“Saya mau konsisten menjadi preÂsiden Muhammadiyah dan menjalankan amanah yang dibeÂrikan kepada saya. Masalah cap-res nanti dulu,†kata Din SyamÂsudÂdin kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.
Din menanggapi dingin hasil berÂbagai survei yang menyeÂbutÂÂkan dirinya berpotensi menÂjadi caÂpres atau cawapres Pemilu 2014.
â€Saya ucapkan terima kasih dan alhamdulillah kalau ada yang menilai seperti itu. Tapi kan MuÂhammadiyah tidak daÂlam posisi bisa mencalonkan,†ujarnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kalau pun ada partai yang ingin melamar kader MuhamÂmaÂdiyah tentu banyak pilihannya. Bukan saya saja. Di MuhamÂmaÂdiÂyah ini banyak yang pintar dan cerdas.
Kenapa Anda merendah, buÂkanÂkah siapa saja bisa menjadi caÂÂpres asal memenuhi perÂsyaÂratan?
Begini ya, saya ucapkan alÂÂhamÂdulillah kalau ada yang menilai saya salah satu tokoh yang pantas menjadi calon preÂsiden. Tapi saya tahu diri saja kaÂrena bukan orang partai.
Kenapa?
Sebab berdasarkan Undang-undang, masalah penÂcapresan adalah urusan partai. LaÂgi pula saya sudah menjadi preÂsiden MuÂhammadiyah yang hampir sama kedudukannya seÂbaÂgai presiden, apa masih perlu menjadi capres, ha-ha-ha.
Umat Muhammadiyah baÂnyak, kenapa tidak maju saja?
Ya, memang umat MuhamÂmaÂdiyah banyak. Tapi kan kami tiÂdak terlibat secara organisatoris paÂda politik kekuasaan. Kami juga tidak pada posisi boleh mencalonkan atau mendukung pencalonan presiden.
Apa Anda tidak percaya diri ya?
Bukan begitu. Saya hanya berÂpegang teguh pada pendirian orÂganisasi. Saya mau memberikan contoh kepada jajaran PP MuÂhammadiyah bahwa tidak mengÂgunakan organisasi untuk kepenÂtingan pribadi.
Saya ingin konsisten dengan MuÂhammadiyah, tidak mau terliÂbat politik. Saya akan meÂnahan diri untuk tidak mengedeÂpankan hasrat menjadi capres atau cawapres. Sikap ini contoh bagi umat Muhammadiyah.
Artinya umat MuhammaÂdiÂyah tidak bisa menjadi capres?
Tidak begitu maksudnya. KaÂlau ada parpol yang tertarik, di MuÂhammadiyah ini banyak toÂkoh memenuhi syarat menjadi caÂpres atau cawapres.
Sebab, MuÂhammadiyah ini kumÂpulan orang-orang terÂdidik. Insya Allah mereka puÂnya pengaÂlaman keorgaÂniÂsaÂsian, wawasan, keneÂgaÂrawanan. Banyak kemamÂpuan yang diÂmiliki unÂtuk memÂbangun bangsa dan negara.
Pemimpin yang dibutuhkan Indonesia seperti apa?
Kalau tidak salah ,waktu itu PP MuÂhammadiyah memiliki rekoÂmenÂdasi tanwir terakhir yang diÂseÂlenggarakan di Bandung belum lama ini.
Di dalamnya menyaÂtakan Indonesia butuh pemimpin yang problem solver yang bisa meÂnyelesaikan masalah-masalah bangsa yang semakin menumÂpuk. Bukan pemimpin yang lari dari masalah atau mengÂangÂgap tidak ada masalah.
Selain itu pemimpin harus menÂjadi solidarity maker, yakni menciptakan solidaritas dan bisa mengayomi bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan ras.
Ini diperlukan karena kita ini adalah negara kepulauan. Maka akan sangat sulit mempersatuÂkanÂnya kalau pemimpin tidak biÂsa menjadi solidarity maker.
ArÂtiÂÂÂnya, ketika dia tampil deÂngÂan keÂÂneÂgarawanan, melepasÂkan idenÂÂtitas dan interest kelomÂpok, agaÂma, politik, ormas. Dia beÂkerja hanya untuk bangsa.
Ya. Jika seorang sudah menÂjadi presiden atau pemimpin mayoriÂtas kerjanya hanya pada bangsa dan negara. Jangan mengabdi kepada partainya saja. Sedangkan bangsa dan negara diabaikan.
Apa itu saja harapan kepada presiden mendatang?
Presiden harus bisa menjadi risk taker. Kalau ada masalah, dia berÂtanggung jawab untuk meÂnunÂtaskannya. Jangan melemparkan kepada anak buah.
Sebab, pada daÂsarnya seorang pemimpin itu diÂusung atau dipilih karena meÂmiliki visi mengenai arah bangsa. Itu yang utama seÂsuai dengan cita-cita the founding father.
Presiden tidak takluk pada keÂkuatan mana pun, termasuk parÂpol. Yang terpenting presiden haÂrus berakhlak mulia, sehingga tiÂdak terjebak pada praktek koÂrupsi, tidak menjustifikasi kebiÂjakan untuk kepentingan kelomÂpoknya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: