Jampidsus Ngaku Mau Tuntaskan Kasus Mandiri Yang Mangkrak

2 Orang Swasta Belum Dibawa Ke Pengadilan Sejak 2006

Sabtu, 04 Agustus 2012, 09:09 WIB
Jampidsus Ngaku Mau Tuntaskan Kasus Mandiri Yang Mangkrak
Bank Mandiri
rmol news logo Penanganan dua tersangka kasus penyalahgunaan kredit Bank Mandiri sebesar Rp 51,542 miliar, menggantung di kejaksaan sejak Agustus 2006.

Berkas dua tersangka itu, hing­ga kemarin belum dikirim ke­jaksaan ke pengadilan. Pada­hal, berkas mereka sudah dinaik­kan ke tahap penuntutan pada Agustus 2006. Kedua tersangka itu adalah Cornelis Andri Har­yanto dan Hartanto Setiadi yang me­rupakan Direksi PT Ar­tha­bama/Artharimustika Textindo.

“Pokoknya, berkas itu nanti kami tindaklanjuti ke persida­ngan. Pak Jaksa Agung sudah me­merintahkan agar ini ditun­tas­kan,” kata Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto seusai sholat Jumat di Masjid Baitul Adli, Kompleks Ke­jaksaan Agung, kemarin.

Menurut Andhi, Kejaksaan Agung juga menelusuri semua jaksa dan pejabat kejaksaan yang diduga membiarkan berkas per­kar­a pada tahap penuntutan itu ti­dak sampai ke pengadilan. “Mes­ki para jaksa yang waktu itu me­na­ngani perkara ini sudah pindah, tetap akan kami cek,” katanya.

Sembari melakukan penge­ce­kan itu, Andhi berjanji, pihaknya akan mengupayakan agar dua tersangka tersebut segera masuk ke tahap persidangan. “Segera di­limpahkan,” ujarnya.

Menurut Direktur Penyidikan Ke­jaksaan Agung Arnold Ang­kouw, berkas penuntutan yang sem­pat dikabarkan hilang itu su­dah ditelusuri. Berkas kedua ter­sangka itu, katanya, kini sudah di tangan jaksa penuntut di Ke­ja­gung. “Berkasnya sudah ditemu­kan, dan sekarang sudah di pe­nuntutan. Sudah di Direktur Pe­nuntutan,” katanya pada Rabu, 1 Agustus lalu.

Arnold beralasan, dalam proses penuntutan waktu itu, terjadi per­p­indahan sejumlah pejabat dan jaksa, sehingga berkas itu ter­ting­gal. “Karena berkaitan dengan masalah pergantian pejabat, dari pe­jabat lama dan pejabat baru wak­tu itu. Mungkin di situ berkas­nya tidak dirapikan,” alasannya.

Bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Sulawesi Utara ini me­nam­bah­kan, Bagian Penyidikan sudah mem­roses perkara tersebut dan su­dah mengirimnya ke Bagian Pe­nun­tutan. “Sekarang sedang diproses. Tinggal dilimpahkan,” katanya.

Mungkin, menurut Arnold, jak­sa penuntut masih ingin memas­ti­kan, apakah perlu tambahan-tambahan dalam pengajuan ber­kas dua tersangka itu ke penga­di­lan. “Tidak terlalu mengubah ber­kas. Tapi, perlu persiapan me­ngantisipasi persidangan nanti. Itu mungkin yang masih dil­a­ku­kan,” ujarnya.

Arnold mengaku, pihaknya sama sekali tidak berniat untuk mempetieskan perkara ini. “Me­mang tersangkanya tidak ditahan, tapi tidak ada niat untuk membuat lama atau mempetieskan,” katanya.

Direktur Penuntutan Kejak­saan Agung Jonny Ginting mem­­be­­­nar­kan, berkas kedua tersangka su­dah ada di Bagian Penuntutan. “Saat ini masih kami teliti ber­kas­nya,” ujarnya saat dikon­fir­masi Rakyat Merdeka, kemarin. Kata Jonny, begitu penelitian ber­kas se­­le­sai, kedua tersangka itu se­ge­ra di­limpahkan ke pe­nga­dilan. “Kami mau berkas ini s­e­ge­ra ke per­si­da­ngan. Tunggu saja,” ucapnya.

Menurut Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy, semua jaksa yang memang ada bukti mempermainkan perkara ini sehingga tak kunjung naik ke persidangan sejak 2006, akan di­periksa. “Menurut Dirdik ber­kas­nya sudah ada dan sedang di­pro­ses lagi. Kami masih menunggu itu. Kalau itu semua sudah beres, baru nanti kami akan lihat apa yang harus kami lakukan,” ujarnya.

Bekas Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus ini mengakui, per­kara itu memang aneh karena tak sampai ke pengadilan selama ber­tahun-tahun. “Waktu saya jadi Jam­­pidsus tahun 2008, sudah di­pro­ses juga agar segera naik ke pe­ngadilan, eh begitu saya tidak di sana lagi, malah tak naik,” ujarnya.

Lantaran itu, Marwan berjanji akan menindaklanjuti kemung­kinan ada jaksa yang bermain da­lam kasus ini. Sebelumnya, Ar­nold Angkouw mengatakan, se­jak 3 Agustus 2006, berkas kedua tersangka itu sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Bagian Pe­nyi­dikan Kejaksaan Agung.

“Rencana penuntutannya wak­tu itu di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” katanya. Arnold ke­mu­dian menelepon Kepala Kejak­sa­an Negeri Jakarta Selatan Masy­hudi untuk mempertanyakan na­sib penanganan kasus ini. Na­mun, saat itu Masyhudi mengaku belum mengetahui perkem­ba­ngan­nya. “Tolong dicek perkem­bangannya dan beritahu kepada saya,” pinta Arnold kepada Kajari Jaksel melalui telepon.

Masyhudi pun berjanji akan menelusuri berkas perkara kedua tersangka yang tak kunjung di­si­dang selama enam tahun itu. “Kami masih menelusurinya,” ujar Masyhudi saat itu.

Reka Ulang

Dua Orang Mandiri Kena 5 Tahun Penjara

Sejak tahun 2006, dua orang pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kredit sebesar Rp 51,542 miliar di Bank Mandiri. Tapi, dua ter­sangka itu tak kunjung dibawa ke­jaksaan ke pengadilan.

Kedua tersangka yang berasal dari Direksi PT Arthabama/Artharimustika Textindo itu pun berkasnya sudah masuk ke tahap penuntutan pada waktu itu. Na­mun, setelah enam tahun berlalu, dua tersangka itu tidak kunjung disidang. Alias kasusnya masih nge­ndon di kejaksaan. Kedua ter­sangka itu adalah Cornelis Andri Haryanto (CAH) dan Hartanto Setiadi (HS).

Padahal, dua tersangka lainnya, yakni bekas Group Head Cor­po­rate Relationship Bank Mandiri Fachrudin Yasin dan bekas Group Head Corporate Credit Approval Roy Ahmad Ilham terbukti ber­salah dalam penggelontoran kre­dit kepada PT Arthabama/Artha­rimustika Textindo tanpa melalui pro­sedur dan syarat-syarat yang ditentukan bank. Dua tersangka dari pihak Bank Mandiri itu, pe­ninjauan kembalinya (PK) sudah ditolak Mahkamah Agung, dan tetap divonis lima tahun penjara.

Perkara Nomor 31 PK/Pid.Sus/2012 ini diputus Ketua Majelis Ha­kim Artidjo Alkostar dan ha­kim anggota, antara lain Zah­a­ruddin Utama. Perkara ini masuk ke MA pada 24 Januari 2012 dan diketok pada 14 Juni lalu.

Sekadar mengingatkan, Fach­ru­din dituntut lima tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Ne­geri Jakarta Selatan.

Fachrudin dan Roy didakwa menggelontorkan kredit kepada PT Arthabama Textindo dan PT Artharismutika Textindo secara melawan hukum. Yaitu, tanpa melalui prosedur dan syarat-syarat yang ditentukan bank.

Perbuatan para terdakwa itu dilakukan bersama-sama Dirut PT Arthabama/Artharimustika Textindo, Cornelis Andrie Har­­yanto pada kurun 2001-2002. Akibatnya negara dirugi­kan Rp 51,542 miliar.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 20 Januari 2010 memutus bebas Fachrudin dan Roy. Majelis hakim PN Jaksel memutus, keduanya tidak ber­salah. Tidak terima, jaksa me­ngajukan kasasi atas putusan bebas tersebut.

Pada 29 November 2010, MA me­nerima kasasi jaksa dengan menghukum kedua terdakwa itu sesuai tuntutan, yaitu 5 tahun pen­jara. Kasasi diputus tiga ha­kim agung, yaitu Djoko Sarwoko, Komariah E Sapardjaja dan Sur­ya Jaya. “Perbuatan terdakwa di­lakukan belum lama setelah krisis moneter terjadi. Para terdakwa te­lah menguntungkan para debitur nakal,” ujar Djoko dalam salinan putusan kasasi.

Tidak puas, Fachrudin dan Roy mengajukan peninjauan kembali (PK). Tapi, Mahkamah Agung menolak PK tersebut.

KPK Berhak Ambil Alih Kasus Mandeg

Chairul Huda, Dosen Muhammadiyah Jakarta

Dosen hukum pidana Univer­sitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menyampaikan, bila ada perkara korupsi yang mandeg penanganannya di Kejaksaan Agung, maka KPK berwenang mengambil alihnya.

Soalnya, Komisi Pembe­ra­n­tasan Korupsi adalah lembaga superbody dalam hal pen­anga­nan kasus-kasus korupsi. “Ka­lau menurut undang undang, ka­sus seperti ini seharusnya diambilalih KPK,” ujarnya, kemarin.

Menurut Chairul, dalam pro­ses penyidikan hingga pe­nun­tutan, jaksa tidak akan berani mengendapkan sebuah kasus korupsi, sebab kejaksaan me­ru­pakan organisasi dengan sistem hirarki atau komando yang ketat. “Bisa jadi, kasus itu man­deg karena atasan para jaksa ter­sebut memberi perintah un­tuk mengendapkannya,” katanya.

Lantaran itu, kata dia, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengingatkan kejaksaan agar tidak bermain-main dengan per­kara yang diusutnya. “Jika memang demikian, perlu diper­soalkan ke Komisi Kejaksaan,” katanya.

Apabila masih belum ada pe­rubahan dan masih kerap terjadi penanganan perkara yang man­deg, lanjut Chairul, maka DPR perlu didesak agar bertindak juga. “Kemudian, laporkan ke Jaksa Agung. Jika tidak ada res­pon, bisa ditekan dengan me­nga­dukannya kepada Presiden sebagai pejabat yang berwe­nang atas jabatan Jaksa Agung,” ujarnya.

Masyarakat Semakin Kritis

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa mengajukan protes terhadap penanganan kasus-kasus korupsi yang man­deg di Kejaksaan Agung.

Politisi Gerindra itu me­nyam­paikan, bila Kejaksaan Agung tidak serius membenahi institusinya, maka Komisi Pem­berantasan Korupsi harus segera melakukan fungsi super­visinya atas lembaga yang di­pimpin Basrief Arief itu.

“Sudah terlalu banyak ke­lu­han masyarakat terhadap ki­ner­ja kejaksaan yang mandeg me­ngusut perkara korupsi. Di­mana reformasi kejak­sa­an­nya? Kalau begini, KPK harus me­ngefektifkan supervisinya, dan jangan salahkan bila KPK me­ngambil alih perkara-perkara itu,” kata Desmon, kemarin.

Lebih jauh, aktivis ma­ha­siswa 1998 itu menyampaikan, penyelesaian perkara di Ke­jak­saan Agung harus benar-benar terjadi. Sebab, masyarakat kian kritis menilai kinerja Korps Adhyaksa.

Sebenarnya, lanjut Desmon, Kejaksaan Agung bisa me­la­kukan pemberantasan korupsi lebih hebat dari yang dilakukan KPK. Namun,

jika masih memberi celah pelanggaran, maka kejaksaan akan selalu menjadi bulan-bu­lanan. “Harus diusut sampai tun­tas. Buktikan bahwa mereka bisa memberikan keadilan hu­kum,” katanya.

Pembenahan institusi hukum seperti kejaksaan, lanjut Des­mon, harus segera dilakukan. Semua perkara yang mandeg pun harus dituntaskan. “Kasus kredit Bank Mandiri ini, hanya salah satu perkara dari sekian banyak perkara yang mandeg di kejaksaan. Basrief Arief sebagai Jaksa Agung harus berani mem­benahi itu semua.”

Lantaran kejaksaan memiliki sumber daya, lanjut Desmon, maka sangat disayangkan bila terus menerus dikeluhkan ma­sya­rakat karena banyak kasus yang tidak tuntas, padahal sudah ditangani bertahun-tahun.

Dia juga menyarankan lem­baga-lembaga penegak hukum untuk bekerjasama dalam pemberantasan korupsi. “Ja­ngan sampai KPK, kejaksaan dan kepolisian hanya menjadi lembaga hukum yang saling me­ngintip, saling mencari-cari kesalahan untuk kemudian se­rang menyerang. Rakyat tak bu­tuh yang begitu,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA