada parpol yang tertarik, di Mu­hammadiyah ini banyak to­koh memenuhi syarat menjadi ca­pres atau cawapres.

Sebab, Mu­hammadiyah ini kum­pulan orang-orang ter­didik. Insya Allah mereka pu­nya penga­laman keorga­ni­sa­sian, wawasan, kene­ga­rawanan. Banyak kemam­puan yang di­miliki un­tuk mem­bangun bangsa dan negara.


 Pemimpin yang dibutuhkan Indonesia seperti apa?

Kalau tidak salah ,waktu itu PP Mu­hammadiyah memiliki reko­men­dasi tanwir terakhir yang di­se­lenggarakan di Bandung belum lama ini.

Di dalamnya  menya­takan Indonesia butuh pemimpin yang problem solver yang bisa me­nyelesaikan masalah-masalah bangsa yang semakin menum­puk. Bukan pemimpin yang lari dari masalah atau meng­ang­gap tidak ada masalah.

Selain itu pemimpin harus men­jadi solidarity maker, yakni menciptakan solidaritas dan bisa mengayomi bangsa  majemuk yang  terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan ras.

    Ini diperlukan karena kita ini adalah negara kepulauan. Maka akan sangat sulit mempersatu­kan­nya kalau pemimpin tidak bi­sa menjadi solidarity maker.

Ar­ti­­­nya, ketika dia tampil de­ng­an ke­­ne­garawanan,  melepas­kan iden­­titas dan interest kelom­pok, aga­ma, politik, ormas. Dia be­kerja hanya untuk bangsa.


Artinya, tidak mengurus partai lagi?

Ya. Jika seorang sudah men­jadi presiden atau pemimpin mayori­tas kerjanya hanya pada bangsa dan negara. Jangan mengabdi kepada partainya saja. Sedangkan bangsa dan negara diabaikan.

 

Apa itu saja harapan kepada presiden mendatang?

Presiden harus bisa menjadi risk taker. Kalau ada masalah, dia ber­tanggung jawab untuk me­nun­taskannya. Jangan melemparkan kepada anak buah.

Sebab, pada da­sarnya seorang pemimpin itu di­usung atau dipilih karena me­miliki visi mengenai arah bangsa. Itu yang utama se­suai dengan cita-cita the founding father.

Presiden tidak takluk pada ke­kuatan mana pun, termasuk par­pol. Yang terpenting presiden ha­rus berakhlak mulia, sehingga ti­dak terjebak pada praktek ko­rupsi, tidak menjustifikasi kebi­jakan untuk kepentingan kelom­poknya. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA